Share

Malam pertama

"Jingga, terimakasih karna kamu mau menikah dengan anak saya Dafa. Saya harap kamu bisa membuatnya bangkit kembali seperti dulu."

Tampak mata Tuan Besar berkaca-kaca, wajahnya yang begitu terlihat bahagia membuatku semakin yakin untuk bisa mengembalikan anaknya seperti dulu, walau rasanya tidak mungkin.

"Jingga, mulai sekarang jangan panggil saya Tuan Besar lagi yah. Karna sekarang, saya sudah menjadi Papah kamu juga."

Lelaki itu tersenyum, Ia mengusap puncak kepalaku lalu pergi. Entah kenapa aku merasa benar-benar mendapatkan sosok Ayah darinya.

***

Sedari tadi, aku sudah bertemu dengan banyak orang, akan tetapi tidak kulihat Tuan Dafa setelah dari acara akad.

Karena melihat semua tamu hampir pulang dan acaranya sudah selesai, aku langsung menuju kamar. Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tanganku.

"Hans."

"Saya mau bicara sebentar, boleh?" tanyanya.

Aku menganggukan kepala, lelaki itu tampak celingukan lalu membawaku ke tempat yang sedikit sepi.

"Mana ponselmu?"

Aku memincingkan mataku, walau ragu, aku tetap memberikan ponselku padanya.

Hans dengan lincah mengutak-atik benda pipih itu, ia lalu kembali memberikannya padaku.

"Jingga, jika nanti Kak Dafa melakukan sesuatu yang kasar padamu. Kamu hubungin saya yah. Di sini sudah ada nomor telepon saya!"

"Hans, kenapa kamu baik sama aku?"

"Saya hanya tidak ingin kamu tersiksa seperti istri Kak Dafa sebelumnya."

Lagi-lagi aku mendengar hal itu, apakah Tuan Dafa seburuk itu?

"Pergilah, Jingga. Jika ada yang melihat kita, mereka akan salah paham."

Aku mengangguk, lalu buru-buru pergi ke kamar Tuan Dafa.

Aku berdiri dengan lama di depan pintu, kata-kata yang diucapkan Hans dan Tania terus menganggu pikiranku.

"Jingga kenapa masih di luar? Kak Dafa sudah menunggumu di dalam dari tadi," ucap Satria yang tiba-tiba ada di depanku.

"Hm ... Ii--iya." Aku menghela nafas pelan lalu memutar knop pintu. Sebelum masuk, kulihat Satria dan Tania tampak tersenyum miring.

***

Dengan jantung berdebar, aku melangkah masuk ke dalam kamar. Di sana, Tuan Dafa sudah duduk dengan diam.

Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu berjalan mendekat ke arahnya. Tatapan lelaki itu tampak kosong, ia hanya terus menatap ke depan.

"Tuan," sapaku pelan, membuat lelaki itu menoleh lalu tersenyum ke arahku.

"Duduklah, aku sudah menunggumu dari tadi." Tuan Dafa menepuk kasur di sisinya. Keningku berkerut, akan tetapi aku tetap mendekat ke arahnya.

"Kamu cantik," ungkapnya membuat pipi ini terasa memanas. Tapi kata-kata berikutnya langsung membuatku tercengang.

"Benar kata orang, kamu sangat cantik, Jingga. Cocok untuk Hans, tidak dengan pria cacat sepertiku."

"Tu--tuan Dafa." Tenggorokan terasa tercekat, entah kenapa rasanya begitu sesak mendengarnya.

Tuan Dafa memegang pipiku dengan sebelah tangan, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Jingga," ucapnya dengan suara serak, "Semua orang mengatakan saya lumpuh, saya pria tidak berguna. Tapi sekarang, saya akan membuat kamu menjadi lumpuh seperti saya malam ini."

Ucapannya membuatku merasa sangat takut, terutama ketika Tuan Dafa hendak mencium bibirku. Tanpa ragu, aku dengan cepat mendorongnya menjauh.

Aku mundur beberapa langkah, melihat matanya yang sudah memerah. "Jingga, kamu menolakku?" tanyanya.

"Tu--tuan, anda mabuk!"

"Kenapa Jingga? Kenapa semua orang terus meninggalkanku? Apa karna aku cacat, aku tidak sempurna?"

Badanku gemetar, aku melihat Tuan Dafa tertawa lalu menangis.

"Apa kamu juga akan melakukan hal itu Jingga? Setelah ini pasti kamu juga akan pergi 'kan?

Mereka semua menghina saya, meninggalkan saya, tapi mereka mengatakan kalo saya yang tidak punya hati. Jingga, apakah orang cacat seperti saya tidak pantas bahagia?

Jangan menangis Jingga, kemarilah." Tuan Dafa menggapai tanganku, lalu menarik tanganku dengan kencang, aku berusaha memberontak akan tetapi cekalan tangannya terlalu kuat.

"Tu--tuan, apa yang akan anda lakukan?"

"Jingga, semua istri saya pergi tanpa melakukan malam pertama. Tapi denganmu saya harap bisa merasakan bagaimana indahnya malam pertama itu."

Tangannya mengelus pipiku dengan lembut, namun tatapannya membuatku merasa takut.

Semakin lama, tangan Tuan Dafa turun memegang tenguku. Mataku terpejam dengan air mata yang sudah luruh saat Tuan Dafa kembali mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirku dengan kasar. Namun entah apa yang terjadi, setelah itu ia tiba-tiba mendorong tubuh ini dengan kuat.

"Tidak, saya masih punya hati. Saya tidak akan merusak wanita!

Dari dulu, saya tidak mau menikah. Tapi Papah terus memaksa saya, setelah saya setuju mereka akan pergi. Dan saya yang di cap tidak punya hati.

Semua orang sama saja, pada akhirnya mereka akan meninggalkan saya." Tuan Dafa terus meracau, sedangkan aku hanya memandangnya dengan buliran bening yang tidak berhenti.

Aku melihat Tuan Dafa yang sudah mulai memejamkan matanya, lalu dengan hati-hati aku membenarkan posisi tidurnya dan menyelimuti dirinya.

Dering ponselku tiba-tiba berdering, sebuah nama Hans terpapang di sana. Sekarang sudah pukul 12 malam, kenapa lelaki ini belum tidur.

Aku mengambil benda pipih itu, mengusap air mata dan mengontrol suara agar tidak terdengar serak. Setelah merasa cukup tenang, barulah aku mengangkat telepon yang berdering cukup lama itu.

"Hallo, Hans."

"Jingga, apa kamu baik-baik saja. Kak Dafa gak ngelakuin sesuatu ke kamu kan?" tanyanya di sebrang sana.

Aku terdiam sejenak, lalu menatap ke arah Tuan Dafa.

"Aku baik-baik aja Hans, kamu tidak usah khawatir," kilahku, tidak seharusnya aku menceritakan masalahku pada Hans.

"Kak Dafa, di mana?"

"Mungkin kelelahan, pas aku masuk kamar. Dia sudah tidur."

"Baiklah." Hans langsung memutus telepon sepihak.

Aku menghela nafas lega, setelah itu mengambil satu bantal, lalu beranjak untuk tidur di sofa. Aku mulai memejamkan mata, mengistirahatkan tubuhku yang begitu lelah, bukan badan tapi mental.

***

Aku terbangun lalu melirik jam yang sudah menunjukan pukul 05.00 pagi. Sedari dulu, aku sudah terbiasa bangun di jam seperti ini. Karna jika telat beberapa menit saja, Ibu akan mengguyurku dengan air satu gayung.

Aku melihat ke arah Tuan Dafa yang masih tidur. Refleks, aku memegang bibirku mengingat kejadian semalam. Semoga saja Tuan Dafa amnesia, dan tidak mengingat apa-apa jika nanti ia bangun.

Aku tersenyum, hari ini aku ingin memasakan sesuatu yang spesial untuk Tuan Dafa.

***

Setelah selesai memasak, aku membawanya ke kamar Tuan Dafa. Tapi tidak ku lihat lelaki itu dimana-mana, yang ada hanya dua pelayan yang sedang membereskan tempat tidur dengan tergesa-gesa.

"Buruan, sebelum jam tujuh kita harus sudah keluar dari kamar ini," ucap salah satu pelayan membuat keningku berkerut.

"Bukannya kemaren bantalnya baru di ganti, kenapa sudah di ganti lagi?"

Aku bertanya karna selama di sini hampir setiap hari bantal milik Tuan Dafa selalu berbeda.

Kedua pelayan itu tampak saling pandang dan hanya diam.

"Kenapa kalian diam?" tanyaku semakin penasaran

"Maaf, Nona. Tuan Muda melarang kami mengatakannya pada siapapun!"

"Saya istrinya, kalian bisa mengatakannya pada saya!"

Tiba-tiba salah-satu pelayan mendekat ke arahku, ia lalu berbisik pelan. "Bantal Tuan Dafa selalu basah setiap Tuan Dafa bangun tidur Nona."

"Apa?" Aku melebarkan mata seketika.

"Iya Non, sepertinya setiap malam Tuan Dafa menangis."

Astaga, Fakta apalagi ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aliesha Ayudia
Alhamdulillah sudah ad di sini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status