Setelah mengambil baju dari lemari aku menghampirinya. Tampak gadis itu melongo melihatku. "Tu--tuan bisa berdiri?" tanyanya."Hm." Aku hanya berdehem sebagai jawaban.Jingga menuruti perintahku, gadis itu memakaikan kemeja padaku lalu mulai berjongkok memasangkan kancingnya. "Berapa umurmu?" "18 tahun Tuan," jawabnya membuat aku terkejut. Astaga, Papah bahkan menikahkanku dengan seorang gadis yang masih sangat muda. "Tuan biar saya ganti perbannya." Jingga mengambil kotak obat lalu mulai membuka perban di tanganku. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa mataku tidak bisa lepas menatap wajahnya. Hidung mancung, mata berwarna coklat yang indah, bulu mata lentik. Jangan lupakan bibirnya yang tipis, itu membuatku teringat pada kejadian semalam. Meskipun aku sedikit mabuk, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.Tapi tunggu, mataku memincing melihat ada luka di kening yang tertutup rambut. "Kenapa kepalamu berdarah," ucapku membuat Jingga seketika mendongak. Aku memegang tanganny
Aku mengulum senyum melihat Jingga yang terlihat sangat panik. "Jingga bukan itu maksud saya. Hm, saya melihat tangan dan pundakmu memar. Saya ingin tau tentang luka itu.""Ti--tidak Tuan, itu hanya terkena nyamuk.""Jingga, saya bukan anak kecil lagi. Cepat, berbaliklah ke belakang dan buka bajumu!" "Tidak mau Tuan." Jingga menunduk dan menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat memerah karena malu."Jingga, saya tidak akan melakukan apapun padamu. Melihatmu saja, saya tidak selera," ucapku mampu membuat gadis itu melotot. Jingga terdiam sejenak, dengan ragu dia berbalik ke belakang, dan perlahan tangannya gemetar saat dia mulai membuka bajunya. "Ji--jingga." Rongga dadaku terasa sesak, saat melihat tubuhnya yang mulus dengan begitu banyak bekas luka. Ada luka yang masih terlihat biru, ada juga yang sudah mulai memudar."Darimana kamu dapat bekas luka sebanyak itu?""Ii--ini, ini karna itu Tuan. Karna saya suka terjatuh. Iya terjatuh," jawabnya terdengar gugup."JANGAN MEMBOHONGI SAYA
"Tuan, anda ingin sesuatu?" tanya Jingga. "Tidak! Kau saja lebih mementingkan memasak untuk orang lain, padahal suami sendiri kelaparan," ketusku.Di dalam kamar aku terus menggerutu, entah kenapa rasanya masih kesal teringat kejadian tadi. "Tuan, saya sudah menyiapkan untuk Tuan juga, sebentar." Jika mengambil sesuatu di meja, lalu menghampiriku. "Ini Tuan, saya buatin sayur sup. Ini baik untuk Tuan.""Tidak usah!" "Bukannya, Tuan laper?" "Sekarang ngga!""Mau saya suapin?" Astaga, malah ditanya. "Aaa ...." Jingga menyodorkan sesendok sup ke arahku. Dengan ragu, aku mulai memakannya. Hm, rasanya memang seperti masakan Bunda. "Kamu sudah makan?" "Belom, Tuan," jawab Jingga dengan pelan."Makan!" "Tapi, sendoknya cuman satu?" Aku mengambil piring itu, dan mulai menyuapinya memakai sendok bekas diriku. "Makan!"Seulas senyum terbit dari bibir gadis itu, ia mulai membuka mulutnya. Aku melanjutkan memberikan suapan makanan kepadanya, entah kenapa rasa lapar dalam perutku yang
Pov Jingga. Aku benar-benar tidak menyangka dengan hidupku sekarang. Dulu, aku begitu takut membayangkan menikah dengan Tuan Dafa. Tapi sekarang, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Semua yang orang katakan itu tidak benar. Mereka bilang Tuan Dafa tempramental, kejam, tidak punya hati. Entahlah mereka tau darimana, yang jelas Tuan Dafa yang menikahiku begitu baik walapun sikapnya seperti batu. Tuan Dafa memiliki banyak beban dalam hidupnya. Apalagi mendengar perkataan Papah dan Satria tadi saat makan, entah bagaimana hati Tuan Dafa. Aku ingin menanyakan padanya, tapi takut membuatnya emosional, terlebih lagi dia terus diam setelah mengobrol dengan Papah.Saat menunggu Tuan Dafa di kamar, aku memang lancang, membuka lemari dan Rak di kamar Tuan Dafa. Di sana aku melihat banyak sekali buku, dan juga lukisan yang begitu indah. Tapi pokusku malah pada obat yang berada di rak. Sebuah obat dengan botol yang polos, membuatku curiga tentang obat itu. Aku yang tidak tau apa-apa m
"Cari dia sampai dapat. Saya ingin melihatnya hidup-hidup di hadapan saya!"Ketika aku mendekati Tuan Dafa, aku terkejut melihatnya sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Terdengar dari suaranya, Tuan Dafa juga sangat marah."Jingga."Melihatku, buru-buru Tuan Dafa menghentikan teleponnya, dan mendekatiku."Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya."Baru saja, Tuan."Tuan Dafa tampak menghela nafas pelan, ia lalu menatap ke arah Ibu yang sedang mengobrol dengan Leo. "Kamu sudah bicara dengan Ibumu? Apa dia mau ikut bersama kita?" tanyanya. Rencana ini memang sudah kami bicarakan saat di rumah, aku ingin membawa Ibu dan Leo untuk tinggal bersamaku, dan Tuan Dafa langsung menyetujuinya. Namun jawaban Ibu yang membuatku gusar. Aku menggelengkan kepala dengan lesu. "Tidak, Tuan. Ibu tidak ingin ikut, dia malah menyarankan untuk memasukan Leo ke Pesantren. Menurut Tuan bagaimana?" "Ini semua keputusan kalian, saya bukan siapa-siapa di sini. Tapi Jingga, apapun keputusannya, pasti
Pov Author"TUAN DAFA!" Jingga langsung berlari menghampiri Dafa yang sudah masuk ke kamarnya. "Tu--tuan, kapan Tuan pulang?" tanya Jingga dengan terbata-bata. Gadis itu mendekati Dafa yang terus menatapnya dengan sorot kekecewaan. "Tuan," panggil Jingga."Pergilah! Saya tidak ingin melihat wajahmu," jawab Dafa dengan tegas, membuat hati Jingga terasa sesak. "Tuan, jangan marah. Anda salah paham, ini tidak seperti yang anda pikirkan," lirih Jingga. Hatinya begitu sakit melihat Dafa yang memalingkan wajahnya saat Jingga berjongkok di depannya."Hati suami mana yang tidak sakit melihat istrinya bersama pria lain, Jingga?" tanya Dafa dengan tajam. Ia menatap Jingga dengan matanya yang sudah memerah. Jingga hanya bisa terunduk, ia tidak tau bagaimana cara menjelaskannya pada Dafa. "Saya sengaja pulang cepat karna khawatir melihat kamu terus murung di jalan tadi. Tapi yang saya lihat sekarang ...." Dafa mengantung ucapannya. Ia mengepalkkan tangan berusaha meredam emosinya. Hatinya b
Pov DafaAku yang baru bangun langsung di suguhkan dengan pemandangan yang begitu indah. Di depan, sudah ada Jingga yang sedang mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Ucapannya semalam benar-benar mengubah suasana hatiku yang tadinya penuh kemarahan menjadi kebahagiaan. Aku tidak pernah menyangka bahwa istriku sudah mulai mencintaiku. "Tuan Dafa sudah bangun?" tanya Jingga. Gadis itu menghampiriku yang sedang sibuk memandanginya. "Tuan saya siapkan makanan dulu yah!" Jingga berbalik tapi dengan cepat aku menarik tangannya hingga tubuhnya menubruk tubuhku. "Tu--tuan, apa yang anda lakukan?" "Diamlah Jingga." Aku merapihkan letak rambut yang menghalangi wajahnya. "Biarkan saya menatap wajahmu lebih lama!" "Tuan, saya malu," ungkap gadis itu dengan pipinya yang bersemu merah. Melihatnya seperti ini, aku jadi ingin mengurungnya seharian di kamar. Rasanya tidak rela, jika ada lelaki lain yang menatap wajah cantiknya. "Tuan, cepatlah mandi. Hari ini kita harus menemui Dokter Alan
"Apakah semuanya sudah siap?" Jingga menganggukan kepala. Aku kemudian menggenggam tangannya keluar. Sekarang aku ingin meminta izin pada Papah untuk menginap di puncak, gadis itupun sudah setuju dengan permintaanku kemarin. "Pah," panggilku saat melihat Papah sedang sibuk mengobrol bersama Hans. Papah menoleh ke arahku, lalu tersenyum. "Semoga berhasil," ucapnya sembari mengacungkan jempol. Aku mengerutkan kening, perasaan aku belum memberi tahu apa-apa pada Papah. "Kami berangkat yah, Pah!"Tidak ingin ambil pusing aku kembali menarik tangan Jingga ke mobil, sekarang kami hanya pergi berdua. Semoga saja tidak ada yang menganggu acara kami karna aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku padanya di sana. "Jingga, kita ke Mall dulu yah. Saya mau beli sesuatu." "Iya, Tuan."Aku menghentikan mobilku lalu mengajak Jingga turun, langkahku yang hendak masuk Mall terhenti saat tidak sengaja bersitatap dengan seseorang. "Dafa," ucap gadis itu dengan matanya yang membola menatapku. "K