Share

Anak Rahasia Kepala Sekolah
Anak Rahasia Kepala Sekolah
Author: Fiska Aimma

Bab 1. Meet Again

Adel :

[Lin, masih di mana? Ayo buruan datang ke rapat OTS sekarang! Aku yakin kamu bakalan kaget kalau melihat tampang Pak Kepsek yang baru.]

Me : 

[Iya, iya, ini aku lagi otewe ke sana bentar lagi. Emang kenapa sih tampangnya? Ampe kamu heboh banget.]

Adel :

[Udah jangan banyak tanya! Pokoknya kalau kamu gak ke sini! Aku pilih kamu jadi dewan komite sekolah. Biar deketan terus sama kepseknya.]

"Astaghfirullah! Emang siapa sih kepseknya? Nicholas Saputra, Angga Yunanda atau Rio Dewanto? Ah, dasar si Adel rempong terus!"

Aku terkekeh konyol membaca isi chat dari Adel yang terus saja memprotesku gara-gara telat datang ke rapat bulanan sekolah Aliza--anakku yang sekarang sudah menginjak kelas dua SD. 

Adel adalah sahabatku yang kebetulan anaknya sekelas dengan anakku, dari dia juga biasanya aku mendapat info-info penting sekolah yang kadang aku lewatkan. Termasuk tentang agenda hari ini tapi sayangnya aku malah datang telat.

Sebenarnya, bukan dengan sengaja aku terlambat menghadiri rapat sekarang, pekerjaan yang padat dan rapat yang tanpa henti membuatku harus membagi waktu. 

Maklum, sebagai janda terbuang yang memiliki amanah pekerjaan yang banyak dan juga menjadi tulang punggung keluarga sudah sepantasnya aku berjuang. Apalagi, aku juga punya anak yang masih butuh aku hidupi.

Nasib, oh nasib. Mengapa jalan hidupku jadi seperti ini?

Semenjak aku diusir oleh mertua delapan tahun lalu dan harus bercerai dari suamiku, hidupku benar-benar serasa jungkir balik. Ibaratnya kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.  Setiap harinya hidupku hanya dihabiskan dengan bekerja, bekerja, bekerja dan lama-lama menderita.

Ah, Aliza. Maafkan Mama ya, andai Mamah berasal dari orang kaya mungkin saat ini kamu gak akan sampai menderita. Mamah pun bisa setiap hari mengantarmu seperti orang tua lainnya.

Ah, ini semua salahku! Kenapa aku harus dinikahi anak orang kaya sehingga pada akhirnya akulah yang harus berkorban dan membesarkan anak sendirian!

Aku mengusap air mata yang perlahan turun ke pipi. Bayangan kesakitan kembali hadir di dalam dada ini akibat teringat masa lalu di mana aku harus terusir dari rumah keluarga suamiku ketika aku sedang hamil Aliza. Sementara saat itu, sang suami yang harusnya melindungiku malah tak ada saat aku membutuhkannya karena dia harus pergi menyelesaikan pendidikannya di Jepang dan dia pun seolah hilang setelahnya sampai tidak tahu kalau aku mengandung.

 Alhasil, akibat terus menerus dirongrong mertuaku, aku pun terpuruk dan terpaksa memenuhi keinginan mertuaku untuk bercerai karena keluargaku punya hutang sama mereka. Mereka bilang, jika aku pergi meninggalkan suamiku maka hutang budi dan hutang uang orang tuaku selama menjadi pembantu mereka dianggap lunas. 

Demi Tuhan, rasanya sakit dan hina sekali jika aku mengingat itu semua. Aku ingin melupakan semuanya, sungguh!

Karena terlalu sibuk memikirkan nasib hidupku yang hancur pasca penindasan yang kualami, tanpa sadar ternyata mobil yang kukendarai telah sampai di parkiran sekolah Aliza. 

"SD Islam Terpadu Insan Gemilang."

Aku membaca papan nama yang besar di depan gedung sekolah tersebut sambil turun dari mobil. Jujur. Aku agak minder datang ke sekolah karena terhitung baru tiga kali aku menjejakkan kaki di sekolah ini, selebihnya Adel-lah yang mewakili sebab aku tak bisa banyak ijin ke kantor.

Namun, kali ini aku memaksakan diri untuk datang dan mengajukan ijin pada atasan karena kata pihak sekolah rapat ini sangat penting sehingga tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun. Katanya, kepala sekolah yang baru ingin bertemu dulu dengan semua OTS (Orang Tua Siswa) sebagai perkenalan sekaligus pembentukan dewan komite sekolah yang baru.

Alhasil, meski sifat dasarku yang introvert ini meronta-ronta, demi Aliza aku harus berusaha menjadi orang tua Aliza yang bisa dibanggakan oleh anakku nantinya. 

"Ayo, Lina! Gak boleh bikin malu anakmu!" 

(*)

Dengan sedikit tergesa aku berjalan sendirian di koridor menuju aula sekolah yang merupakan tempat rapat tahunan sekolah diadakan. 

Sebenarnya, acara rapat bulanan ini memang rutin diadakan sebulan sekali setelah sehabis semester seperti ini tapi entah mengapa kali ini undangannya terasa spesial. 

Dan setelah berbagai macam pikiran dan keraguan, pada akhirnya berdirilah aku di sini. Di depan ruang aula tempat rapat bulanan diadakan.

"Huh! Semangat Alina Fahira!" Setelah menghembuskan napas dalam, aku pun memutuskan untuk masuk tapi baru saja memegang daun pintu tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari ruangan. 

Sontak aku mundur beberapa langkah sambil terkejut. 

"Ya Allah, Alina Fahira! Kamu akhirnya datang juga! Dari mana aja, sih? Udah ditungguin juga, katanya bentar lagi," omel perempuan berjilbab rapi yang ternyata Adelia itu sambil menatapku.

"Iya, maaf tadi jalanan macet banget sama rapat dikantornya alot banget Del, repot. Ini juga aku sembunyi-sembunyi ijin ke bos," dalihku dengan penuh rasa bersalah. Aku berharap Adelia memahami kesulitanku untuk sampai ke sini.

Adel menghela napas. "Ya udahlah, kalau gitu ayo masuk! Tadi kita udah sampai ke pemilihan dewan komite sekolah sebentar lagi beres. Untung aja, banyak orang yang sepakat sama rekomendasi aku yang jadiin kamu wakil ketua komite." 

"Apa? Wakil ketua komite? Loh, kok aku Del? Aku kan gak sering-sering datang ke sekolah Del. Ya Salam, ogah ah! Gak mau!" 

"Ish, ayo! Ini demi Aliza! Sini aku kenalin ke Pak Kepsek yang baru!" 

Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung diseret oleh Adel memasuki ruang rapat yang sudah banyak dihadiri dewan sekolah dan para orang tua itu. Awalnya aku ingin sekali menolak tapi rasanya gak enak berantem masalah kayak begini, alhasil aku pasrah. 

Ketika masuk, beberapa orang menatapku dengan berbagai ekspresi, ada yang ramah, sopan, aneh dan ada juga yang sinis. Aku tidak tahu alasan sebenarnya ada di antara mereka yang memandangku begitu tapi yang pasti aku tahu ini pertanda yang gak baik.

"Del, keputusannya belum final, kan? Kenapa harus aku sih Del yang jadi wakil kamu?" tanyaku pelan pada Adel yang berjalan di sampingku. 

"Iya soalnya aku mau lahiran. Siapa lagi yang bisa amanah selain kamu Dan kalau kamu masih gak  mau terima jabatan ini, saran aku kamu protes ke Pak Kepsek langsung." Adel yang semula ada di sebelahku mendadak melangkah maju menuju ke arah seorang pria yang tengah membelakangi kami. 

"Pak, maaf Bu Alina--mamahnya Aliza sudah datang, selebihnya apabila Bapak ingin mendiskusikan sesuatu, Bapak bisa membicarakan dengan mamahnya Aliza jikalau saya keburu lahiran. Saya yakin beliau bisa mewakili saya jika nanti ada yang perlu dibantu dari dewan komite sekolah."

Setelah Adelia mengucapkan itu, aku buru-buru maju menghampiri Adelia. Dengan memaksakan senyum penuh kesopanan aku memberanikan diri menatap Pak kepala sekolah Aliza. Namun, seketika aku menegang ketika melihat siapa yang menjadi kepsek baru di sekolah Aliza. Senyumanku yang semula terkembang pun perlahan memudar dan dadaku serasa bergetar. 

"Mamah Iza, kenalkan ini dia kepala sekolah kita yang baru, katanya beliau baru saja kembali dari Jepang. Dia kembali karena katanya ingin mengabdi di sini." 

Astaga! Wajah itu, mulut itu, mata itu dan bibir itu ....

Ini pasti ada yang salah! Aku pasti sedang bermimpi. 

AKU MOHON. Tidak mungkin dunia sesempit ini, mengapa dia kembali? 

"Inilah Pak Elfarobi Fahreza. Panggil saja Pak El," kata-kata Adel bagaikan meteor yang berhasil membumi-hanguskan hatiku dalam sekejap. 

Aku sontak mematung dan tubuhku gemetar hebat. Gila, ini gila! Tidak mungkin kepsek baru itu adalah Mas El, pria yang merupakan mantan suamiku dan juga ayah dari Aliza. 

Oh Tuhan. Tolong, jangan sampai dia tahu kalau Aliza anaknya. JANGAN SAMPAI!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status