Adel :
[Lin, masih di mana? Ayo buruan datang ke rapat OTS sekarang! Aku yakin kamu bakalan kaget kalau melihat tampang Pak Kepsek yang baru.]
Me :
[Iya, iya, ini aku lagi otewe ke sana bentar lagi. Emang kenapa sih tampangnya? Ampe kamu heboh banget.]
Adel :
[Udah jangan banyak tanya! Pokoknya kalau kamu gak ke sini! Aku pilih kamu jadi dewan komite sekolah. Biar deketan terus sama kepseknya.]
"Astaghfirullah! Emang siapa sih kepseknya? Nicholas Saputra, Angga Yunanda atau Rio Dewanto? Ah, dasar si Adel rempong terus!"
Aku terkekeh konyol membaca isi chat dari Adel yang terus saja memprotesku gara-gara telat datang ke rapat bulanan sekolah Aliza--anakku yang sekarang sudah menginjak kelas dua SD.
Adel adalah sahabatku yang kebetulan anaknya sekelas dengan anakku, dari dia juga biasanya aku mendapat info-info penting sekolah yang kadang aku lewatkan. Termasuk tentang agenda hari ini tapi sayangnya aku malah datang telat.
Sebenarnya, bukan dengan sengaja aku terlambat menghadiri rapat sekarang, pekerjaan yang padat dan rapat yang tanpa henti membuatku harus membagi waktu.
Maklum, sebagai janda terbuang yang memiliki amanah pekerjaan yang banyak dan juga menjadi tulang punggung keluarga sudah sepantasnya aku berjuang. Apalagi, aku juga punya anak yang masih butuh aku hidupi.
Nasib, oh nasib. Mengapa jalan hidupku jadi seperti ini?
Semenjak aku diusir oleh mertua delapan tahun lalu dan harus bercerai dari suamiku, hidupku benar-benar serasa jungkir balik. Ibaratnya kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Setiap harinya hidupku hanya dihabiskan dengan bekerja, bekerja, bekerja dan lama-lama menderita.
Ah, Aliza. Maafkan Mama ya, andai Mamah berasal dari orang kaya mungkin saat ini kamu gak akan sampai menderita. Mamah pun bisa setiap hari mengantarmu seperti orang tua lainnya.
Ah, ini semua salahku! Kenapa aku harus dinikahi anak orang kaya sehingga pada akhirnya akulah yang harus berkorban dan membesarkan anak sendirian!
Aku mengusap air mata yang perlahan turun ke pipi. Bayangan kesakitan kembali hadir di dalam dada ini akibat teringat masa lalu di mana aku harus terusir dari rumah keluarga suamiku ketika aku sedang hamil Aliza. Sementara saat itu, sang suami yang harusnya melindungiku malah tak ada saat aku membutuhkannya karena dia harus pergi menyelesaikan pendidikannya di Jepang dan dia pun seolah hilang setelahnya sampai tidak tahu kalau aku mengandung.
Alhasil, akibat terus menerus dirongrong mertuaku, aku pun terpuruk dan terpaksa memenuhi keinginan mertuaku untuk bercerai karena keluargaku punya hutang sama mereka. Mereka bilang, jika aku pergi meninggalkan suamiku maka hutang budi dan hutang uang orang tuaku selama menjadi pembantu mereka dianggap lunas.
Demi Tuhan, rasanya sakit dan hina sekali jika aku mengingat itu semua. Aku ingin melupakan semuanya, sungguh!
Karena terlalu sibuk memikirkan nasib hidupku yang hancur pasca penindasan yang kualami, tanpa sadar ternyata mobil yang kukendarai telah sampai di parkiran sekolah Aliza.
"SD Islam Terpadu Insan Gemilang."
Aku membaca papan nama yang besar di depan gedung sekolah tersebut sambil turun dari mobil. Jujur. Aku agak minder datang ke sekolah karena terhitung baru tiga kali aku menjejakkan kaki di sekolah ini, selebihnya Adel-lah yang mewakili sebab aku tak bisa banyak ijin ke kantor.
Namun, kali ini aku memaksakan diri untuk datang dan mengajukan ijin pada atasan karena kata pihak sekolah rapat ini sangat penting sehingga tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun. Katanya, kepala sekolah yang baru ingin bertemu dulu dengan semua OTS (Orang Tua Siswa) sebagai perkenalan sekaligus pembentukan dewan komite sekolah yang baru.
Alhasil, meski sifat dasarku yang introvert ini meronta-ronta, demi Aliza aku harus berusaha menjadi orang tua Aliza yang bisa dibanggakan oleh anakku nantinya.
"Ayo, Lina! Gak boleh bikin malu anakmu!"
(*)
Dengan sedikit tergesa aku berjalan sendirian di koridor menuju aula sekolah yang merupakan tempat rapat tahunan sekolah diadakan.
Sebenarnya, acara rapat bulanan ini memang rutin diadakan sebulan sekali setelah sehabis semester seperti ini tapi entah mengapa kali ini undangannya terasa spesial.
Dan setelah berbagai macam pikiran dan keraguan, pada akhirnya berdirilah aku di sini. Di depan ruang aula tempat rapat bulanan diadakan.
"Huh! Semangat Alina Fahira!" Setelah menghembuskan napas dalam, aku pun memutuskan untuk masuk tapi baru saja memegang daun pintu tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari ruangan.
Sontak aku mundur beberapa langkah sambil terkejut.
"Ya Allah, Alina Fahira! Kamu akhirnya datang juga! Dari mana aja, sih? Udah ditungguin juga, katanya bentar lagi," omel perempuan berjilbab rapi yang ternyata Adelia itu sambil menatapku.
"Iya, maaf tadi jalanan macet banget sama rapat dikantornya alot banget Del, repot. Ini juga aku sembunyi-sembunyi ijin ke bos," dalihku dengan penuh rasa bersalah. Aku berharap Adelia memahami kesulitanku untuk sampai ke sini.
Adel menghela napas. "Ya udahlah, kalau gitu ayo masuk! Tadi kita udah sampai ke pemilihan dewan komite sekolah sebentar lagi beres. Untung aja, banyak orang yang sepakat sama rekomendasi aku yang jadiin kamu wakil ketua komite."
"Apa? Wakil ketua komite? Loh, kok aku Del? Aku kan gak sering-sering datang ke sekolah Del. Ya Salam, ogah ah! Gak mau!"
"Ish, ayo! Ini demi Aliza! Sini aku kenalin ke Pak Kepsek yang baru!"
Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung diseret oleh Adel memasuki ruang rapat yang sudah banyak dihadiri dewan sekolah dan para orang tua itu. Awalnya aku ingin sekali menolak tapi rasanya gak enak berantem masalah kayak begini, alhasil aku pasrah.
Ketika masuk, beberapa orang menatapku dengan berbagai ekspresi, ada yang ramah, sopan, aneh dan ada juga yang sinis. Aku tidak tahu alasan sebenarnya ada di antara mereka yang memandangku begitu tapi yang pasti aku tahu ini pertanda yang gak baik.
"Del, keputusannya belum final, kan? Kenapa harus aku sih Del yang jadi wakil kamu?" tanyaku pelan pada Adel yang berjalan di sampingku.
"Iya soalnya aku mau lahiran. Siapa lagi yang bisa amanah selain kamu Dan kalau kamu masih gak mau terima jabatan ini, saran aku kamu protes ke Pak Kepsek langsung." Adel yang semula ada di sebelahku mendadak melangkah maju menuju ke arah seorang pria yang tengah membelakangi kami.
"Pak, maaf Bu Alina--mamahnya Aliza sudah datang, selebihnya apabila Bapak ingin mendiskusikan sesuatu, Bapak bisa membicarakan dengan mamahnya Aliza jikalau saya keburu lahiran. Saya yakin beliau bisa mewakili saya jika nanti ada yang perlu dibantu dari dewan komite sekolah."
Setelah Adelia mengucapkan itu, aku buru-buru maju menghampiri Adelia. Dengan memaksakan senyum penuh kesopanan aku memberanikan diri menatap Pak kepala sekolah Aliza. Namun, seketika aku menegang ketika melihat siapa yang menjadi kepsek baru di sekolah Aliza. Senyumanku yang semula terkembang pun perlahan memudar dan dadaku serasa bergetar.
"Mamah Iza, kenalkan ini dia kepala sekolah kita yang baru, katanya beliau baru saja kembali dari Jepang. Dia kembali karena katanya ingin mengabdi di sini."
Astaga! Wajah itu, mulut itu, mata itu dan bibir itu ....
Ini pasti ada yang salah! Aku pasti sedang bermimpi.
AKU MOHON. Tidak mungkin dunia sesempit ini, mengapa dia kembali?
"Inilah Pak Elfarobi Fahreza. Panggil saja Pak El," kata-kata Adel bagaikan meteor yang berhasil membumi-hanguskan hatiku dalam sekejap.
Aku sontak mematung dan tubuhku gemetar hebat. Gila, ini gila! Tidak mungkin kepsek baru itu adalah Mas El, pria yang merupakan mantan suamiku dan juga ayah dari Aliza.
Oh Tuhan. Tolong, jangan sampai dia tahu kalau Aliza anaknya. JANGAN SAMPAI!
Speechless. Mungkin itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Sudah lama aku tidak mengalami kejadian yang membuatku kehilangan kata-kata seperti ini.Aku ingat betul, selama aku hidup selama dua tiga puluh tahun, ada tiga kejadian yang membuatku kehilangan kata-kata.Pertama, ketika hamil tapi mertuaku malah menolak kehamilanku dan memintaku menggugurkannya dengan alasan dia tidak mau memiliki cucu dariku.Kedua, ketika aku tidak bisa menghubungi suamiku sekali pun aku sudah berusaha mencari. El bagai ditelan bumi dan sengaja meninggalkanku di sini untuk diceraikan lewat konspirasi mertua.Dan ketiga, saat ini. Saat aku tahu kalau kepsek anakku adalah El--suami yang kini telah menjadi mantan dan sangat aku benci.Oh Tuhan. Apakah ini tanda-tanda kiamat sudah dekat? Kenapa juga aku harus bertemu mantan suami yang sudah lama ingin aku hapuskan dari ingatanku?Andai waktu bisa diulang mungkin aku memilih untuk tidak datang ke sini dan menyekolahkan anakku di sini. Sejuj
POV Author Mata El berkeliling mencari sosok wanita yang menghuni pikirannya sejak tadi. El tahu dia sudah gila. Di hari yang seharusnya dia fokus pada pekerjaan dan amanah barunya, El malah terlihat seolah sedang mengincar mangsa yaitu Alina.Bak orang kebingungan pria itu terus mencari dan menunggu di depan toilet sekolah. Perasaannya campur aduk tapi tetap berusaha untuk santai agar tak terlihat gelisah.Syukurlah penantiannya tak lama karena matanya otomatis menyipit ketika melihat seorang wanita baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sembab. Segera dia menghampiri wanita itu untuk menuntaskan semua rasa penasaran yang bergumul dalam hatinya. "Alina, apa kabar?" Itulah kalimat pertama yang El ucapkan pada mantan istrinya itu, padahal sebelum mereka bertemu dia sudah merangkai jutaan kata di benaknya tapi malah itu yang keluar. Wanita cantik itu sesaat menoleh tapi tak menjawab panggilan pria itu, ada gurat-gurat kemarahan dan kesedihan yang tampak jelas di raut m
Aku memilih untuk segera pulang sesaat setelah acara komite selesai. Rasanya aku belum sanggup berada lebih lama satu ruangan dengan El setelah perdebatan kami di depan toilet sekolah. Jujur, selepas kami saling menuduh dan aku berbohong tentang status Aliza, pertemuanku dengan El lebih tak mengenakkan. Seringkali dalam rapat kami sama-sama membuang maka walau terkadang malah bersitatap.Jadi, dibanding terbelit kondisi yang lebih awkward, aku lebih memilih ijin pergi duluan dari sekolah dibanding membuat orang lain curiga. Aku juga belum siap berbasa-basi dengan mantan suamiku dan menunjukkan kalau kami baik-baik saja. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba mobil yang kukendarai seolah tak mendukung rencanaku untuk sampai ke rumah padahal Nenek Omi bilang Iza sedikit demam sepulang sekolah tadi. Alhasil, aku terpaksa menepikannya di bahu jalan. "Astaga! Apa lagi ini, sih?" Aku menggerutu kesal ketika tiba-tiba mesin mobilku mati ketika di-starter. Sepertinya kesialan makin bertamb
Banyak yang bilang alasan seseorang tidak menjalin hubungan usai bercerai atau berpisah adalah cinta dia habis di mantannya. Mungkin itu juga yang terjadi padaku sekarang.Setelah delapan tahun berpisah dari El, anehnya perasaanku seakan malas memulai hubungan apa pun. Entah karena trauma atau faktor lainnya, aku pun tak yakin tentang itu semua.Jadi, jika sekarang El curiga tentang kedatangan Neo yang mau menolongku saat mobilku mogok, pastinya aku ingin sekali tertawa karena rasanya dia gak perlu sampai sebegitunya. "Oh ini ternyata kekasih kamu yang baru?" bisik El sambil menoleh ke arahku dan Neo secara bergantian. Aku yang tidak mau Neo disalahpahami El dan jadi canggung ke depannya, reflek menidakan dengan sedikit ketus."Jangan asal ngomong! Dia itu sebenarnya--""Elfarobi Fahreza?" sapa Neo dengan ragu yang membuat El menatap lurus ke arahnya. Aku menegang sekaligus terkejut heran karena Neo ternyata tahu nama lengkap mantan suamiku."Ya, saya Elfarobi. Bagaimana Anda bisa
Aku memandangi wajah cantik Iza yang sedang tertidur lelap. Aku mencium kening Iza dengan hangat, diam-diam aku bersyukur setelah aku datang tadi Iza langsung bisa ditangani. Ternyata karena demam tinggi, Iza jadi kejang lagi padahal setelah mengkonsumsi obat enam tahun lalu dia sudah jarang seperti itu lagi. Tapi, untunglah aku tahu apa yang harus kulakukan.Sesuai intruksi dokter Hani--DSA (Dokter Spesialis Anak)-nya Iza yang kuhubungi lewat WA, aku bisa memberikan penanganan dini pada Iza tanpa harus membawanya ke UGD. Kata dokter Hani, sementara Iza bisa diberikan obat kejang yang sudah ia resepkan, tapi jika ketika diberikan obat masih kejang barulah harus dibawa ke rumah sakit."Ya Allah, sembuhkan Iza," desahku pada saat memegang tangan Iza yang kini untungnya sudah tertidur lelap.Sembari menjaga Iza, tanpa terasa bulir air mataku turun ke pipi. Membayangkan Iza kesakitan karena kesalahanku yang belum bisa menjadi orang tua sempurna, membuat hatiku teriris. Tak seharusnya Iza
Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Syukurnya keadaan Iza membaik setelah ditangani dokter Hani yang bersedia datang untuk memeriksa Iza yang mendadak kejang.Dokter Hani itu sebenarnya kenalan Adel dan juga sudah lama menjadi dokternya Iza, maka tak heran dia berusaha memantau Iza apa pun kondisinya. Aku tidak terbayang kalau Iza telat diberikan perawatan medis, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Menurut info dari dokter Hani, Iza kembali kejang karena demam tinggi yang hampir mencapai 39 derajat.Sekarang pertanyaannya, apa yang menyebabkan Iza mengalami itu lagi? Apakah kedinginan? Kecapean? Salah makan?Atau ..."Agh!" Aku mengerang karena ketika memikirkan Iza sakit rupanya membuat perutku mendadak tak enak dan melilit. Kepalaku pun jadi pusing, mungkin karena aku terlalu stress belakangan ini.Reflek aku memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat dan makan sebentar, lagi pula Iza se
"Lin, Alina?"Aku mengerjapkan kedua mata dengan hati-hati. Saat ini perutku cukup membaik tapi kepalaku masih sedikit berputar seolah ditusuk paku walau tak sedahsyat tadi. Aku mencoba menengokkan kepala ke samping untuk memeriksakan keadaan dan mataku yang sipit seketika membola ketika mendapati ada El yang terduduk di samping dengan wajah khawatir. "Mas El?"Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Lin, kamu sudah bangun?" El menatapku cemas. Dia ingin memegang tanganku tapi ragu alhasil dia hanya menatap untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku menganggukkan kepala pelan. "Eng ... iya Mas. Ini di mana Mas?"Dia tersenyum lega. "Alhamdullilah syukurlah saya takut tadi kamu kenapa-napa. Kita sekarang ada di UGD. Kata dokter lambung kamu bermasalah dan dehidrasi. Sekarang coba kamu minum dulu, ya?" pinta El sambil membawa segelas air putih dari atas nak
"Orang kayak Mbak ini emang suka banget nyusahin, ya? Sifat ketergantungan Mbak ternyata gak hilang meski kalian sudah berpisah. Kenapa sih Mbak gak bisa sendiri aja urus hidup Mbak? Pantes Mas El ninggalin Mbak." Perkataan Faye yang menohok membuat aku menghela napas lelah. Aku sudah menduga wanita ini akan membahas hal ini saat kami tinggal berdua. Jujur, aku tidak kaget pada Faye yang menuduhku seenaknya karena dari sejak dulu dia memang begitu. "Pertama, saya gak minta Mas El buat nolong saya, kedua Mas El sendiri yang inisiatif buat membawa saya ke sini dan ketiga asal kamu tahu saya yang meminta diceraikan jadi bukan Mas El yang ninggalin," jawabku sambil menatap Faye sedatar mungkin. Aku mencoba menyandarkan badan ke ranjang karena kepalaku terasa lebih sakit dan berdenyut hanya karena gara-gara melihat Faye.Faye menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di samping bed dengan sikap jumawa. "Tapi yang aku lihat gak kayak gitu. Mas El sengaja meninggalkan Mbak yang memang beda k