Pukul 10 malam aku masih termenung di kursi depan sambil memeluk lututku. Selain mataku yang tak kunjung terpejam lagi, aku juga sedang menunggu Mila datang.
Akan langsung kuceritakan apa yang kulihat tadi, ada luka di sekujur tubuh Nila dan jenazahnya tidak diantarkan oleh keluarga suaminya yang bedebah itu."Hujan Bi, dingin," kata Sarah yang tiba-tiba datang dari dapur.Aku menoleh, wajahnya memang tampak pucat dan menggigil kedinginan."Ya ampun Sarah, ambil selimut di lemari Bibi dan tidur sana," sahutku tanpa beranjak dari kursi.Anak itu memang sengaja ingin menginap di sini untuk menemaniku katanya, karena bapaknya Nila seperti biasa, mereka melekan untuk menunggu makam baru sampai malam ke 3."Ayo tidur Bi, Sarah mau tidur sama, Bibi.""Bibi belum ngantuk Sar, kamu tidur duluan gih.""Jangan terlalu pikirin Nila, Bi."Aku mengangguk, anak itu pun beranjak pergi ke kamar.Dipikir-pikir, kenapa anak itu terlihat lemas sekali? Padahal kalau dia sakit tak usahlah dia menginap di sini kasihan."Ah biar kuingatkan saja, kasihan kalau dia sakit meningan kusuruh pulang saja."Baru saja aku bangkit akan menyusul Sarah, seseorang datang membuka pintu."Bi, maaf ya Sarah baru ke sini, tadi rumah bocor jadi bantuin ibu masang ember dulu," katanya sambil sibuk menutup payung yang ia bawa.Sementara wajahku mendadak seperti diterjang badai. Dadaku sampai kembang-kempis melihat Sarah kini ada di depanku."S-Sar-rah?""Iya Bi, ini Sarah, kenapa?" Dia balik bertanya dengan raut keheranan."Tadi-" Aku tergagap menunjuk ke belakang."Tadi apa?""T-tadi kamu-kamu-""Ada apa, Bi? Tadi kenapa?"Tanpa menunggu lagi Sarah menerobos masuk dan melihat ke dapur."Tadi apa? Ada apa? Di dapur gak ada apa-apa, Bi." Sarah mencecar."Tadi kamu udah masuk ke kamar Sar, kamu bilang kamu kedinginan.""Hah?" Sarah terkejut, bergegas ia menengok ke kamarku."Gak ada siapa-siapa, Bi, Sarah baru datang ini," katanya serius.Aku bergeming lalu perlahan ambruk di atas kursi.Kalau tadi bukan Sarah lalu siapa? Gak mungkin ada orang lain, di luar juga hujan sedang turun deras."Bi? Bibi eling Bi, jangan terlalu pikirin Nila, Nila udah tenang, ayo sekarang Bibi langsung tidur aja." Sarah pun membawaku ke dalam kamar.Sampai di sana aku kembali terbelalak saat melihat selimut yang kumaksud sudah berada di atas kasur."Kenapa, Bi?""Sar, Bibi yakin sekali tadi kamu udah masuk kamar, malah Bibi suruh kamu ambil selimut, lihat ini selimutnya juga udah diambil." Aku memungut selimut itu dan menunjukannya pada Sarah.Sarah megibaskan tangan."Udahlah, Bi, meningan sekarang Bibi tidur aja, Bibi terlalu kepikiran ini sampai mikir yang aneh-aneh gitu," katanya seraya membaringkanku di sisi ranjang.Tapi aku tidak mungkin salah, tadi Sarah jelas-jelas mengajakku tidur, dan dia bilang dia dingin.Astagfirullah, apa jangan-jangan itu bukan Sarah, tapi ...?"Ya Allah aku mikir apa? Anakku sudah tenang di sana, untuk apa aku memikirkan yang tidak-tidak? Benar kata Sarah, mungkin aku hanya terlalu kepikiran," gumamku.Aku pun memaksa kembali memejamkan mata.Dalam mimpi Nila kembali hadir, ia terlihat memakai baju putih yang sangat panjang tapi kotor, sebelah tangannya tampak dirantai dan sebelahnya lagi melambai ke arahku."Ibuuu toloong, Nila sakiiit," katanya lemah dengan air mata yang terurai merah.Aku menganga, tapi tatkala aku ingin melangkah ke arahnya Nila sudah menghilang ditelan cahaya keperakan."Nilaaa." Aku menjerit dan bangkit dari tidurku.Di sampingku Sarah ikut terperanjat."Ada apa, Bi? Nyebut Bi, nyebut," katanya sambil mengelus pundakku."Astagfirullah Sarah, Bibi sebenarnya kenapa? Kenapa Nila selalu saja hadir begini?""Hadir begini gimana sih, Bi? Makanya Bibi ikhlaskan Nila Bi, Nila udah tenang di sana."Sarah mengambil air dan memberikannya padaku, kureguk hingga setengahnya.Kutengok jam dinding menunjukan tepat pukul 12 malam, tapi aku merasa seperti baru saja mengerjap tidur.Ya Allah sebetulnya aku kenapa? Apa mungkin aku terlalu sedih dengan kepergian anakku? Sampai aku mimpi yang tidak-tidak begini."Ayo Bi, tidur lagi." Ucapan Sarah di sampingku membuatku mengerjap."Sar, apa mungkin ada sesuatu yang belum selesai di balik kematian Nila?""Bibi ini ngomong apa?""Bibi kepikiran terus soal luka-luka lebam itu Sar.""Bi, luka-luka lebam itu mungkin saja terjadi karena adanya pembekuan darah yang mendadak jadi tampak di kulit seperti lebam-lebam jadinya, Bi.""Apa iya Sar?"Anak itu mengangguk pelan."Tapi luka sayatan pisau itu?""Kalau itu ... Sarah enggak tahu, tapi udahlah Bi, biarkan Nila istirahat dengan tenang, ayo sekarang Bibi tidur lagi.""Bibi gak bisa tidur Sar, Nila seperti masih ada di sekitar Bibi, dia seperti ingin meminta pertolongan Bibi."Anak itu menelan saliva. Wajahnya berubah ketakutan."Minta tolong gimana sih, Bi?" bisiknya kemudian sambil memegang erat lenganku."Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya.""Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali.""Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar.""Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi."Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.Sarah menggeleng ragu."Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."Anak itu mematung tak menanggapi."Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya."Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap."Kamu ini mikirin apa sih Sar?""Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.Tapi di sisi
"Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?""Coba minta ke si Sarah, Bu."Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi."Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."Suamiku termenung sambil memijit keningnya."Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti
"Cuma dicas? Gak rusak?" Aku mengulangi.Suami mengangguk dengan tatapan serius."Tapi kata Sarah hape nya rusak Pak, makanya gak dipake dari dulu.""Ya ini hape nya baik-baik aja, tadi Bapak cuma disuruh ke conter aja sama Pak Tomo, katanya suruh beli kartu baru dan pasang di sana, nih kalau gak percaya Bapak mau telepon Mila, tadi Bapak juga udah diajarin gimana caranya nelepon sama Pak Sutomo di kantor bale desa," ujarnya lagi.Ia mulai memencet beberapa tombol hingga ponsel itu pun berbunyi menunggu telepon diangkat."Mana, Pak? Mila mana?" Aku tak sabar."Sabar dulu, tadi kata Pak Tomo sebelum ada bunyi hallo berarti belum diangkat, Bu."Akhirnya kami pun menunggu beberapa detik."Hallo." Suara Mila pun mulai terdengar di jauh sana. Aku dan suami sampai melonjak kegirangan."Ha-hallo, hallo hallo hallo Mila.""Ibu? Ini Ibu?""Iya, Nak ini Ibu, Ibu sama Bapak khawatir banget sama kamu, kamu masih di mana sekarang?" Aku langsung mencecaer karena sudah tak sabar lagi rasanya."Maksu
Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Ak
Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."
"Enggak ada gimana maksud kamu?" tanyaku setengah menaikan oktaf."Coba Bibi dan Paman ke sini, lihat sendiri saja," balas si Parman.Aku pun segera mendekat dan melihat sendiri lubang makam itu."Astaghfirullah al'adzim." Aku kembali ambruk di dekat gundukan tanah bekas kuburan Nila yang sudah dibongkar habis itu."Apa yang terjadi sama kamu, Nak?" jeritku lagi."Parman apa kamu yakin jenazah Nila gak ada?" tanya suamiku."Lihat sendiri saja, Paman."Dengan kaki bergetar suami melangkah ke dekatku."Gustiii bagaimana bisa jenazah anakku hilang? Kemana dia sekarang?" Suami ikut ambruk di sampingku, dengan wajah frustasi dan kacau ia memegangi kepalanya."Apa mungkin jenazah Nila dibawa binatang buas?" tanya seorang warga yang ikut menggali."Gak mungkin, gak mungkin binatang buas membawanya atau kalaupun dirusak pasti ada bekasnya." Suamiku menyahut dengan terus menggelengkan kepala. Ia tampaknya terpukul sekali melihat kondisi makam Nila."Bang, Parman coba periksa sekali lagi, mungk