Share

Aku Akan Melakukan Apapun Keinginan Ayah

Priscilla pun memutuskan untuk tidak ambil pusing dan terus membiarkan pria paruh baya di sampingnya itu. karna hingga kini, dokter bahkan belum ke luar dan memberikan kabar tentang ayahnya. Namun tak lama kemudian, tiba-tiba ada seorang pria dengan tubuh yang tegap dan tinggi berjalan ke arahnya.

Priscilla tidak menaruh curiga sekalipun, karna pada saat itu, wajah pria dengan rambut berwarna coklat itu tidak terlihat dengan jelas. Ia memakai kacamata hitam dan juga masker sehingga membuat seluruh wajahnya tertutup. Ia seolah sengaja menyembunyikan wajahnya.

Tampaknya, pria yang baru saja datang itu merupakan teman dari pria paruh baya yang kini tengah duduk di sampingnya. Meskipun membiarkannya, anehnya Priscilla merasa mata pria itu terus tertuju padanya, meskipun kaca mata hitam membuat matanya tidak terlihat.

“Aku sudah menunggumu dari tadi,” kata pria paruh baya di sampingnya itu, menyambut kedatangan temannya yang baru saja datang.

“Maafkan saya karna sudah terlambat, ayah.” pria muda yang baru saja datang itu, meminta maaf pada pria paruh baya di samping Priscilla. Percakapannya yang menggunakan nada bicara yang lantang, membuat Priscilla tak sengaja ikut mendengarnya.

Priscilla mendengar sekilas panggilan yang di sematkan oleh pria yang baru saja datang itu pada Pria paruh baya di sampingnya. Rupanya pria berkulit putih dengan rambut nya yang coklat itu bukan kerabat maupun temannya, melainkan putranya.

Sampai akhir, pria itu tetap tidak membuka masker ataupun kaca mata yang menutupi wajahnya. Penampilannya yang terlihat mencurigakan itu, membuat Priscilla lama kelamaan merasa penasaran sekaligus curiga.

Namun saat hendak bertanya, tiba-tiba saja dokter yang dari tadi Priscilla tunggu tunggu akhirnya keluar. Priscilla dengan cepat langsung berdiri, bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari balik pintu.

“Nona Priscilla?” begitu keluar, dokter pun segera memanggil nama Priscilla yang merupakan satu satunya keluarga yang di miliki ayahnya.

Priscilla pun dengan terburu buru menjawabnya. “Sa, saya!” ujar Priscilla dengan keras.

“Tuan Ditrian sedang menunggu anda di dalam, anda boleh masuk. Tapi tolong, jangan sampai beliau terlalu di tekan atau pun merasa sedih, karna kondisinya saat ini sedang lemah.” dokter yang baru saja selesai menangani ayahnya pun memberi kabar baik. Bahwa ayahnya kini sudah siuman, dan bahkan langsung meminta untuk menemuinya.

Priscilla pun mengangguk, menyeka air matanya yang baru saja menitik di pipinya. Ia segera masuk ke dalam ruangan ICU, sebelum ayahnya di pindahkan ke ruang rawat inap.

“Ayah,” Priscilla memanggil ayahnya dengan hangat. Ia langsung berlari ke tempat dimana ayahnya tengah terbaring saat ini.

Ditrian menatap putri satu satunya dengan sorot mata yang hangat. Rasanya, perselisihan sebelumnya  di antara mereka seolah tak pernah terjadi. Ditrian pun langsung membuka kedua lengannya, seolah memberikan isyarat pada Priscilla untuk segera memeluknya.

Priscilla yang pada saat itu hampir menangis, langsung berlari ke arah Ditrian kemudian memeluknya dengan hangat. Ia menangis di bahu sang ayah, satu satunya keluarga yang ia miliki saat ini.

“A, ayah .... maafkan aku, ini semua salahku. Seharusnya aku tidak membentak ayah tadi, seandainya tadi aku tidak membentak ayah, ayah tidak akan mengalami serangan jantung lagi.” Priscilla terus menyalahkan dirinya sendiri, atas musibah yang baru saja menimpa ayahnya.

Sementara Ditrian, menunjukkan sikapnya yang dewasa sebagai sosok orang tua tunggal. Meskipun sudah dewasa, Ditrian selalu memeluk erat dengan penuh kasih sayang, putri yang masih ia anggap seperti anak kecil itu.

“Tidak, ini bukan salahmu. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri,” Ditrian ikut bersedih, mendengarkan ucapan putrinya yang terus menyalahkan dirinya sendiri.

Keduanya pun terhanyut dalam pelukan hangat satu sama lain. Priscilla seolah melepaskan semua rasa sakit di hatinya, lewat tangisannya yang tak kunjung berhenti itu. Sementara Ditrian terus menepuk nepuk punggung putrinya, membuatnya merasa nyaman meluapkan semua keresahan dalam hatinya.

Setelah cukup lama menangis, akhirnya Priscilla mengangkat kembali kepalanya kemudian melepaskan pelukan eratnya pada ayahnya tadi. “Ayah, jika ayah ingin aku melakukan apapun itu, termasuk menikah, aku akan melakukannya. Aku akan melakukan apapun yang ayah perintahkan, maka dari itu, ku mohon jangan sakit lagi.” Priscilla mengatakan hal itu dengan lantang, sorot matanya pun terlihat di isi dengan penuh keyakinan pada ayahnya.

Hal ini membuat Ditrian sedikit tertegun dan juga merasa senang. Putrinya yang selama ini keras kepala dan tidak pernah mendengarkannya, ternyata begitu sayang padanya sampai-sampai akhirnya bersedia untuk menuruti ucapannya.

“Nak, apa benar yang kamu katakan itu? Ayah tidak ingin jika kamu merasa menyesal atau melakukannya karna terpaksa.” Meskipun sedikit merasa bersalah, Ditrian terus mencoba untuk membuat putrinya kembali merasa sedih melihatnya.

“Aku tidak akan menyesal. Aku akan melakukan apapun yang ayah perintahkan, asal ayah berjanji tidak akan sakit lagi.” dari perkataan Priscilla barusan, ia seolah juga menegaskan bahwa akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk ayahnya.

Ditrian pun tersenyum, melihat putrinya yang begitu menyayanginya. “Iya, ayah berjanji.” Ditrian mengelus rambut putrinya dengan hangat, mendaratkan kecupan manis di dahinya untuk membuat Priscilla merasa tenang.

Priscilla pun mencoba menghentikan air matanya yang terus menetes dari tadi. Ia kini tersenyum, merasa senang karna ayahnya kini kembali tersenyum meskipun tubuhnya masih lemah.

“Nak, ada yang ingin ayah kenalkan padamu.” di tengah-tengah suasana yang masih sedih itu, Ditrian yang tidak sabar, langsung mengalihkan topik pembicaraan di antara mereka.

Dengan raut wajah yang penasaran, Priscilla bertanya tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya siapa yang ingin ayahnya kenalkan padanya di saat-saat seperti ini. “Siapa, ayah?” tanyanya dengan penasaran.

Tak lama kemudian, pintu ruangan pun terbuka. Pria paruh baya yang dari tadi terus duduk di sampingnya, kini masuk ke dalam bersama dengan putranya. Priscilla pun menatap ayahnya dengan bingung, ia tidak bisa mencerna situasi saat ini yang begitu membuatnya pening.

“Apa kamu sudah merasa bahkan?” tanya pria paruh baya tadi, sambil menghampiri Ditrian yang tengah berbaring dengan lemah di atas ranjang rumah sakit.

Seolah sudah mengenalnya sejak lama, Ditrian yang di kenal Priscilla sebagai orang yang cuek dengan orang lain itu, menjawabnya dengan ramah. “Aku sudah baik-baik saja.” jawab Ditrian dengan senyum di wajahnya.

Priscilla merasa tidak adil karna di dalam ruangan ini, sepertinya hanya ia saja yang masih belum mengerti tentang situasi yang tengah terjadi saat ini.

Priscilla pun menyela pembicaraan antara orang tua yang sedang berlangsung tersebut, “Tung, tunggu  dulu ... anda bukannya yang tadi terus duduk di samping saya? Mengapa anda masuk ke sini?” ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Priscilla tanyakan pada ayahnya. Namun, hanya dua pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status