Cerita ini adalah sekuel dari cerita Nafkah Lima Belas Ribu, yang menceritakan perjalanan hidup fani, adik kandung Nia. Jadi, bila Anda ingin membacanya, mohon untuk membaca cerita Nafkah Lima Belas Ribu minimal sampai bab 50-an. Agar paham jalan cerita serta tokoh di dalamnya. Terima kasih.
***
POV FANI
Aku tipe cewek yang membingungkan, tomboy tidak, feminim juga tidak. Hanya saja, setelah Mbak Nia terjun, lebih tepatnya menggeluti bisnis jual produk kecantikan, dia memaksaku untuk lebih merawat diri. Katanya sih, buat endorse gitu. Aku paham, sebenarnya Mbak-ku itu hanya memanfaatkan wajahku secara gratis agar dapat menarik konsumen dari kalangan teman-teman kampus.
Tipe cowok idamanku itu benar-benar high class, itu menjadi salah satu sebab diriku menjadi jomblo selama hidup. Bukan karena tidak menemukan pria yang menjadi pacar, tapi mereka yang aku taksir selalu menjauh secara halus setelah tahu keanehan sikapku.
Terakhir kali, aku naksir berat pada dosen pembimbing skripsi yang masih single, walaupun usianya sudah mapan. Aku selalu berpenampilan cantik, saat ada jadwal bimbingan dengan beliau. Ramah dan bukan tipe pemilih, menurutku. Oleh karenanya, aku berani mendekati.
Suatu ketika, aku hanya berdua dengan beliau di ruang dosen saat ada bimbingan. Kebetulan hari Sabtu, jadi, jarang ada yang berangkat. Sebenarnya, dosen bernama Arya bukan Saloka itu tidak berminat ke kampus. Namun, aku melancarkan serangan memaksa agar bisa bertemu dalam suasana sepi dalam rangka menggali informasi tentang kehidupan pribadinya. Sebelum rasa ini terlanjur jauh.
“Pak, Bapak saya kritis di ICU, tolong ya, Pak? Saya takut bila umurnya tidak panjang dan saya belum menyelesaikan skripsi saya, beliau tidak akan tenang …,” ucapku sambil menangis. Meskipun agak kurang ajar, namun, kuharap Bapak memakluminya. Ini juga demi mengangkat harkat dan martabat keluarga. Aku bisa mengeluarkan air mata karena, menyadari kalau dosa sekali menggunakan nyawa Bapak sebagai alasan untuk bertemu dengan Pak Arya bukan Saloka.
Maka, berhasillah diriku membuat pria yang mirip Aldebaran di sinetron Nafkah Lima Belas Ribu karya author Nay Azzikra , eh salah, maksudnya sinetron Ikatan Cinta, itu mau menemuiku di kampus.
“Tolong jangan banyak yang direvisi ya, Pak? Aku lelah mengetiknya …,” pintaku dengan nada memelas. Pak Arya bukan Saloka memicingkan mata ke arahku.
“Ini baru tinjauan pustaka, Fani … dan ini cuma dua halaman, kok bilang banyak?”
“Eh itu, anu Pak, kan saat ini saya sedang berduka, jadi, ngetik segitu rasanya banyak.”
Pak Arya bukan Saloka menghela napas panjang. “Perbaharui yang terakhir, itu terlalu lama tahunnya. Cari yang lima tahun terakhir kajian pustakanya!”
Setelah selesai urusan per-sekripsian, Pak Arya yang dasarnya ramah, bertanya tentang kronologi Bapak masuk rumah sakit. Dengan melebih-lebihkan, aku menceritakan pada dosen gantengku. Berharap beliau semakin berempati pada diri ini.
“Aku harus capek, Pak, mengurus Bapak di rumah sakit, juga melanjutkan penelitian untuk bahan skripsi ini, ditambah lagi bolak-balik nemuin Bapak ke kampus ….”
“Sabar ….”
Apa? Sesingkat itu dia menjawab setelah curhatku yang panjang lebar?
“Saya permisi dulu ya, Fani … sudah ditunggu seseorang di tempat parkir. Karena sebenarnya saya mau ada acara, hanya saja kasihan sama kamu.”
“Eh, iya, Pak … maaf selalu merepotkan dengan mengganggu Pak Arya ….”
“Tidak mengapa, semoga bapaknya cepat sembuh, ya?” Pak Arya bukan Saloka berdiri dari kursinya. Terlihat menawan sekali, dengan kemeja yang dilipat sampai siku.
“Hati-hati, Pak ….” Aku ikut berdiri dan berjalan mensejajari langkahnya.
Kami berbicara banyak hal sambil melangkahkan kaki. Hal yang ringan-ringan saja, yang berat biar dipikirkan Mbak Nia sama Umar saja.
Mumpung jarang ada mahasiswa di kampus, sejenak merasakan kalau kami berjalan bersisihan seperti sepasang ….
“Sudah selesai?” Seorang perempuan yang berpenampilan alim, memakai gamis syar’I, tapi tidak mengurangi keanggunannya—tersenyum ramah menyapa dosen yang sedang kuhayalkan menjadi … ah, betapa menyakitkan bila diteruskan.
“Sudah, ayo … saya duluan ya, Fani …,” pamit Pak Arya bukan Saloka sembari tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
Aku hanya mengangguk dengan melempar pandangan sengit pada perempuan yang tersenyum ramah padaku.
Lepas lagi sasaranku.
Apa yang salah dengan diri ini? Mengapa semua pria yang kutaksir dari dulu selalu lolos. Pak Arya hanya satu diantara yang banyak. Apakah memang, lelaki yang pantas untukku seperti, Umar?
Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Yang mati Umar, yang tumbuh, cowok-cowok baru dong! Itu adalah prinsip baru dalam hidupku. Kepergian Pak Arya bukan Saloka bersama seorang wanita yang sok imut menimbulkan kepedihan mendalam buatku. Tega sekali dia, mematahkan mimpi yang sudah terlanjur membumbung tinggi. Aku berjalan gontai, menyusuri jalan kampus yang sepi, beberapa mahasiswa yang beruntung memiliki pasangan, melewatiku sambil berboncengan mesra. Beberapa yang kukenal membunyikan klakson, pura-puranya menyapa, padahal, hanya mau pamer saja. “Duluan ya, Fan …” Salah satu teman cewek yang satu kelas denganku, Anya namanya, menepuk pundak sambil setengah berlari. Eh, ternyata, di depan sana, di atas motor, telah nangkring cowoknya menunggu. “Ya …” jawabku ketus. “Ay, maaf ya, telat. Tadi harus nunggu dosen lama soalnya …” lebay banget dengar dia bicara sok diimutin sok dimanisin gitu. Padahal, kalau di kelas suaranya cempreng level
“Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik juga …” begitu selalu yang dikatakan Bapak saat memberiku nasehat agar selalu bisa menjaga diri.Mungkin inilah alasannya, mengapa sampai sekarang, diriku menjadi jomblo yang tidak bahagia. Karena aku terlalu baik untuk mereka yang pernah kucintai. Tapi, apakah iya, seorang Pak Arya bukan Saloka adalah pria yang buruk untuk diriku? Bahkan, dirinya adalah pria paling baik yang pernah aku kenal. Ah, sudah berapa kali aku mencintai lelaki sebenarnya? Tak terhitung! Benar-benar memalukan. Aku ini cewek yang tidak punya harga diri. Memiliki perasaan dengan banyak orang yang bahkan, melirikku-pun, tidak! Sampai-sampai, otak ini lupa, siapa cinta pertama dulu.Bila dosen keren itu tidak berjodoh denganku, lantas, itu berarti, aku-lah yang sebenarnya tidak pantas untuknya? Bisa jadi!Sedang merenung sembari menunggu Dinda, sahabat yang selalu berbeda pendapat denganku, yang sedang ikut mata kuliah di kamp
Beberapa kali bertemu Doni membuat diri semakin sering memikirkannya. Ada hasrat untuk selalu memandang wajah yang teduh.Dari aura yang terpancar, kelihatan sekali kalau Doni pemuda yang sholeh. Bikin betah gitu kalau lama-lama memandang. Aku berpikir, bila itu sebuah dosa, setelah memandangnya, aku mengucap istighfar yang banyak.Doni benar-benar berbeda jauh dari Umar. Entah mengapa, saat melihat cowok aneh itu, perutku selalu mulas. Bahkan, baru melihat melihat bayangannya saja, rasanya aku ingin ke toilet. Tapi, bukankah kriteria pendamping hidupku kelak, dia harus lulusan S2? Sedangkan Doni sepertinya cuma lulusan SMA. Dinda, kawan baikku pasti akan tertawa sambil menari di pelaminan.Mungkin, ini sudah menjadi nasib gadis yang selalu memasang selera tinggi.“Lelaki yang sholeh hanya untuk perempuan yang sholeh, Fani … dan kamu tuh harusnya sadar diri, jangan berharap yang tinggi-tinggi, kalau kamu-nya aja masih rendah …,”
Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang."Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari."Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal."Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan."Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Su
Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung."Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah."Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen."Apaan, sih?" protesku kesal."Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius."Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebi
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat