BIARKAN AKU PERGI (4)
Kujabat tangan wanita yang sepertinya lebih dewasa dari usiaku. Kelebihannya? Aku tak punya kesan mendalam. Sepertinya biasa saja. Tetapi kata orang, cinta pertama bisa jadi sulit dilupakan. Kuberikan seulas senyum padanya, lalu aku memilih ke belakang. Aku sudah menganggap rumah mertuaku ini seperti rumah sendiri. Biasanya aku akan segera ke dapur jika berkunjung ke sini. Mengeluarkan makanan yang kubawa dan menghidangkan kembali untuk kedua orang tua Mas Bayu. Di rumah mertuaku ini, ada Bi Darmi yang suka bantu-bantu. Aku juga sering mengobrol dengannya jika datang ke rumah ini. Mendengarkan ceritanya. Tapi, hari ini kurasa tatapan Bi Darmi sedikit berbeda. Entah apakah ini hanya perasaanku? “Bi, aku masak dimsum nih. Papa dan mama biasanya suka.” Kukeluarkan kotak makan ukuran besar dari tas jinjing yang kubawa. Lalu bergegas kuambil piring besar untuk menyajikan dan mangkuk buat sausnya. Kulihat Bi Darmi sebentar-sebentar melirik padaku. Tapi, dia memilih diam. Padahal biasanya dia banyak bicara. Membicarakan anaknya, kambingnya, bahkan tetangga-tetangga mertuaku yang aku sebenarnya tak mengenalinya. “Bi, aku keluarin ini. Bibi bawa piring kecilnya, ya,” ujarku kemudian memecah kehebingan. Sebenarnya aku tidak menyukai suasana kebisuan seperti ini. Sepertinya ada yang aneh. Misalnya, biasanya kamar Mas Bayu yang aku pakai istirahat biasanya pintunya terbuka, kini tertutup rapat. Bahkan, tadi aku mencoba membukanya untuk meletakkan tas selempang, ternyata pintunya dikunci. Baiklah. Aku tetap akan menjadi menantu yang baik bukan? Kupelankan langkah saat hendak mencapai ruang tamu. Menguping pembicaraan orang tentu bukan sesuatu yang baik. Tetapi, aku pura-pura menunggu Bi Darni yang kuminta membawakan piring kecil yang belum datang. “Mama tidak mau jika orang tua Fahira sampai tahu hal ini,” ujar mama Mas Bayu. Aku hanya bisa menahan nafas. Entah apa yang dibicarakan, tapi mereka menyebut namaku. Segera pura-pura kupanggil Bi Darmi agar mereka mengalihkan pembicaraan sebelum aku datang. Aku tak mau mereka kaget dengan kemunculanku di ruang tamu. “Piringnya ada?” tanyaku dengan suara agak keras. Bi Darni mengangguk. Kami berdua kemudian menyajikan makanannya. “Ira tadi buat dimsum nih pa. Ini ada yang udang sama ayam,” jelasku memecah kecanggungan. Kuambilkan papa mertua empat buah dimsum lalu kutuang saus di atasnya. Begitu juga untuk mama mertuaku. “Mba Nabila, silahkan ambil, Mba,” kutawarkan ke tamu itu sebelum mengambilkan untuk Mas Bayu, karena aku ingin menghormatinya. Wanita itu menatapku lalu tersenyum. Entah senyum yang dibuat-buat ataukah senyum karena aku mempersilahkannya. Aroma dimsum yang masih agak hangat ini memang menggugah selera. Tak sampai setengah jam, dimsum yang aku sajikan sepiring besar sudah tandas. Untung aku menyisakan beberapa di belakang untuk Bi Darmi. “Masakanmu semakin enak,” ujar mama mertua. Tapi kini kurasa sedikit hambar pernyataan mama itu. Dulu, aku biasa curhat dengan mama mertua tentang masakan yang aku coba bikin, lalu aku membawa hasilnya ke mama untuk dinilai. Mama selalu memujiku dan aku senang. Ini seperti hiburan saat Mas Bayu belum bisa menerimaku. Kini, pujian mama terasa seperti tusukan sembilu. Semua usahaku seolah tak ada artinya. Hati Mas Bayu telah berpaling meski aku berusaha keras meraihnya. “Nanti Fahira bisa bikin resto. Papa yang investasi, ya?” ujarku sambil melirik ke Mas Bayu. Namun, sepertinya guyonku terasa hambar. Apakah kehadiran wanita itu yang membuat suasana berubah. Terakhir aku ke sini, meskipun Mas Bayu masih terasa garing, tapi papa dan mama selalu menanggapi gurauanku dengan gurauan yang lain. Namun, barusan kulihat mereka hanya saling berpandangan. “Mas Bayu, jadi mau pergi jam berapa?” tanyaku untuk memecah kecanggungan. Kulihat papa dan mama ekspresinya makin aneh. Wanita itu juga sesekali melirik ke Mas Bayu. Entahlah. Aku merasa menjadi seseorang yang terbuang di sini. Seingatku, jika kita dikenalkan dengan teman lama, bukannya dia akan menjelaskan kesan apa tentang teman lama itu. Tapi, ini tidak. Bahkan Mas Bayu tak mencoba menjelaskan siapa wanita itu dan mengapa ada disini? Bisa kan dia mengatakan, dia disini mencariku karena sudah lama tidak ketemu. Atau mengatakan mau ada reunian, jadi dia meminta jadi panitia. Atau apa saja yang berhubungan dengan teman lama. Tapi, ya sudahlah. Mungkin dua tahun tak cukup aku menjadi bagian dari keluarga ini. Dan mungkin inilah saatnya aku untuk mengalah. “Mas, katanya mau ketemu temenmu. Nanti terlambat lho,” ujarku lagi mengingatkan. Sebenarnya, ini hanyalah alasan belaka karena aku ingin pergi secepatnya dari sini. Sepertinya tak ada lagi alasan untuk bertahan. “Oh ya, Ma. Kemarin aku habis dinas. Maaf lama tidak ke sini. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk mama dan papa.” Kuangsurkan goodie bag berisi kain tenun khas salah satu daerah yang kukunjungi saat mengambil data di wilayah timur Indonesia. Aku juga memberikan oleh-oleh untuk Bi Darmi sebelum aku berpamitan. Bisa jadi ini terakhir kalinya aku ke sini. Ada rasa sesak di dadaku. Kupindai semua sudut rumah ini sebelum aku benar-benar berpamitan ke papa dan mama. Kupeluk keduanya. “Ma, Pa, maafin Fahira ya,” kubisikan kata maaf saat memeluknya, agar aku tak hutang maaf jika aku benar-benar meninggalkan mereka. Mama dan papa saling berpandangan melihatku sedikit menyeka air mata yang tak sengaja mengalir. Tapi, tak lupa segera kuulas kembali senyum. Aku tak ingin mereka tahu jika aku sudah mengetahui rencana mereka. Aku hanya ingin meninggalkan kesan baik kepada mereka jika mereka tak menemukanku lagi. Ada ganjalan dalam hatiku, mengapa wanita teman Mas Bayu itu masih disana. Bahkan, ketika kami pamit, sepertinya tidak ada niatan segera berpamitan? Tetapi, ya sudahlah. Mungkin mama dan papa mertua memang akan menggantikanku dengannya. Dan kepergianku tentu tak akan membuat mereka repot harus menyembunyikan hubungannya dengan Mas Bayu kan? “Kamu kenapa, Ra?” tanya Mas Bayu sambil meraih jemariku. Aku segera menoleh ke arahnya yang masih fokus menyetir. Begini memang Mas Bayu, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Apakah semua lelaki seperti ini? Pandai bersandiwara? Atau dia sedang latihan mendua? “Aku sedih, Mas. Ternyata kita cukup lama tidak mengunjungi papa dan mama,” ujarku kemudian. Aku memang sedih karena merasa terbuang. Tapi, aku tidak bohong jika kami sudah lama tidak berkunjung. Tepatnya aku yang lama tidak berkunjung, entahlah kalau mas Bayu. Bisa jadi dia diam-diam tanpa mengajakku datang ke sana bukan? Toh, itu rumahnya juga. “Maafin aku, ya,” ujar Mas Bayu sambil mengusap kepalaku. “Mas, kita juga sudah lama tidak ke ayah dan ibuku.” Aku mencoba mengingatkan Mas Bayu. Memang ayah ibuku tinggal lebih jauh dibanding orang tua Mas Bayu. Tapi seharusnya tidak ada alasan tidak mengunjunginya, karena kami masih belum ada kerepotan mengurus anak, ataupun kerepotan kendaraan. “Iya, Ra. Nanti kita atur habis aku ke luar kota, ya,” ujarnya sambil menepuk lenganku dengan tangan kirinya. Aku hanya mengangguk. Setiba di rumah, Mas Bayu hanya menurunkanku dari mobil. Dia buru-buru pergi untuk bertemu teman, katanya. Tak lupa dia memberikan kecupannya sebelum meninggalkanku. Aku segera membersihkan diri dan berganti baju. Rasa malas membuatku ingin mengurung saja di kamar sambil membuka laptop.Sebenarnya aku malas untuk mencari tahu tentang Mas Bayu. Sudah cukup rasa pedihku dibuang oleh keluarga Mas Bayu, meskipun itu hanya perasaanku saja. Meskipun mereka tak mengeluarkan kata apapun kepadaku. Aku tahu, karena mereka masih segan kepada kedua orang tuaku. Bagaimanapun yang mengajak perjodohan ini adalah orang tua Mas Bayu, bukan orang tuaku. Tentu saja posisi tawar orang tuaku lebih kuat jika keluarga Mas Bayu akan mengembalikanku ke orangtuaku. Tetapi, aku harus benar-benar mencari bukti sebelum aku melangkah jauh. Visa studi sudah di tangan. Aku tinggal mengeksekusi tiket. Tapi aku harus mencari tanggal yang tepat saat Mas Bayu sibuk. Aku tidak mau Mas Bayu atau keluarganya mencegahku. Kubuka aplikasi GPS dan kumasukkan nomor Mas Bayu. Ah, dia kembali lagi ke rumah mertuaku tadi ternyata. Mungkin pembicaraan tadi belum usai. Mungkin teman yang mau ditemui Mas Bayu memang Nabila yang tadi sudah ada disana. Tapi, mengapa Mas Bayu tidak jujur saja? Atau mertua tidak jujur saja kepadanya?Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat.Percuma untuk marah. Mereka memang sudah bersepakat membuangku. Lebih baik aku duluan yang pergi sebelum mereka mencampakkanku. Ya Tuhan, hilangkanlah rasa benci dan dendam di hati ini. Tiba-tiba aku teringat ke misi awalku. Aku hanya boleh meninggalkan kenangan yang baik saja. Tanpa sakit hati. Kubuka kembali akun medsos yang jarang aku pakai ini. Kulihat akun Nabila dan mas Bayu dari akunku. Tak ada update terbaru. Mungkin di setting hanya teman-temannya yang bisa melihat. Tanpa pikir panjang, aku sign in kembali di akun Mas Bayu. Jantungku berdebar saat kulihat beberapa notifikasi di sana. Aku klik notifikasi itu yang mengarah pada postingan terbaru. Tepatnya postingan Nabila. Meskipun itu tidak di tandai ke akun Mas Bayu, tetapi postingan teman yang sering berinteraksi dengan kita kadang ditandai dengan notifikasi. [H-7] Postingan itu singkat dan tentu saja menyiratkan sebuah arti. Artinya, Nabila sedang mempersiapkan sesuatu yang besar dengan menghitung mundur. Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Bayu ke luar kota? Ah, sayangnya aku tidak kenal dengan satu orang pun teman kantor Mas Bayu untuk ditanya. Namun, jikalau aku kenal, apa tidak mencurigakan jika aku menanyainya. Segera kutinggalkan akun mas Bayu. Kututup akun itu agar tidak berjejak. Sepertinya aku harus menggunakan cara sedikit ‘kasar’ untuk mengetahui rencana besar Mas Bayu. Kubuka akun kalender milik Mas Bayu. Biasanya orang sibuk seperti dia akan menandai kalendernya. Dan, benar! Aku sudah mendapatkan jawabannya sekarang. --BERSAMBUNGBIARKAN AKU PERGI (5)Mas Bayu pulang sudah larut malam. Mungkin banyak yang harus dia persiapkan di rumah orang tuanya, atau bisa jadi dengan wanita tadi. Aku tak ingin banyak bertanya. Aku tak ingin mencecarnya dengan pertanyaan yang mungkin membuatnya tertekan, lalu memilih berbohong. Aku ingin dia bahagia dengan kondisinya saat ini. Mas Bayu segera mengambil baju gantinya dan beranjak ke kamar mandi begitu masuk kamar. Aku sendiri memilih pura-pura tidur saat dia masuk dan pura-pura tidak terbangun saat dia menyalakan lampu. Padahal, aku sebenarnya sudah bersiap dengan kejutan. Malam ini mungkin malam terakhirnya bersamaku. Atau bisa jadi aku masih memiliki satu malam lagi dengannya jika dia tidak punya acara lain. Makanya, tadi sore aku sengaja membersihkan daki-daki dari tubuhku, memanjakan diri dengan lulur yang aromanya wangi dan kelembutan kulitku masih sangat terasa. Bahkan aku sengaja menggunakan baju tidur terbaikku agar aku terlihat istimewa di mata Mas Bayu saat ia b
“Kenapa, Mas? Kok buru-buru?” tanyaku saat kami sudah di mobil. Sebenarnya aku penasaran dengan pria tadi. Aku ingin mendapat informasi dari Mas Bayu. Ingin memancingnya, tapi dari raut mukanya, sepertinya dia enggan menjawabnya. “Sudah malam, Ra. Besok aku berangkat pagi-pagi. Kamu juga harus kerja, 'kan?” sahut Mas Bayu seperti mengelak membahasnya. Aku hanya bisa mengangguk. Ah, Mas Bayu banyak juga rahasiamu. Sepertinya memang banyak hal yang aku tak tahu tentangmu. Apakah karena kamu malu memiliki istri seperti aku? Apa aku tak pantas menjadi pendampingmu? Atau aku memang tak layak menjadi orang yang kamu percaya? Kenapa menjadi sesak begini dada ini, saat menyadari posisiku yang tak berarti di depan Mas Bayu. -- Pagi-pagi, Mas Bayu sudah rapi. “Mas, kamu keluar kota pakai mobil?” tanyaku saat melihat Mas Bayu meletakkan tasnya di bagasi mobil. Biasanya Mas Bayu pergi keluar kota dengan pesawat. Jadi, dari rumah ia berangkat dengan taksi. Tetapi, hari ini kenapa di
Ada rona penyesalan sekaligus kemarahan di wajah Ayah. Mungkin beliau menyesal pernah menjodohkanku dengan pria yang tidak mencintaiku. Tepatnya, belum mencintaiku. Dulu ayah sangat yakin, cinta bukanlah modal utama dalam suatu pernikahan. Dan cinta akan tumbuh layaknya tanaman yang harus dipupuk dan disiram. Jika aku bisa selalu menghadirkan kenyamanan buat Mas Bayu, tentu saja, cinta Mas Bayu akan bersemi. “Ira hanya mohon Ayah dan Ibu mau merestui rencana Ira,” ujarku. Kuberanikan diri menatap keduanya, bergantian. Jika pun ayah dan ibu mau menuntut tanggung jawab orang tua Mas Bayu, tapi lalu apa? Apa aku akan bisa mendapatkan Mas Bayu seutuhnya? Aku takut Mas Bayu hanya akan menerimaku sebagai wujud tanggung jawab saja, tapi cintanya bukan untukku.Aku takut di belakangku Mas Bayu masih mencintai orang lain. Dan aku belum bisa menerima itu untuk saat ini. “Fahira, kamu saat ini masih istri Bayu. Kamu harus mendapatkan restu dan ridho darinya kemanapun kamu pergi, agar hidupm
Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya.Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini? Aku berjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi.Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku. Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Penumpang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.Namun, hasilnya nihil! Hingga akhirnya semua penumpang regular diminta berbaris.Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan ke nomor Mas Bayu. “Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terh
Aku pulang diantar oleh Mbak Nadine, sedangkan sepedaku masih ditinggal di warung makan. Mayang masih menemani di kamar meski aku sudah menyuruhnya pulang. “Kamu istirahat aja, Fa. Kata Mbak Nadine, besok kamu tidak usah kerja dulu,” ujar Mayang. Aku menatapnya lekat. Jangan-jangan gara-gara insiden ini, Mbak Nadine memecatku?Padahal, aku baru mulai bekerja di tempatnya. Dan aku suka kesibukan yang seperti itu. Membuat hariku berjalan lebih cepat. “Kalau kamu udah sehat betul, baru kasih tahu ke Mbak Nadine aja,” tambah Mayang seolah paham apa yang ada dalam pikiranku. “Tapi aku merasa sehat, May,” ujarku. Aku sejatinya takut kehilangan kesempatan bekerja di warung milik Mbak Nadine. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga dapat pengalaman bekerja di sini. “Sudah, jangan dipaksa. Kalau kamu pingsan lagi, yang repot ngga hanya kamu. Tapi, Mbak Nadine juga bisa kena masalah, memperkerjakan kamu,” jelas Mayang. Aku heran, Mayang tahu banyak hal di sini. Mungkin karena dia supel da
-Pov Author- Supermarket berada di luar area kampus. Jaraknya hanya sekitar sepuluh menit bersepeda menuju pusat kota. Mayang hanya membeli barang-barang yang diperlukan saja. Kebetulan, dia sudah terbiasa merencanakan apa yang hendak di beli. Jadi tak perlu memakan waktu lama. Antrian kasir juga tidak panjang. Pada jam-jam tertentu, jumlah kasir disesuaikan dengan jumlah pengunjung supermarket untuk mengurangi kepadatan di lajur antrian. Untuk membeli titipan Fahira, Mayang hanya cukup pindah ke toko di sebelah supermarket. Di sana ada toko khusus kosmetik dan obat-obatan. Kalau enggan mencari-cari, tinggal bilang ke petugas untuk ditunjukkan rak display-nya. Yang paling disukai di toko obat dan kosmetik ini, mereka juga menjual pernak-pernik. Kadang-kadang Mayang menghabiskan berjam-jam untuk melihat barang-barang lucu itu. Namun, hati ini tidak, dia harus bergegas karena sahabatnya menunggu obat sakit kepala. Tak sampai satu jam, dia sudah tiba kembali ke apartemen dengan se
-Pov Fahira-Meski aku tak jadi masuk kelas karena sakit, aku tetap memaksakan diri untuk belajar mandiri. Aku tak mau tertinggal. Senangnya, materi kuliah bisa dengan mudah diakses. Hanya bedanya, kalau tidak masuk kelas, kita nggak bisa mendengar langsung penjelasan dosen. Kalaupun tidak paham, tak bisa langsung bertanya. Enaknya lagi, di sini, dosen terbuka. Jika ada yang kurang paham, kita bisa kirim email. Kadang, beliau memberi waktu dan mengijinkan kita datang ke ruangannya, untuk minta dijelaskan hal yang kurang paham.Kalau bicara tentang sistem pendidikan tinggi, aku yakin cara dosen mengajar dan sistem perkuliahan di sini sudah banyak diadopsi oleh kampus ternama di Indonesia. Fasilitas kampus yang ditawarkan pun sebenarnya sudah mulai banyak ditawarkan di kampus-kampus top di Indonesia. Sayangnya, memang pendidikan di Indonesia masih kurang merata. Misalnya kampus yang berada di kota besar dan masuk top kampus, akan berbeda kualitasnya dengan kampus daerah dan belum masu
POV Bayu Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan, aku berpacaran dengan Nabila selama 8 tahun, meski akhirnya hubungan kami harus putus. Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya. Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon yang ditawarkan oleh orang tuanya dibandingkan aku. Calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi, ia sudah mapan. Beda dengan kondisiku yang saat orang tua Nabila menghendaki kekasihku itu segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku. Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan. Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekat, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on