Share

Aneh

Pagi ini, aku berangkat kerja sambil membawa luka. Air mataku perlahan meleleh mengingat kejadian saat aku akan melahirkan Zidan. Sakit, payah, penuh derita serta tekanan dari suami dan mertua yang kurasakan.

Berbeda sekali dengan Rita. Semoga dia merasakan apa yang dulu ku rasakan. Entahlah aku seperti sudah tak bisa lagi membedakan antara do'a dan dosa. Sebab hatiku ingin sekali melihat Rita dan Bu Lasmi merasakan apa yang dulu ku rasa.

Ya Allah, tolong ampuni aku. Rasa sakit ini teramat sangat. Ampuni atas semua kesalahanku telah membangkang pada suami, dan mertua, aku lelah ya Allah, aku lelah.

*****

POV Heru

Mataku menatap tanpa kedip kepergian Hani, wanita yang dua tahun ini menjadi istriku. Entah mengapa kini dia berubah.

Tak seperti kemarin-kemarin. Dia jadi lebih berani serta cenderung membangkang. Terlebih setelah dia tahu aku kasbon untuk adikku Rita.

Sebagai istri, dia sungguh tak tahu diri. Dijatah lima ratus ribu sebulan masih kurang aja. Mentang-mentang sudah bisa cari duit sendiri.

Kepalaku pusing diungkit terus oleh Hani. Namanya takdir, ajal orang siapa yang tau, mau diapain aja Zidan takdirnya meninggal, ya meninggal. Dasar perempuan aneh! Orang kampung bebal!

"Mas, gimana ini? Kita ke dokter spesialis kandungan naik apa? Motornya dibawa si Hani istri anehmu itu! Aku mau second opinion periksa ke dokter lain, Mas ... seperti kata temen-temen di grup kehamilan. Aku takut sesar!" Rita berjalan dengan perut buncitnya mendekat ke arahku.

"Entahlah, kamu taunya beres aja deh!" Ku garuk kepala ini. Rasanya mendadak gatal dan pening.

Dulu saat Hani hamil, aku nggak sepusing ini. Giliran Rita yang hamil, kepalaku mau pecah.

"Her! Bagi duit! Ibu mau bayar belanjaan di Kang sayur. Tiga ratus rebu aja. Duit kemarin udah abis, buat beli baju baru, sama makanan semalam." Ibu datang-datang malah minta duit.

"Buuu, aku nggak ada duit lagi! Semuanya 'kan sudah ku kasihkan Ibu."

"Ck, gimana sih? Masa nggak ada duit beneran? Coba deh, kamu cari simpenan si Hani! Terserah apa aja, duit, emas, atau apa. Ibu pusing kalo nggak megang duit, Her! Rita juga butuh untuk periksa ke dokter. Suaminya belum ngirim!" Ibu berjalan menuju dapur.

Kepalaku semakin pusing dengan permintaan Ibu. Entah kenapa aku merasa kok Ibu dan Rita seperti memanfaatkan aku terus. Sementara Hani, diberi sekali cukup. Kenapa ibuku enggak?!

Ibu bilang aku harus memprioritaskan keluarga, istri itu hanyalah orang lain, sedangkan ibu dan adikku itu punya hubungan darah. Sebab tidak ada mantan ibu dan adik di dunia ini. Mantan istri banyak.

Kadang aku kasihan sama Hani, benar apa yang dia bilang, dia sebenarnya yang menjadi korban keegoisan Ibu dan aku. Tapi, bagaimana, aku nggak bisa melawan perintah dan kemauan wanita yang telah melahirkanku. Aku nggak mau jadi anak durhaka. Tetapi, menuruti kemauan ibu dan Rita membuatku kini malah berhutang.

"Her, ini ibu minjem uang Rita, lho! Kamu harus balikin besok!" Ibu muncul menenteng dua lembar uang seratus ribuan.

Aku mengernyitkan kening. "Bu, uang Hani yang ibu pinjam, udah di balikin belum?" tanyaku penasaran.

Ibu berhenti melangkah lalu menatapku yang kini duduk di kursi teras. "Ngapain ibu harus balikin uang si Hani? Toh, itu uangmu juga! Kamu 'kan yang ngasih dia?" Tudingnya padaku.

Iyaaa, bener nggak bener sih ucapan Ibu. Hani juga kuberi uang, cuma lima ratus ribu sebulan cukup buat apa? Aku bangkit masuk kamar. Kulihat botol lotoin Hani yang kini sudah di jungkir balik. Tidak ada alat kosmetik seperti milik Rita adikku. Di kamar mandi juga, aku tak melihat sabun cuci muka milik Hani. Ah, dasar perempuan nggak bisa merawat diri.

Aku membuka lemari, nampak tumpukan baju Hani sedikit, berbeda dengan bajuku. Di bagian wadah baju milik Hani, tak ada yang istimewa. Beralih kubuka lemari gantung, disana juga sama semuanya lebih di dominasi bajuku saja. Ah, dasar Hani dia tak tahu fashion.

Aku keluar menuju dapur tenggorokanku kering, kepalaku pening.

"Mas, bagus enggak?" Rita muncul dari kamar Ibu.

Di leher dan pergelangan tangannya terdapat kalung dan gelang emas, cantik sekali.

"Bagus. Cantik!" pujiku padanya.

"Ini tuh kita beli kemarin, Mas! Aku kapelan sama ibu, lho! Ibu nembus arisan, Mas. Lima belas juta. Aku dibeliin ini!" ucapnya.

Hah! Apa, ibu nembus arisan? Kenapa dia nggak bilang aku? Malah bebelian perhiasan. Apa dia tak tahu, aku juga butuh uang untuk servis motor. Ah, ibu selalu saja begini.

"Habis berapa kalian beli emas?" selidiku.

"Sepuluh jutaan lah!" sahutnya sambil tersenyum. Rita adikku memang cantik ditambah ia pandai merawat diri. Jatah dariku tiap bulan dia juga masih dapat. Berbeda lah jika dengan Hani istriku.

"Rit, mas lagi nggak punya duit, nih! Boleh pinjem dua ratus ribu aja, nggak?" Kucoba meminjam uang kepadanya.

Dia mendadak hilang senyuman wajahnya malah berubah jutek. "Minjem? Nggak! Nggak ada!" ketusnya.

Aku tersentak mendapati responya begini. Padahal aku selalu memberinya jatah uang jajan tanpa hitungan dan tanpa pikir panjang, mengapa dia begini padaku?

Aah, mungkin dia sedang bersiap untuk biaya melahirkan secara dia divonis operasi Caesar. Berprasangka baik sajalah.

"Hari ini kita masak cumi cabe ijo sama, ini ibu beli rajungan. Kita masak dan habiskan sendiri, oke!" Ibu nampak senang menenteng belanjaannya.

Oh, rupanya beliau masih panas gara-gara semalam. "Bu, mau dimasak seperti semalam?" aku mendekati beliau.

"Iya, Her! Memangnya cuma Hani yang bisa makan seafood? Kita juga bisa! Jangan lupa, kau harus kembalikan uang ini pada adikmu! Semuanya ini dibeli pakai uang Rita!"

Kutarik napas dalam. Kepala ku pusing. Apalagi saat melihat wastafel penuh perabotan kotor. Tanpa tenaga Hani, rupanya semua nggak beres.

Aku memilih berpindah ke ruang tivi ingin rebahan. Namun, mataku membulat melihat ruang tivi acak-acakan. Piring, gelas kotor, serta bungkus makanan ringan berserak.

Aku geleng-geleng kepala. Rita memang kebiasaan banget. Terpaksa kubereskan semua ini.

Aku kedapur melihat ibu sibuk membereskan semuanya sendirian, sedangkan Rita adikku asyik menatap ponsel sambil sesekali cekikikan. Sungguh berbeda dengan Hani.

"Huuuh, punya mantu benar-benar bikin emosi! Alesan pergi kerja lalai sama tugas rumah! Begini aku jadi repot sendiri!" omel Ibu sambil menyabuni gelas.

"Udahlah, Bu ... kita kasih dia pelajaran nanti! Sekarang buruan masak. Aku udah nggak sabar pengen makan cumi cabe ijo sama kepiting saos merah kayak semalam," ujar Rita.

Ku tatap Rita, heran deh ... dia 'kan perempuan, tapi kok nggak ada rasa simpati sama ibu. Setiap kesini, bisanya cuma memerintah, minta ini itu, Hani nggak begini. Dia selalu sigap membantu.

"Rit, bantuin Ibu bisa 'kan? Daripada mainan hape terus. Kerja samalah, biar cepet selesai." Kutatap adikku sambil tersenyum.

"Iiiih, Mas apaan sih, nyuruh-nyuruh?! Biarin dikerjain Ibu sendirilah! Aku 'kan lagi hamil, nggak boleh capek-capek!" Ketusnya bangkit dari kursi makan. Kayaknya ngambek.

Aneh, deh. Dulu waktu Hani hamil tua, Ibu selalu memerintah istriku. Bahkan dia jarang sekali istirahat, ada aja kerjaannya. Ngepel, nyuci piring, masak, nyuci baju. Kok Rita nggak sama, ya?

Nah, Heru pening, pening, gimanaaaa gitu

Komen (2)
goodnovel comment avatar
RA Hasannudin
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
lina ardiana
suami goblok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status