Share

Korban Sebenarnya

Kau bisa, Aku juga 6

Melangkah menenteng ember cucian aku masuk ke rumah.

"Dari mana kamu, Han?!" sentak Bu Lasmi.

Busyet ini, nanya apa ngajakin perang sih? Galak banget jadi mertua. Ooh, mungkin dulunya dia di galakin juga kali sama mertuanya, sekarang balas dendam ke akuh. Duh, ngenes!

"Dari mana, kamu?! Jawab! Malah diem aja! Jam segini cucian piring masih numpuk, teh, ataupun kopi belum ada! Ngapain aja sih kamu?!" Bu Lasmi sudah seperti satpol PP sedang sidak.

"Dari nyari pahala, Bu. Ampun, dah! Baru pada melek udah teriak-teriak! Ati-ati pita suara putus. Atau tensinya naik, lho!" Kuletakkan ember di kamar mandi. Tumpukan baju kotor Bu Lasmi dan Rita masih utuh disana. Ogah yaaa kalau disuruh nyuci lagi.

"Nyari pahala, nyari pahala, pala Lo peang!" umpat Rita. "Cuciin gelas! Bikinin aku teh, cepetan!" Gantian Rita kini memerintah.

Aku berdiri, meraih teko berisi air lalu ku tenggak isinya, gelas habis di rak piring, semua kotor teronggok di wastafel.

"Punya kaki, punya tangan, sehat bugar enggak cacat, cuci sendirilah! Aku mo mandi, mo kerja!" ketusku meletakkan teko.

"Hari ini kamu nggak usah kerja, Han! Motornya mau Mas pake buat nganterin Rita cek kandungan ke dokter spesialis lain." Tiba-tiba laki-laki yang masih berstatus suamiku muncul menenteng ponsel kesayangannya.

"Iya, bener kata Heru! Kamu dirumah aja, nggak usah sok kerja segala! Beresin semua perabotan kotor ini, cucian juga numpuk!" sahut Bu Lasmi.

Widih, enak saja main larang hak orang untuk bekerja, malah nyuruh dirumah jadi babu, iiih, ogah laaa yaau!

"Hmmm, boleh aja! Kasih aku uang empat ratus ribu, Mas boleh bawa motorku, dan aku mau dirumah aja bersantai menikmati weekend!" Aku tersenyum menatap suamiku.

"Apa? Empat ratus ribu?!" Rita mendelik. Huh lebay. "G1la kamu!!!" umpatnya menudingku.

"Lho, Mas Heru melarangku untuk kerja lembur 'kan? Asal kalian tau, sehari lembur kemarin tip yang kudapat tiga ratus ribu. Ini hari Minggu, pengunjung restoran pasti tambah banyak, aku ogah tekor lah!" sahutku sinis pada Rita. "Lagian ya, Mas! Si Rita 'kan punya suami, kenapa harus kamu yang repot nganterin? Aku aja dulu mandiri kemana-mana, bahkan sampai ke rumah sakit nahan kontraksi lahiran cuma diantar bidan!" Kulirik Bu Lasmi sekilas.

"Hei, suaminya Rita ini pemborong, kerjanya dijalanan ngurusin pembangunan jalan, pulangnya tiga bulan sekali, kasihan Rita kalo harus sendirian periksa kehamilan, gitu aja nggak tau!" Bu Lasmi nyolot.

Aku terkekeh mendengar perkataan mertuaku. "Dasar manja!"

Wajah Rita berubah, "Apa katamu?!"

"Iya, manja! Udah gitu pemalas pula!" Aku tersenyum puas bisa membuat Rita kebakaran jenggot.

"Tutup mulutmu, Hani! Kau nggak liat, Rita lagi hamil besar, dia butuh bantuan orang lain, tau!"

"Ck ck ck!" Aku menggelengkan kepala. "Dulu aku hamil besar, biasa aja deh kalian. Bahkan Mas Heru nggak pernah nganterin aku periksa, sibuk terus alesannya. Aku juga ngerjain semua pekerjaan rumah, dan selalu disuruh-suruh, nggak kaya si Rita yang malesan ini, dikit-dikit teriak nyuruh kek nyonya bos aja!" sindirku spontan.

"Hani, stop membandingkan kamu dan Rita!" sentak Mas Heru.

Aku mendelik mendengar sentakan suamiku. Demi membela adiknya dia lagi-lagi meninggikan suara padaku.

"Kenapa? Kenapa nggak boleh? Aku bicara fakta! Adikmu ini punya suami, harusnya kamu nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan nganterin dia periksa segala! Kau lupa, dulu sembilan bulan lebih anakmu dalam perut ini, kau abaikan. Jangankan mengantar periksa, sekedar mengelus saja bisa dihitung jari!" Aku meluap emosi ini sulit untuk ditahan.

"Jangan ngungkit masa lalu!" sentak Bu Lasmi.

"Kenapa, nggak trima, iya?!" Mereka pikir dengan tiga lawan satu, aku mengkeret? Oooh, tidak. Aku bukan Hani yang dulu.

"Hani, kau ini kenapa? Kenapa jadi begini, melawan, membantah, dan malah mengungkit masa lalu?!" Mas Heru menudingku.

Aku menyeringai puas mendengar suamiku bingung dengan tingkahku sekarang. "Luka disini yang membuatku berubah!" Kupegang bagian dadaku. "Sikap egois kalian juga yang memaksaku berubah." Kutatap mereka satu persatu. "Kau itu suami yang aneh, istri sendiri hamil kau abaikan, giliran orang lain hamil sok perhatian. Kau lupa, gara-gara keegoisanmu, aku kehilangan anak, darah dagingmu sendiri!" Ku tuding wajah pias suamiku.

"Cukup Hani, jangan salahkan Heru!" Bu Lasmi memekik. Sudah pasti dia keberatan jika anaknya kusalahkan.

Aku menoleh mertuaku menatapnya sinis, "Ibu juga turut andil atas meninggalnya putraku. Andai kalian berdua tidak egois!" desisku geram.

"Lancang kau, Hani!"

Aku membuang muka malas. Perdebatan ini hanya mengorek luka dalam yang sedang berusaha ku obati. Mengenang almarhum Zidan membuat hatiku berdarah. Aku memilih kekamar bersiap mandi dan berangkat kerja. Terserah dengan mereka. Jika mereka saja tak peduli denganku, untuk apa aku peduli pada mereka.

Omelan Bu Lasmi terdengar sumbang di telinga, aku berusaha cuek kuanggap itu suara siaran radio.

Selesai mandi, aku segera berganti pakaian dan bersiap kerja. Jam dinding dikamar menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit aku bisa telat masuk hari ini.

"Han, kau masih ngotot berangkat kerja?" Mas Heru masuk kamar sambil berkacak pinggang bayangannya terlihat di cermin.

"Iyalah. Aku mau ngumpulin duit, bapak sama emak dikampung minta kiriman. Mas lupa, biaya operasi Caesar ku mereka yang bayar!"

Menyisir rambut, lalu mengikatnya tinggi kemudian ku oles lipstik murahan ini agar wajahku tidak pucat.

"Sebentar lagi bulan puasa, kasihan orangtuaku di kampung. Kamu jangan melarangku bekerja kalau kamu sendiri masih perhitungan!"

Mas Heru nampak heran ia menatapku terlihat jelas sekali ekspresinya dari cermin.

"Tapi, Han ... gimana dengan Rita?" Mas Heru mencekal tanganku saat aku hendak meraih tas kerja.

"Bukan urusanku! Dia dihamili suaminya, kenapa aku yang repot?! Lepas!" Kuhentak tangan laki-laki yang masih punya gelar suami atas diriku.

Meraih tas beserta kunci motor, aku bersiap berangkat kerja.

"Hani, tunggu!" Mas Heru kembali meraih tanganku membuat langkah ini berhenti.

"Apa lagi, sih?!" Aku mbrengut kesal dibuatnya.

"Kau bilang, kemarin dapat uang lembur, bagi selembar, aku mau servis motor," lirihnya tanpa rasa malu.

Aku membelalakkan mata mendengar kalimat yang menurutku tak tahu diri. "Enak aja!" Senyumku mengejek sambil melangkah keluar kamar.

"Lho, kok kamu mau kerja? Siapa yang beresin rumah?!" Rita melongo melihatku. Si bunting itu sedang duduk di kursi makan. Nampak beberapa bungkus roti di atas meja. Tangan Rita juga memegang roti.

"Iyalah, kerja! Akukan bukan pengangguran serta parasit yang bisanya nyusahin orang!" sahutku kesal.

Rasanya malas berlama-lama dirumah ini. Sepertinya, aku harus mulai berpikir untuk mencari tempat tinggal baru agar terbebas dari mereka ini.

"Hani, berdosa kau membangkang perintah suami untuk tidak bekerja!" Mas Heru mengeluarkan jurus andalannya bersembunyi dibalik kata berdosa.

Aku menoleh dirinya. "Lebih berdosa lagi kamu, Mas! Yang nggak bisa memberikan kebahagiaan pada istri. Diam saat istri ditindas, dan diperlakukan semena-mena, ditambah lalai pada kewajiban sebagai suami. Aku begini juga karena kamu!" Tudingku pada laki-laki berkaos oblong dan bercelana kolor itu. Air mataku hampir tumpah sakit mengurai luka.

Kembali kulanjutkan langkah kaki mengeluarkan matic kesayanganku lalu memakai sepatu dan helm jengah rasanya dirumah ini. Mereka semua nggak ada yang ngerti, tapi nuntut dimengerti.

"Hani, stop!" Mas Heru mencekal tanganku.

"Lepas! Aku mau kerja!"

Motor kudorong keluar menuju teras. Kemudian kupakai sepatu butut ini, lalu tak lupa mengenakan helm.

"Hani, kamu benar tak menghargai aku sebagai suami," desisnya.

Aku tersenyum kecut sambil bertengger diatas motor. "Kamu menganggap ku istri hanya disaat butuh saja, Mas. Wajar 'kan kalo aku capek? Jangan bersikap seolah laki-laki terdholimi. Aku, aku korban sebenarnya, Mas! Bukan kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status