Huft, di tengah sibuknya mereka berbincang, kumanfaatkan situasi tersebut untuk kabur dan untungnya Pak Raden begitu mengerti posisiku, sehingga dia hanya tersenyum sembari mengangguk, diriku pun akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di samping ayah yang sedang berbicara bersama Tante Cahyani.
Aku memandang Ibu Cahyani, walau umurnya sudah di atas kepala lima, dia masih cantik juga, pantas ayah terpana sama dia, bahkan senyum dan suaranya pun membuat orang yang mendengarnya jadi nyaman.
Kalau begini, aku setuju jika Tante Cahyani menjadi pengganti ibuku, karena ayah sama dia tak ada tanda-tanda ingin saling memanfaatkan, bahkan tatapan mereka tak bisa berbohong untuk saling mengungkapkan.
"Nyonya Cahyani, sebentar lagi, mereka berlima akan menyusul," lapor Pak Raden dan Tante mengangguk lalu memersilakan Pak Raden yang pamit kemudian.
Tak lama, apa yang dikatakan Pak Raden telah terbukti, di mana kelima putra Tante Cahyani pun sudah datang dan duduk di sampingnya.
"Mamah nyuruh kami ngumpul di sini buat apa?" Aku tidak tahu siapa nama pria yang bertanya, tetapi aku tahu orangnya karena dialah yang aku intip tadi, sementara di sampingnya, pula ada salah satu pria yang brondong sedang menggodaku dengan alisnya yang dinaikturunkan.
Bukannya tergoda, aku malah ilfeel sama dia.
"Maafin Mamah yang ngasih tau kalian secara mendadak kalau Ma-"
"Mamah tenang saja, kami berlima sudah setuju dengan keputusan Mamah untuk menikah dengan Bapak Adibal Keswara," potong pria yang pandai bernyanyi tadi dan aku melongo, mengapa semudah itu?
Ekspresi Tante Cahyani berubah menjadi terharu, bahkan dia menangis dan menghamburkan dirinya dalam pelukan putranya itu.
"Mamah enggak nyangka, Mamah kira kalian enggak bakalan setuju kalau Mamah nikah lagi," ungkap Tante Cahyani, yang aku tangkap, kemungkinan dirinya berpikir banyak kali untuk memutuskan sebuah pernikahan, aku rasa keputusannya lebih berat di banding ayah yang hanya memilikiku sebagai putri tunggalnya dan aku salut kepada mereka yang tentu mementingkan kebahagiaan sang mamah.
"Asalkan Mamah bahagia, kami takkan ragu untuk merestuinya," balas pria yang bersuara merdua, aku rasa ... dia anak pertama di antara keempatnya ini, kemungkinan besar walau hanya firasat.
"Tapi ... Mamah penasaran, kalian tahu dari mana sih kalau Mamah pengen nikah lagi?" tanya Tante dan aku ikut penasaran jadinya.
"Tadi Agam enggak sengaja denger Mamah lagi teleponan dan kebetulan juga Mamah bahas pernikahan gitu, apalagi mata Mamah enggak bisa bohong kalau lagi bahagia."
Oh, jadi pria yang berbicara setelah Pak Raden menegurku namanya Agam yah, hm ... enggak lama lagi aku bakalan manggil dia Bang Agam.
"Owalah, Mamah kecolongan dong." Tante Cahyani tertawa kecil, kemudian kembali menatap ayah dan mengatakan, "Pak Adibal, ini kelima anakku, yang pertama ada si Abraham, kedua Agam, lalu disusul sama August, terus ke Aderald sama si bungsu ini namanya Adnan," ujar Tante Cahyani memperkenalkan putra-putranya.
Aku agak terkejut sih, soalnya ayah nikahin janda anak lima yang anaknya tuh jadi semua (ganteng) dan enggak cacat gitu.
Sementara diriku yang bagaikan kaleng ikan? Ingin memerlihatkan apa? Cantik juga enggak, tapi tepos iya, uh ... malu-maluin banget, padahal niatnya aku pengen malu-maluin ayah, apakah ini yang namanya karma?
"Salam kenal, di sampingku ini namanya Aristela, dia putri saya satu-satunya," balas ayah memperkenalkanku dan aku tersenyum manis untuk memerlihatkan pesona sesungguhnya bahwa aku ini bidadari terpendam yang cantiknya enggak cantik amat.
"Salam kenal Kak Aristela, panggil Adnan, walau masih muda tapi gantengnya enggak ketulungan."
Buset juga nih bocah, karena tangannya terulur, aku pun membalasnya dan tersenyum pula lalu mengatakan, "Salam kenal Adnan, semoga bisa menjadi adik yang baik nantinya, selamat bekerja sama."
Mampus, semoga peka ya, males aku kalau punya adik yang nakal, apalagi tiri. Respon yang ditunjukkan Adnan malah cengengesan dengan dua jempol yang dinaikkan, bisa kusimpulkan, Adnan ini asyik orangnya, kalau begitu bagus sekali karena mendapatkan orang asyik dan bisa sefrekuensi itu agak jarang.
"Perkenalkan, saya Abraham, orang yang kamu intip tadi, untung cuman enggak pake baju, kalau yang di bawah enggak saya pakein juga, bisa silau mata kamu."
Tidak perlu membayangkan wajahku, tentu memerah! bisa-bisanya calon kakak tiriku ini membicarakan hal itu, hal yang paling memalukan untukku."Mengintip?" Dan ayah mulai bertanya dan hidupku akan semakin memalukan ketika Tante Cahyani pun tahu."Hm, konyol sekali, tadi dia tertangkap basah karena mengintip di kamar Abang Abraham yang lagi menyanyi sambil bertelanjang dada."Cowok yang bernama Agam ini sialan sekali, tetapi aku harus mengontrol emosi karena dia calon abangku juga, jadi wajahnya sangat disayangkan untuk dilukai karena tampan.Ayah langsung menatapku, tatapannya seolah memberitahu bahwa kelakuanku sangatlah absurd."Tadi Aristela ngintip karena penasaran sama siapa yang nyanyi, suaranya keren banget, Tante," ucapku menatap Tante Cahyani penuh ketulusan karena aku tidak bisa membuat alasan lain lagi selain kejujuran, karena jujur adalah keteguhan yang sering ayah ajarkan padaku.
Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek."Kak Aristela kesehariannya apa saja?"Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga."Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata."Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"
Author Pov"Nikah sama Adnan? Enggak ah, aku enggak mau sama brondong, maunya sama yang dewasa."Adnan mengembuskan napas ketika mendengar kata 'dewasa' ia mengerti akan hal itu, karena yang dimaksud oleh Aristela selain dewasa, juga yang mapan, padahal Adnan ada ketertarikan pada gadis tersebut walau umur mereka berjarak beberapa tahun.Hal yang dipercayai oleh Adnan untuk mendapatkan Aristela adalah, jodoh takkan ke mana bila Tuhan telah menakdirkan, jika status saudara tiri menghalangi, Adnan rasa itu tidak cukup, karena mereka bukan saudara sepersusuan, jadi tidak ada masalah."Adnan? Ngapain ngelamun? Ayo balas perkataanku dong," pinta Aristela.Adnan tersenyum kemudian menunjukkan ekspresi berpikirnya, tidak lama kemudian, ia pun menjawab dengan berupa pertanyaan pula, "Kalau Kak Aristela maunya sama yang dewasa, berarti ada tiga pilihan, yaitu Kak Abraham, Kak Agam, sama Kak August, ayo pilih
Aristela PovPembicaraanku bersama Adnan harus berakhir ketika suara Tante Cahyani mengagetkan kami dari belakang."Ternyata kalian ada di sini. Adnan, tuntun Aristela ke dalam, karena kita akan makan malam bersama," ucap Tante Cahyani kemudian meninggalkan kami. Adnan pun mulai berdiri dan diriku menyusulnya yang sedang menggerakkan tangan sebagai kode agar aku mengikutinya.Setelah sampai di ruang makan, ternyata hanya kami berdua yang belum datang sebelumnya, karena ayah dan keempat saudara Adnan sudah duduk di kursi masing-masing."Nak, kamu duduk di sampingnya Abraham enggak apa-apa, kan?" tanya Tante Cahyani, sebenarnya diriku tentu keberatan karena harus berada di samping pria menyebalkan itu, terlebih lagi dia kurang lebih seperti ayah yang terlihat narsis dan suka tebar pesona."Eum, kalau Aristela di sampingnya Adnan enggak apa-apa kan, Mah?" sahut Adnan tiba-tiba dan aku langsung menatapn
Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam."Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan."Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak.""Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he.""Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela h
Keempatnya tak dipedulikan oleh Aristela karena gadis tersebut lebih mementingkan Adnan sekarang, buktinya ... Aristela menghampiri Adnan untuk meraih tangan anak tersebut agar dia cepat-cepat bèrsiap untuk sekolah, sebelum waktu termakan lebih banyak hanya karena mendengar kelima saudara membahas hal yang konyol."Kamu udah siap, kan? Kalau gitu ayo, nanti Kakak telat kerja," ucap Aristela dan Adnan menurut."Bang minta duit dong buat jajan," pinta Adnan cengengesan dan Aristela langsung menyicingkan matanya karena perkataan Adnan tak sesuai dengan ucapannya kemarin."Iddih, katanya punya banyak duit buat jajanin Kakak tiap bulan, tapi nyatanya minta-minta," ucap Aristela dengan tawa yang mengiringi."Nih lima rebu, harus irit.""Bjir, pelit banget lu, Bang, masa dikasih lima rebu doang?""Syukur-syukurlah, lo harus hemat karena di luaran sana masih banyak orang yang s
Pita langsung tersentak dengan pertanyaan Aristela yang dirasanya sangat lancang itu, sementara menurut Aristela sendiri, dia takkan peduli jika perasaan Pita akan sakit atau teriris akan kalimat sadisnya, karena dia sudah terlanjur buruk mood-nya, ditambah lagi dengan dua wanita songon yang tambah memanas-manasinya."Kenapa diam? Apa ucapanku bener yah? Kalau memang bener, miris banget demi duit sampai segitunya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga dirimu dapat ditukar dengan iphone," lanjut Aristela semakin sinis menatap Pita, Pita ingin membalas wanita itu, akan tetapi ... suasana di toko roti semakin ramai dengan hadirnya para pelanggan yang sedang menyaksikan adu mulut mereka.Aristela yang merasakan situasi makin ramai, segera menghindari mereka yang terus menatapnya dan memilih untuk masuk ke dapur saja agar dapat menenangkan diri sejenak."Pagi-pagi langsung disemprot sama bos, nasib ... nasib," gumam Ariste
Para karyawan yang bekerja di toko roti, tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang nasib Asma dan Pita, karena keduanya otomatis diberhentikan atau dipecat oleh Pak Syahrul secara kejam di sana.Bahkan Asma mengeluarkan air matanya sembari memohon-mohon kepada bosnya itu untuk tidak memecatnya. Namun, Pak Syahrul tak mengucapkan apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, sementara Pita? Wanita itu sudah pasrah dengan apa keputusan Pak Syahrul, karena perasaannya sekarang ini hanya bisa menanggung penyesalan serta emosi yang besar terhadap si Aristela itu."Untuk apa lagi kalian berada di sini? Cepat keluar dari tokoku, aku tak sudi melihat wajah kalian berdua, cepat angkat kaki!" bentak Pak Syahrul dan keduanya pun langsung pergi dari tempat tersebut dalam keadaan malu nan menunduk."HUU" sorak-sorakan dari para karyawan yang puas atas perginya mereka berdua yang akhirnya membuat karyawan-karyawan di