Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB tepat, saat aku menghempaskan pinggul di kursi kerjaku. Napasku masih tersengal-sengal dengan bulir-bulir keringat yang masih menempel di dahi. Tidak heran, karena pagi-pagi aku sudah melakukan lari sprint pagi. Aku nyaris saja terlambat. Untuk itu aku berlari kencang saat abang gojek tiba di kantor.
Baru saja bermaksud duduk dan beristirahat, telingaku mendengar suara ribut-ribut di counter sales depan. Sepertinya akan keributan di sana. Aku mempercepat langkah. Ingin mengetahui masalah apa yang sudah melanda pagi-pagi begini.
"Kan sudah bilang berkali-kali, jangan kalian menagih cicilan motor ini ke rumahku. Biar saya saja yang menyetor cicilan ke sini. Kau ini mengerti tidak Bahasa Indonesia hah?"
Kulihat ada seorang bapak-bapak paruh baya yang mengamuk di counter pembayaran kendaraan bermotor. Aku segera menghampiri kerumunan itu. Kulihat mata Mbak Tania sudah memerah menahan tangis, karena terus saja dibentak-bentak oleh customer. Breath in breath out. Bismillah. Dan aku pun segera menghampiri biang masalah. Sesama rekan kerja harus saling menolong bukan?
"Selamat pagi, Bapak. Maaf sebelumnya, sebenarnya ada masalah apa ya, Pak? Mari silakan ikut ke meja saya. Kita bicarakan baik-baik semua keluhan dan permasalahan Bapak," ucapku ramah kepada si bapak.
Dari sudut mata aku bisa melihat Mbak Tania menarik napas lega. Ia juga mengelus dada berkali-kali. Sementara Bapak-Bapak tadi dengan semangat empat lima membuntuti langkahku. Namun aku sempat mendengar Mbak Tania mengomel dengan suara rendah.
"Giliran yang mengajak bicara, jidatnya mulus saja, langsung jinak. Dasar tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi." Aku meringis mendengar gerutuan kesal Mbak Tania. Wajar kalau Mbak Tania jengkel. Pagi- pagi ia sudah dihadiahi omelan.
"Jadi masalahnya apa, Pak Manik?" tanyaku setelah sekilas melihat draft kartu cicilannya, dengan nama Hotman Manik.
"Jadi begini, 'kan sudah dari dulunya kubilang sama kalian. Jangan kalian tagih-tagih cicilanku ini ke rumahku. 'Kan jadi malu kali aku. Dikira tetangga-tetanggaku, kalau aku ini tidak sanggup bayar membayar cicilan motorku.
makanya sampai kalian kejar-kejar aku ke rumah. Yang macam banyak kali lah utangku ini sama kalian?!"
Bapak itu pun langsung protes keras. Ia merasa keberatan ditagih cicilan motor oleh debt collector.
"Maaf sebelumnya atas ketidaknyamanannya ya, Bapak. Tetapi sesuai dengan klausual perjanjian pengajuan kredit sepeda motor Bapak pada leasing kami, 'kan sudah kita sepakati bersama bahwa Bapak harus membayar cicilan sepeda motor Bapak setiap tanggal dua puluh satu, selama tenor dua puluh puluh empat bulan ke depan. Kalau Bapak tidak membayarnya tepat waktu ke sini, maka sudah sepatutnya tim kolektor kami akan menjemput cicilannya ke rumah Bapak. Intinya sangat sederhana. Kalau Bapak tidak mau di tagih ke rumah, bayarlah sesuai tanggal jatuh tempo. Gampang 'kan Bapak?" Jawabanku membuat si bapak terdiam. Si Bapak pasti menyadari kebenaran kalimatku.
"Kalau pun Bapak mungkin sedikit terlambat membayarnya dikarenakan ada satu dan lain hal, alangkah baiknya kalau Bapak menghubungi kolektor daerah wilayah Bapak. Sehingga tim debt collector tidak akan menjemput angsuran ke rumah Bapak karena sudah ada pemberitahuan sebelumnya. Intinya itikad baik Bapak tetap akan kami apresiasi. Tetapi kalau sudah lewat dari batas waktu yang sudah kita sepati bersama, maka Bapak akan dikenakan sanksi. Sampai di sini penjelasan saya, apakah Bapak sudah mengerti?"
Si Bapak mengangguk puas oleh jawabanku yang tanpa tedeng aling-aling itu. Syukurlah sepertinya ia sudah memahami dengan baik kata-kataku. Kalau tidak ingin dikejar, maka bayar sesuai tanggal jatuh tempo. Simple.
"Itulah penjelasan dari saya. Apakah masih ada sekiranya hal lain yang belum Bapak fahami? Biar saja jelaskan semua klausual perjanjian kita," lanjutku seraya tersenyum manis, untuk memperbaiki suhu pembicaraan yang sempat memanas dengan Mbak Tania tadi.
"Kalau boleh bisa tidak aku meminta nomor handphone kau saja, Dek? Mana tahu sekiranya aku entah mau bercakap apa-apa samamu. Bisa nggak, Dek? Enak kali kurasa bercakap-cakap samamu. Jadi tidak begitu panas lagi hatiku," ujar siBapak sambil mengedipkan sebelah matanya. Astaga si Bapak masih sempat-sempatnya memodusiku. Namun permintaannya aku loloskan. Tidak ada salahnya memberi kartu nama. Siapa tahu besok-besok ia akan mencariku saat hendak membeli motor. Setelah aku memberikan kartu namaku, si bapak beranjak pergi dengan gembira. Ia berjanji akan membayar cicilan motornya besok sore, setelah ia gajian. Akhirnya satu masalahpun terselesaikan.
***
Jam makan siang. Saat makan siang seperti ini sebenarnya adalah moment yang paling tidak aku sukai. Aku sangat gerah bila harus ke kantin dan menjadi pusat perhatian orang banyak. Biasanya setiap aku melangkah, orang-orang akan melirik minimal dua kali padaku. Baik itu laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Para laki-laki biasanya memandang dengan tatapan kagum. Namun para wanita menatap tidak suka. Dan aku tidak mempedulikan itu semua.
Aku memang mempunyai paras di atas rata-rata, yang mungkin akan sangat diimpikan oleh sebagian besar wanita. Tetapi tidak denganku. Sejatinya aku ingin diriku, kinerjaku dan loyalitasku terhadap perusahaan ini, dihargai karena kemampuanku. Dan bukan hanya dilihat atas dasar kelebihan fisikku semata.
Aku terus berjalan mencari tempat yang paling sudut di kantin. Aku suka duduk menyendiri di tempat yang sepi. Rasanya tenang dan damai. Aku kemudian memesan sepiring nasi campur dan segelas es teh manis pada ibu kantin. Dalam hitungan menit makananku pun telah dihidangkan.
Drttt... drttt... drt....
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku meletakkan sendok dan garpu saat melihat nama Ibu muncul di layar ponselku. Nah, ibu memerlukan bantuan apalagi sehingga beliau mau bersusah-susah meneleponku. Ibu tidak akan pernah meneleponku untuk hal-hal yang menyenangkan menurut versiku sendiri. Kecuali saat ia membutuhkan bantuanku.
"Iya Bu. Ada apa?" Aku menjawab dengan takzim, seolah-olah ibu di sana bisa melihat betapa sopannya aku saat mendengar titahnya.
"Nanti cepat sedikit kamu pulang ke rumah ya? Bantu ibu masak dan beres-beres rumah, karena Keluarga Tjandradinata akan bertamu ke rumah kita malam ini."
"Baik Bu. Memangnya jam berapa-"
Tuttt... tut... tutt...
Ah rupanya Ibu telah memutuskan sambungan telepon, tanpa aku sempat bertanya jam berapa acara dimulai. Seperti itulah ibuku. Ibu cuma memberitahu apa yang dia mau, dan dia tidak mengharapkan jawabanku sama sekali.
Baiklah Upik Abu. Ayo semangat kerja hari ini. Agar bisa lebih cepat selesai, dan aku bisa membantu ibu. Dengan begitu aku tidak akan mengecewakan baginda ratu yang agung. Aku menyemangati diriku sendiri.
Aku makan siang sendirian dalan keheningan seperti biasa. Percakapan dan keramaian para karyawan dan karyawati yang sedang makan atau bergosip, pelan-pelan berubah menjadi dengungan pelan dan kemudian menghilang. Sehingga tinggal aku sendiri di sini, hanya aku.
Pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku mendengar bell rumah berbunyi. Serentak aku melihat ibu berikut Maddie dan Reen berjalan menuju ke ruang tamu. Sepertinya tamu yang merek tunggu-tunggu telah datang.Sembari mencuci peralatan masak, aku melirik Maddie yang tampil sangat cantik dan canggih. Ya, canggih adalah kata yg tepat buat gaya berpakaiannya. Semua didirinya seolah-olah meneriakkan kata mahal.Sementara Reen yang membuntuti Maddie, terlihat manis dan cerdas dibalik kacamata minusnya. Aura kakak dan adikku memang luar biasa. Mereka canggih dan berkelas. Berbeda denganku yang menurut mereka menang tampang hibah dari sononya saja.Setelah memandangi kakak dan adikku yang rapi, aku memandang diriku sendiri. Aku meninggalkan cucian dan memeriksa tampilanku di wastafel. Aku meringis melihat penampakan rambut acak-acakan dan wajah berminyakku. Aku masih memakai daster batik adem dan rambut di cepol yang sebagian
"Di mana kamu Lyn?"Aku mendengar suara ibu memanggilku, diiringi dengan suara langkah-langkah kakinya yang berderap menuju ke arah dapur.Aku mendorong tubuh Albert, dan berlari ke dapur. Dengan cepat aku memposisikan tubuh di bak cuci piring dengan wajah yang berubah-ubah antara memerah dan memucat. Aku ingin memberi kesan pada ibu, kalau aku masih mencuci piring.Jantung ku masih berdebar-debar hebat mengingat apa yang telah di lakukan Albert di pintu belakang rumahku. Laki-laki itu telah mencuri ciuman pertamaku!"Lyn di sini, Bu. Sedang... sedang mencuci pi—pi piring," jawabku tergagap. Dari sudut mata sekilas aku melihat Albert telah masuk ke toilet belakang."Ya, sudah. Kamu beres-beres saja di belakang. Tidak usah hilir mudik ke sana ke mari seperti setrikaan. Lagi pula kamu juga belum mandi dan berantakan sekali. Bikin malu Ibu saja." Ibu mengomeliku
Tettt... tettt... tett...Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya."Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba m
Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?Chr
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
Suara pintu yang dibanting terasa begitu menakutkan di telingaku. Tidak lama berselang aku didudukan paksa di sudut ranjang. Aku kadang bingung dengan sikap Chris ini. Kadang dingin kadang panas. Moodnya sudah seperti dispenser saja."Jelaskan!"Aku menelan salivaku sendiri. Aku bingung mau jujur atau berbohong saja. Karena prediksiku ternyata salah besar. Aku berpikir Chris akan senang karena batal menikah denganku. Tetapi ini kulihat ia seperti orang yang kebakaran jenggot hanya karena aku mau dilamar orang."Saya menunggu, Lyn. Mau sampai kapan kamu diam?" sentak Chris lagi.Aku berhitung satu sampai sepuluh di dalam hati. Sambil mencoba menenangkan perasaanku sendiri."Waktu mereka sekeluarga datang ke rumah, saya bahkan sama sekali tidak memperkenalkan diri Kak. Saya cuma membantu menghidangkan makanan dan kue-kue kecil saja. Saya bahkan belum mandi dan berpenampilan seperti
Dalam waktu sepuluh menit aku telah berganti dua mobil. Tadi dengan Eldath. Dan sekarang dengan Chris. Suasana juga sama heningnya. Jika dalam mobile Eldath tadi hening karena si pengemudi memang irit berbicara. Dalam mobil ini hening karena si pengemudi marah padanya. Sebenarnya aku ingin berbicara, tapi sedari tadi aku tidak menemukan topik yang tepat."Lain kali jangan coba-coba untuk meninggalkan saya sebelum saya mengizinkan. Paham?" Aku melihat tangannya mencengkram setir begitu kuat,seolah-olah ingin meremukkannya.Satu kebiasaannya yang kutahu, apabila dia sedang dalam mood yang jelek dia akan memijit-mijit keningnya. Belum sempat aku mengiyakan ucapannya, ponselku berdering lagi."Iya Ly, ada apa lagi?" Aku menutup sebelah telingaku agar bisa mendengar suara Lily yang bercampur dengan dentuman musik."Gue lagi di club ini. Besok lo jangan nggak dateng ya?Karena besok malam minggu. Dan you kn