Pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku mendengar bell rumah berbunyi. Serentak aku melihat ibu berikut Maddie dan Reen berjalan menuju ke ruang tamu. Sepertinya tamu yang merek tunggu-tunggu telah datang.
Sembari mencuci peralatan masak, aku melirik Maddie yang tampil sangat cantik dan canggih. Ya, canggih adalah kata yg tepat buat gaya berpakaiannya. Semua didirinya seolah-olah meneriakkan kata mahal.
Sementara Reen yang membuntuti Maddie, terlihat manis dan cerdas dibalik kacamata minusnya. Aura kakak dan adikku memang luar biasa. Mereka canggih dan berkelas. Berbeda denganku yang menurut mereka menang tampang hibah dari sononya saja.
Setelah memandangi kakak dan adikku yang rapi, aku memandang diriku sendiri. Aku meninggalkan cucian dan memeriksa tampilanku di wastafel. Aku meringis melihat penampakan rambut acak-acakan dan wajah berminyakku. Aku masih memakai daster batik adem dan rambut di cepol yang sebagian sudah berjatuhan di tengkuk dan keningku.
Wajahku berkilau bukan karena highlighter atau shading. Tetapi karena keringat dan minyak alami yang dihasilkan oleh wajahku. Inilah nasib si Upik Abu.
Wajar, karena aku langsung disetrap ibu di dapur ini begitu tiba di rumah. Aku hanya sempat menukar pakaian kerjaku dengan daster adem ini. Jadi Boro-boro mandi dan berdandan cantik seperti kakak dan adikku. Saat melangkah ke dapur tadi saja, aku langsung berjibaku dengan masakan dan mencuci peralatan dapur yang seperti tiada habis-habisnya ini.
Diiringi gemericik air keran yang mengalir, samar- samar aku mendengar beberapa orang berbicara secara bersamaan. Canda tawa penuh kehangatan terdengar di sana. Tidak heran, keluarga Tjandradinata adalah teman lama ibu yang konon sangat berada. Mereka memiliki berbagai usaha dari mulai pertambangan, perhotelan, kuliner hingga francise gerai makanan cepat saji yang ada di seluruh Indonesia.
Dari dulu ibu sangat ingin menjodohkan salah satu anaknya dengan Albert Tjandrawinata. Anak tunggal dari keluarga itu kaya raya itu.
Mungkin ini adalah saat-saat yang telah lama ditunggu-tunggu oleh ibuku. Karena Albert sedang berkunjung ke Indonesia untuk launching salah satu hotel mereka yang baru saja diresmikan. Penasaran aku mengintip suasana ruang tamu sebentar. Aku yakin, aku tidak akan diperkenalkan oleh ibu. Makanya aku memutuskan mengintip sebentar saja, untuk memuaskan rasa penasaranku. Namun aku segera menarik kepalaku kembali, saat melihat pelototan ibu.
"Kenalkan ini adalah anak-anak ku, Deasy." Aku mendengar suara ibu saat memperkenalkan kakakku.
"Saya Madeline, Tante. Biasa dipanggil Maddie." Samar-samar aku mendengar suara merdu Maddie saat memperkenalkan diri.
"Saya Maureen, Tante. Panggil saja saya Reen." Suara tegas Reen terdengar begitu meyakinkan. Maklumlah adikku itu seorang pengacara muda yang cerdas dan handal. Aku sangat bangga pada kakak dan adikku itu.
Suara-suara diruang tamu mulai tambah semarak saat terdengar suara maskulin yang sesekali ikut menimpali percakapan yang lebih didominasi oleh suara-suara feminim kakak dan adiknya. Wah, pasti itu adalah suara Albert Tjandrawinata. Semoga saja Reen bisa berjodoh dengan si Albert ini. Dengan begitu impian ibunya akan terwujud. Aamiin. Kalau dengan Maddie, sepertinya tidak mungkin. Kakaknya itu sudah menpunyai Christian tentu saja.
"Duh anak-anakmu cantik-cantik sekali ya Marissa? Tidak kalah denganmu sewaktu masih gadis dulu."
"Ah kamu bisa saja, Des. Pinter banget memuji. Maddie ini manager perusahan property lho. Kalau ada waktu senggang juga jadi model di beberapa even organizer. Sedangkan Reen ini adalah pengacara muda yang sedang naik daun. Coba saja berbohong padanya, maka dia akan langsung tahu pada detik pertama hanya dengan memandang matamu." Suara ibu terdengar begitu bangga saat menceritakan prestasi putri-putrinya. Gelak dan tawa memenuhi ruang tamu yang kini nampak ramai dengan tamu-tamu penting keluarga Tjandrawinata itu.
Aku turut bahagia mendengar keriuhan penuh keakraban dari ruang tamu itu. Dan ketika secara tidak sengaja pandanganku membentur meja, aku menepuk kening. Kue-kue basah buatanku yang tadinya kubuat dengan susah payah masih berada di meja. Ibu dan kakakku Pasti lupa menghidangkannya. Karena terlalu gembira menyambut kedatangan keluarga Tjandrawinata. Aku mematikan keran air. Daripada mubazir, aku saja yang akan menghidangkan kue-kue itu ke depan. Sudah susah-susah dibuat masa tidak dimakan?
Aku meraih baki terbaik andalan ibu. Baki yang terbuat dari kristal ini hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Setelah meletakkan macam-macam kue di atas baki, aku segera berjalan ke ruang tamu. Pembicaraan riuh itu sejenak terhenti. Namun aku tidak mempedulikannya. Tugasku hanyalah mengantarkan kue-kue ini. Titik. Aku tidak mau dianggap mencari perhatian oleh ibu dan kedua saudariku. Setelah meletakkan kue-kue di atas meja aku bermaksud berlalu. Aku baru saja membalikkan badan, saat sebuah suara menghentikan langkahku.
"Maddie dan Reen. Lantas dia siapa?" Seorang pria bersetelan jas mahal yang bisa kuasumsikan sebagai Albert Tjandradinata menunjukku dengan kedikan kepala.
Kulihat wajah ibu dan kedua saudariku, berubah melihat kehadiranku yang tiba-tiba muncul membawa kue-kue.
"Dia, Lyn." Kata Ibu. Aku terdiam. Hanya Lyn tanpa embel-embel anakku, apalagi membangga-banggakanku seperti kedua saudaraku. Rasa sedih kembali menggelayutiku.
Sudahlah Lyn. Tidak usah bersedih. Toh tidak ada orang yang akan bersimpati padamu.
Rasanya dadaku tiba-tiba sesak dan mataku menghangat tanpa bisa dicegah. Sekuat mungkin kutahan rasa pedih, iri dan sedih yang bercampur-campur di dadaku. Aku hanya tersenyum kecil. Aku juga kebingungan harus bersikap bagaimana. Ibu toh tidak menyuruhku memperkenalkan diri. Aku takut salah bersikap yang hanya akan semakin memacu ketidaksenangan ibu melihat kehadiranku di ruang tamu ini.
Dari sudut mata kulihat ayah ah menarik nafas panjang sembari beringsut dari sofa. Ayah kemudian menghela tanganku menghampiri Tante Deasy.
"Ini putri keduaku, Des. Ayo Lyn perkenalkan dirimu," ucap ayah lembut. Ayah juga mengelap keringat yang muncul di dahiku dengan punggung tangannya. Walau merasa tidak enak aku tetap memperkenalkan diri juga.
"Malam, Tante. Nama saya Marilyn, panggil Lyn saja, Tan," kataku sambil mencium punggung tangannya dengan sopan.
"Duh, sopan dan cantik sekali kamu, Nak." Tangan lembut Tante Deasy mengelus ringan kepalaku, yang langsung menghadirkan rasa nyaman dihatiku. Astaga begini ya rasanya kalau disayang oleh seorang ibu, gumanku dalam hati.
"Terima kasih, Tan--Tante," jawabku gugup. Saat pandang mataku tidak sengaja bersirobok dengan Albert, aku segera menunduk. Aku tidak terbiasa dipandang orang dengan terang-terangan seperti ini.
"Kalau berbicara dengan seseorang, angkat dong kepalamu, Woman. Jangan menunduk-nunduk seperti orang yang sedang mencari jatuhan uang recehan."
Aku memandangnya sekejab, dan detik berikutnya Aku kembali menunduk. Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Setelah berpamitan dengan Bu Desi dan Pak Darren, aku kembali ke belakang. Aku bukannya ingin bersikap tidak sopan dengan tidak mau berlama-lama di ruang tamu. Tetapi tatapan ibu dan kedua saudaraku seakan-akan menyuruhku untuk tidak berlama-lama di sana. Makanya aku memutuskan lebih baik aku kembali ke dapur saja. Lagi pula aku tidak nyaman berada di dekat laki-laki yang digadang-gadang akan menjadi menantu impiannya ini. Tatap matanya seperti melecehkan. Belum lagi gesture tubuhnya yang sombong. Tapi aku tidak ingin suudzon. Mungkin orang kaya kelakuannya memang seperti itu.
Keringat yang mengalir di sekujur tubuhku membuatku semakin gerah. Bayangan membersihkan diri dengan air yang segar membuatku mempercepat pekerjaanku. Beberapa menit kemudian semua peralatan dapur yang kotor sudah kusulap menjadi bersih. Namun aku masih merasa kegerahan. Keringat menghiasi kening dan ujung hidungku.
Demi mendapatkan udara segar, aku membuka pintu belakang rumahku. Hembusan angin malam langsung terasa sejuk membelai-belai kulit dan rambutku. Apalagi tadi sempat hujan sebentar. Udara semakin semakin sejuk dan berangin. Sejenak aku memikirkan sikap ibu dan kedua saudariku. Dan aku pun kembali bersedih karenanya. Aku sungguh-sungguh merasa seperti Cinderella, yang tertindas di dalam dongeng H.C Andersen. Bedanya di sini adalah mereka semua keluarga kandungku.
Aku menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Hmmm... harumnya aroma tanah setelah hujan seperti ini paling kusuka. Seperti juga wangi alami kain yang baru dijemur di terik matahari. Harum alami yang membuatku ingin dan ingin kembali menghirupnya.
"Kamu tidak sopan sekali ya meninggalkan tamu begitu saja, Woman!"
Aku kaget sambil langsung membuka mata. Albert Tjandrawinata tampak bersandar dengan santai di pintu belakangku.
"Kenapa Anda memanggil saya Woman? Saya punya nama," tanyaku lirih sambil menatap jalinan tanganku sendiri. Ini adalah gesture tubuhku jikalau sedang gugup.
"Saya tidak merasa kamu memperkenalkan diri kepada Saya. Ayo sini perkenalkan dirimu secara layak kepadaku." Albert menyipitkan matanya. Dengan apa boleh buat aku pun mengulurkan tangan.
"Nama saya, Lyn. Tadi Anda kan sudah mendengarnya sewaktu saya memperkenalkan diri pada ibu Anda," cicitku pelan. Entah mengapa aku sangat tidak menyukai aroma mengintimidasi dan aroma wewangian khas pria yang membuatku makin merasa terancam. Aku tidak pernah dekat dengan pria baik secara harfiah maupun kiasan. Tidak punya waktu tepatnya.
"Pandang saya kalau sedang berbicara dengan saya, Woman."
Tiba-tiba Aku merasa rahangku ditarik keatas. Aku dipaksa untuk menatap wajahnya. Aku melihat iris mata yang segelap malam balik menatapku. Hidungnya lurus dan mancung dengan rahang persegi yang kokoh. Bibir Albert ini berwarna kecoklatan dan tipis. Pantas mulutnya tajam sekali. Konon pria berbibir tipis sangat pedas kata-katanya.
"Lepaskan sa... hempppttt!!" Tiba-tiba saja dia melumat bibirku. Dia benar -benar melumatnya dengan kasar, menghisap bibir bawahku dan menyesap salivaku.
Aku kaget saat merasakan lidahnya membelit erat lidahku. Dan kini dia juga sudah mencuri nafasku. Aku mulai megap-megap kehabisan nafas.
Aku kembali memukul-mukul dadanya agar melepaskanku. Tetapi dia malah mendorongku ke dinding dan merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku bisa merasakan semua bagian-bagian tubuhnya yang sudah melekat erat bagai kulit kedua melekat di tubuhku.
Saat aku mulai panik karena kehabisan nafas, dia pun mulai menjauhkan wajahnya. Aku melihat nafasnya juga tersengal-sengal. Ada hasrat yang mulai terbangun yang tampak dikedua netra hitamnya.
Orang ini sungguh gila. Atau semua orang yang tinggal di luar negeri memang seperti ini kelakuannya?
"Di mana kamu Lyn?"Aku mendengar suara ibu memanggilku, diiringi dengan suara langkah-langkah kakinya yang berderap menuju ke arah dapur.Aku mendorong tubuh Albert, dan berlari ke dapur. Dengan cepat aku memposisikan tubuh di bak cuci piring dengan wajah yang berubah-ubah antara memerah dan memucat. Aku ingin memberi kesan pada ibu, kalau aku masih mencuci piring.Jantung ku masih berdebar-debar hebat mengingat apa yang telah di lakukan Albert di pintu belakang rumahku. Laki-laki itu telah mencuri ciuman pertamaku!"Lyn di sini, Bu. Sedang... sedang mencuci pi—pi piring," jawabku tergagap. Dari sudut mata sekilas aku melihat Albert telah masuk ke toilet belakang."Ya, sudah. Kamu beres-beres saja di belakang. Tidak usah hilir mudik ke sana ke mari seperti setrikaan. Lagi pula kamu juga belum mandi dan berantakan sekali. Bikin malu Ibu saja." Ibu mengomeliku
Tettt... tettt... tett...Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya."Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba m
Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?Chr
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
Suara pintu yang dibanting terasa begitu menakutkan di telingaku. Tidak lama berselang aku didudukan paksa di sudut ranjang. Aku kadang bingung dengan sikap Chris ini. Kadang dingin kadang panas. Moodnya sudah seperti dispenser saja."Jelaskan!"Aku menelan salivaku sendiri. Aku bingung mau jujur atau berbohong saja. Karena prediksiku ternyata salah besar. Aku berpikir Chris akan senang karena batal menikah denganku. Tetapi ini kulihat ia seperti orang yang kebakaran jenggot hanya karena aku mau dilamar orang."Saya menunggu, Lyn. Mau sampai kapan kamu diam?" sentak Chris lagi.Aku berhitung satu sampai sepuluh di dalam hati. Sambil mencoba menenangkan perasaanku sendiri."Waktu mereka sekeluarga datang ke rumah, saya bahkan sama sekali tidak memperkenalkan diri Kak. Saya cuma membantu menghidangkan makanan dan kue-kue kecil saja. Saya bahkan belum mandi dan berpenampilan seperti
Dalam waktu sepuluh menit aku telah berganti dua mobil. Tadi dengan Eldath. Dan sekarang dengan Chris. Suasana juga sama heningnya. Jika dalam mobile Eldath tadi hening karena si pengemudi memang irit berbicara. Dalam mobil ini hening karena si pengemudi marah padanya. Sebenarnya aku ingin berbicara, tapi sedari tadi aku tidak menemukan topik yang tepat."Lain kali jangan coba-coba untuk meninggalkan saya sebelum saya mengizinkan. Paham?" Aku melihat tangannya mencengkram setir begitu kuat,seolah-olah ingin meremukkannya.Satu kebiasaannya yang kutahu, apabila dia sedang dalam mood yang jelek dia akan memijit-mijit keningnya. Belum sempat aku mengiyakan ucapannya, ponselku berdering lagi."Iya Ly, ada apa lagi?" Aku menutup sebelah telingaku agar bisa mendengar suara Lily yang bercampur dengan dentuman musik."Gue lagi di club ini. Besok lo jangan nggak dateng ya?Karena besok malam minggu. Dan you kn
Sebenarnya aku agak-agak bingung dengan sikap Eldath akhir-akhir ini. Ia pernah beberapa kali mengantarkanku pulang dari club, padahal aku sudah berulang kali menolaknya.Aku takut nanti Chris salah paham dan mengira kalau aku berniat untuk menggoda adiknya. Tapi lagi-lagi Eldath beralasan bahwa ia akan menjagaku selama sebulan ini, karena Chris sedang berada di Singapura untuk merintis cabang baru salah satu bisnisnya di sana.Eldath beralasan kalau ia sudah menganggapku seperti kakaknya sendiri. Walau aku heran juga. Kakak dari mana, secara usia Eldath hanya berpaut dua tahun di bawah Chris. Yang artinya usia Eldath adalah delapan tahun di atasku.Selama sebulan ini aku hidup bagaikan di zaman romusha saja. Pulang kantor langsung menyiapkan makan malam, kemudian berangkat kerja ke club. Pulang bekerja pukul dua belas malam. Dan tiba di rumah pukul satu dini hari. Aku bangun jam lima pagi. Menyiapkan sarapan dan berangk