“Apa maksudmu?”
“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—menyoroti wajah Rosetta, lantas menyahut, “Karena dia saudari kembarmu. Apa aku benar?”Rosetta membeku sekali lagi. Dia langsung teringat pada Caritta Alighieri—kakak kembarnya. Mereka memang terlahir sebagai bayi kembar identik dua puluh tahun lalu di Magnolia Springs—salah satu kota kecil yang indah di negara bagian Alabama, Amerika Serikat. Tragedi kemudian terjadi pada usia mereka yang masih remaja. Orang tua kandung mereka tewas seketika dalam insiden kebakaran di pabrik roti milik keluarganya. Sejak itu, hubungan Caritta-Rosetta menjadi renggang hingga akhirnya setelah mereka lulus SMU pun pergi dari sana untuk menempuh jalan masing-masing. Rosetta pindah ke Puglia—melanjutkan hidup—mengharapkan nasib yang dia pikir akan berubah menjadi lebih baik. Namun, dia justru terseret dalam kasus yang dibuat oleh Caritta hanya gara-gara kemiripan wajah di antara mereka. Berapa banyak lagi mimpi buruk yang tersisa untuk dia jalani?“A-apa kau bertemu dengan Caritta? Apa dia ada di Puglia?”“Caritta? Itukah nama aslinya?”“Aku memang punya saudari kembar, tetapi sudah lama sekali aku tidak pernah tahu mengenai kabarnya. Apa dia baik-baik saja?”Marco menelengkan kepalanya ke arah Rosetta yang sedang memandangi dirinya dengan sorot mata ingin tahu. Dia mendengus sesaat sebelum membalas, “Ha. Itu pertanyaan yang konyol. Jika dia baik-baik saja, maka dia tidak akan mengambil kalungku kemarin malam.”“Mengapa dia mencuri?” gumam Rosetta yang merasa cemas dengan keadaan Caritta.“Orang-orang menjadi serakah pada harta yang tergeletak tepat di hadapan mereka. Itu merupakan sesuatu yang biasa terjadi.”“Caritta tidak pernah melakukan—”“Bukankah kalian terpisah dalam waktu yang cukup lama? Apa kau tahu persis yang dia jumpai di luar sana? Dia bisa jadi terjerat dalam masalah utang-piutang atau mungkin juga memang hanya suka lancang pada barang-barang milik orang lain.”“Aku tahu Caritta. Dia tidak akan pernah lancang. Itu sama sekali bukan sifatnya.”Marco mengumbar tawa hambarnya, lantas menanggapi, “Kau harus bergaul dalam lingkaran yang jauh lebih luas, Rosetta. Waktu berganti, hari pun juga menghilang bersamanya. Sama dengan orang-orang yang sempat kau pikir ‘baik’ di matamu. Kau akan terkejut saat menemukan saudari manismu telah berubah menjadi sosok yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya.”“Apa kau pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa ‘setiap orang punya sisi jelek yang tengah tertidur di dalam dirinya’? Aku sudah menjumpai ratusan orang yang serupa dan asal kau tahu saja, dunia tidak menyisakan tempat untuk wanita naif sepertimu,” lanjutnya lagi.“Jaga bicaramu, Tuan Botticelli. Aku yakin Caritta tidak seburuk yang kau pikir.”“Kita akan melihatnya segera.”“Segera?”“Para bawahanku sedang mencari Caritta sekarang dan kalian akan merayakan reuni keluarga sebentar lagi. Bukankah itu menarik?”“Tung-tunggu. Bagaimana kalian saling mengenal?”Seringai Marco spontan terbit di sudut bibirnya. Dia lagi-lagi mendengus dan menjawab, “Ha. Apa kau juga tidak tahu tentang profesinya yang membanggakan itu? Dia pelacur yang aku sewa. Aku juga membayarnya dengan dolar yang tidak sedikit.”“Pe-pelacur?”Rasa sesak serta-merta datang menghantam sistem pernafasan Rosetta. Informasi itu membuat lehernya refleks tercekik oleh kenyataan yang baru saja dia dengar dari Marco. Sejak kapan Caritta bersedia merendahkan harga dirinya dan menjadi wanita bayaran?Seluruh perasaan gamang yang menyertai hati Rosetta seperti teka-teki. Dia ingin mengetahui alasan Caritta yang memilih untuk menerjunkan dirinya dalam dunia prostitusi sekaligus ingin bersua kembali sebagai satu keluarga. Namun, dia juga enggan membiarkan saudari kembarnya itu terperangkap dalam jerat yang sama.Rosetta ingin melindungi Caritta dari pria keji seperti Marco, tetapi bagaimana caranya? Dia mencoba memikirkan rencana lain dan mengatur siasat untuk menyelamatkan Caritta. Sebelum ide-ide itu sempat mengalir, Marco justru melemparkan sikat punggung yang tergantung di sampingnya ke pangkuan Rosetta.“Apa—oh, mengapa kau—”“Tutup mulutmu dan mandikan aku juga.”Rosetta sontak terperangah sambil memandangi Marco yang melangkah ke dekat bathub dengan tatapan syok. Pria itu menanggalkan semua pakaiannya dan memasuki bak bergaya vintage dengan empat kaki tersebut tanpa menunggu lama. Ekor matanya melirik pada Rosetta yang seketika membuang muka.“Mengapa kau memalingkan wajah? Bukankah kau juga sudah melihatnya tadi?”“A-aku—”“Cepatlah, aku tidak punya waktu untuk tertahan bersamamu lebih lama. Ada pekerjaan yang harus kuurus di Napoli.”Rosetta berusaha menggerakkan sepasang kakinya untuk melangkah, tetapi dia kelewat keras kepala untuk melakukannya. Apa yang Marco pikirkan? Menggosok punggung pria yang baru saja melecehkannya dan menuruti perintah mafia itu tanpa berani menolak?“Se-ka-rang,” tekannya lagi sambil menoleh pada Rosetta yang belum juga beranjak dari posisinya.“Aku tidak ingin melakukannya.”Marco menyandarkan kedua lengannya di pinggiran bathub, kemudian beralih mengeraskan tatapan—memandangi botol-botol sabun yang terjejer rapi dengan sorot mata kaku. Normalnya, emosi pria itu akan meledak dalam sekejap. Namun, raut wajah Rosetta yang tampak rapuh di ujung sana membuat segenap amarahnya otomatis tersingkir ke tepi.“Keluarlah dan pergi tidur. Kita akan bertemu kembali minggu depan,” pinta Marco yang masih berjuang mengontrol letupan kecil di balik dadanya.‘Itu saja? Keluar dan tidur?’ batin Rosetta. Dia tercengang pada tingkah Marco yang berubah menjadi ganjil. Wanita itu sempat mengira bahwa Marco akan mengamuk atau mengeksekusinya di hadapan kandang lagi.Rosetta beruntung sebab dugaannya salah. Marco justru membiarkannya istirahat dan akan membuat hari-harinya jauh lebih tenang selama perjalanan bisnis itu masih berlangsung sampai kira-kira minggu berikutnya. Dia akan memikirkan cara untuk mengamankan Caritta sekaligus melarikan diri nanti.“Ada apa?”Rosetta tersentak dari lamunannya, lantas pria itu lagi-lagi meneruskan, “Mengapa kau masih berdiri di sana? Pergilah sebelum aku berubah pikiran dan menarikmu untuk berendam ke dalam bak bersamaku.”Rosetta pun serta-merta berbalik dan meninggalkan Marco yang menonton punggung wanita itu menghilang dari pandangannya. Senyum Marco seketika terurai samar—menyadari ada sesuatu yang janggal tersemai di antara mereka, kemudian mencoba abai. Komitmen bukan prioritas baginya.Belum.Hanya tinggal menunggu waktu hingga cinta membuat mereka saling terikat di bawah lingkup takdir. Membutuhkan satu sama lain seperti Marco yang perlu oksigen agar dapat bernapas dengan lega dan Rosetta yang perlu matahari untuk hidup. Namun, apa segala sesuatunya akan berjalan lancar dan ‘selamanya’ akan berlaku bagi setiap orang?***“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
“Bukankah aku baru saja mengatakannya padamu? Dia milikku. Aku tidak terbiasa untuk membagi sesuatu yang kupunya dengan orang lain,” desis Marco yang kemudian menggertakkan giginya.Seringai yang sarat akan ejekan itu seketika muncul di sudut bibir Ludovic. Dia menelengkan kepalanya sedikit, lantas menyipitkan mata. Pandangan pria tersebut terkunci hanya pada Marco yang sedang menyembunyikan sepasang kepalan tangannya di dalam saku mantel kardigan polosnya.“Tidak ada yang terjadi. Kami hanya mengobrol. Kau boleh membawa Rosetta pergi,” balas Ludovic yang justru memilih untuk mengalah.“Aku tidak ingin ikut dengannya,” tolak Rosetta yang serta-merta membangkitkan emosi Marco.“Kau harus kembali ke dalam kamarmu sekarang,” perintah Marco yang membuat nada penekanan di bagian akhir kalimat.“Aku belum menghabiskan minumanku,” kilah Rosetta yang mencari alasan agar tetap tinggal.“Don’t cross my line or
“Bagaimana kabar wanita kurang ajar itu? Di mana dia sekarang?”Giuseppe pun menoleh pada rekannya sesaat sebelum menjawab sang pemimpin. Dia menelan air ludahnya dengan susah payah, lantas menyahut, “Er—kami kehilangan jejaknya, Tuan Botticelli.”“Kehilangan jejak?” desis Marco yang siap untuk meluapkan emosinya di hadapan mereka.“Kami hanya mampu melacaknya hingga ke daerah timur. Dia terlihat sedang memasuki Hotel Firenze lusa kemarin, tetapi kami tidak menemukan keberadaannya lagi sejak sore.”“Sial!” maki Marco yang kemudian menendang salah satu kaki meja dan membuat benda itu terbalik dengan keadaan patah.“Apa kalian tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar? Apa kalian tidak malu menyebut diri kalian mafia?” jeritnya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya pada wajah mereka.“Maafkan kami, Tuan Botticelli. Kami mengaku salah,” balas sepuluh orang itu dengan serentak. “Maaf?
“Tamu Tuan Salvoni?” tanya salah satu penjaga yang memegang senjata api berlaras panjang itu dengan tatapan penuh selidik.“Aku Caritta. Dia mengenalku. Aku punya janji temu untuk sebuah bisnis kecil bersamanya.”“Baiklah. Berdiri dengan tegap dan angkat kedua tanganmu ke atas. Kami akan memeriksa tubuhmu sebelum masuk,” pinta pria berhidung besar itu.Dua orang penjaga lain pun mengulum senyum mereka sesaat setelah menonton jemari rekannya menggerayangi punggung Caritta. Sentuhan itu kemudian merendah menuruni bagian pinggul dan membuatnya terkesiap oleh rasa syok. Menerbitkan ambisinya untuk menampar wajah pria kurang ajar tersebut dengan keras.“Percayalah padaku. Aku tidak membawa benda apa pun yang berbahaya,” desis Caritta sambil mengetatkan rahangnya.“Kita tidak pernah tahu barang-barang yang mampu disembunyikan di balik rok rimpelmu, bukan? Jadi, biarkan aku mengintipnya sedikit agar—”“Dasa
“Mengapa aku harus mengepak barang-barangku ke dalam koper?”“Karena kau akan berada di atas laut selama dua hari.”Rosetta langsung meletakkan garpu miliknya dan memandangi Marco yang masih mengiris steiknya dengan sikap tenang. Dia berdeham-deham meminta perhatian dari pria itu, lantas memberi kode jelaskan-padaku-sekarang dengan sorot matanya. Namun, Marco memilih untuk mengabaikan isyarat tersebut.“Apa maksudmu di atas laut?”“Kau cukup vokal untuk menyuarakan rasa penasaran dalam kepalamu,” komentar Marco sambil memasukkan potongan besar daging sapinya ke dalam mulut.“Yang benar saja, Marco. Apa aku tidak boleh memprotesmu? Maksudku, kau mendadak menyuruhku untuk bersiap-siap dan mengangkut koper. Itu—”“Aku akan mengajakmu berlayar dengan kapal pesiar. Apa kau puas?”Rosetta seketika tercengang selepas mendengar ucapan Marco yang dia anggap hanya sebagai lelucon. ‘Demi apa pun, pria yang ada di hadapanku sangat semena-mena!’ batinnya. Wanita