Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
“Aku tidak suka basa-basi. Siapa namamu?”“Panggil saja Leah.”“Leah? Nama yang menarik.”Wanita berambut panjang yang mengaku sebagai Leah itu hanya tersenyum menanggapi. Dia menyilangkan sepasang tungkainya dengan gerakan sensual—menyingkap sebagian kulit paha yang halus, lantas mematikan puntung rokok miliknya di dalam asbak. Senyum lebar menghiasi sudut bibirnya yang dipolesi lipstik warna merah.“Aku punya nama samaran bagi profesiku. Anggap saja itu cara kami bekerja,” komentar Leah lagi dengan sopan.Pria tersebut kemudian mengangguk memberi respons. Dia kembali menyesap vodka-nya—minuman beralkohol yang baru saja dia pesan beberapa menit lalu—dengan hati-hati. Pikirannya berkelana pada sesuatu yang menonjol di balik blus sutra lawan bicaranya.“Apa aku boleh menyebutmu Tuan Marco saja dan—”“Botticelli. Tuan Botticelli,” tegas si pria itu tanpa balas memandang ke arah wanita can
Akal sehat Leah luruh oleh gelombang pasang yang seketika muncul memorak-porandakan isi kepalanya. Erangan garau tersebut langsung meluncur lewat bibir seksi sang wanita. Dia baru saja menjemput orgasme kedua yang datang menyapu tubuhnya.Sepasang tungkai Leah mengejang ke atas bersama geliat acak yang mengacaukan seluruh sistem pernapasannya. Pergulatan panas itu pun kembali berlanjut sesaat setelah Marco menarik pinggangnya—mendudukkan wanita bermata cokelat yang masih gemetar tersebut ke dalam pangkuan, lantas memacu ritme yang sama. Lagi dan lagi.Punggung Leah terguncang hebat. Dia mendesah jauh lebih keras dari sebelumnya, sementara Marco yang bergerak kelewat liar itu tetap bertahan pada ambisi untuk meraih sesuatu yang akan segera hadir melalui penyatuan mereka. Detik berikutnya, terjangan yang luar biasa sontak tercurah penuh di ujung karet pelindung.Marco menggerung, kemudian menggeram tertahan atas aksi panjang yang membuat segen
“Kembaliannya, Nona Alighieri.”“Terima kasih, Nyonya Moretti.”Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian
Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir
“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut
“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang