"Ke mana?" jawab Rizal, matanya menatap Dimas, tak mengerti.
"Kita nanya langsung aja ke mas Faris," jawab Dimas sambil berdiri dari kursi."Tapi mampir dulu ke rumah sebentar, aku mau ngasih pesanan nyokap tadi pagi, gimana?" sambung Dimas, lagi."Ayo .... Kamu ikut, nggak? Malah ngelamun," desak Dimas, tak sabar."Mmm ... iya deh, aku ikut ...." Rizal berdiri dan melangkah mengikuti arah Dimas berjalan.Dimas tersenyum mendengar keputusan Rizal, dan terus melangkah tanpa menoleh.****"Mau ke mana lagi, Dim? Baru nyampek rumah 'kok sudah mau pergi lagi."Bundanya Dimas mulai ngomel saat melihat gelagat anaknya yang berkemas hendak pergi lagi."Mau ke kantornya mas Faris, Bun." jawab Dimas, sambil terus berkemas."Ngapain ke sana, ada perlu apa?" tanya Bunda dengan kening mengernyit."Denger dari Naya, katanya Mas Faris baru saja nikah dengan —""Terus ... apa hubungannya denganmu?" potong Bunda dengan tatapan tajam ke arah Dimas, sambil duduk di sofa berhadapan dengan posisi duduk Rizal."Faris memang sudah menikahi Ivana, kemarin. Tapi Bunda nggak hadir, soalnya harus mengantarkan Mbah Putri yang mau pulang ke Jogya," jelas Bunda lagi, sambil bergantian menatap Rizal dan Dimas."Ooo ...." sahut Dimas dan Rizal bersamaan, saling pandang penuh arti. Ternyata bukan tidak di undang seperti yang Dimas kira, tetapi karena berhalangan hadir."Tapi, kenapa bukan dengan mbak Bella, Bun?" tanya Dimas."Bukan apa apa sih, Bun. Hanya penasaran saja, karena selama ini aku tidak pernah tahu kalau Ivana punya hubungan dengan mas Faris," tanya Dimas lagi sambil menatap Bunda, meminta penjelasan yang lebih akurat, tidak terpotong-potong."Denger-denger sih, kayaknya pernikahan itu karena terpaksa, Ivana jadi pengantin pengganti karena si Bella tidak kunjung datang pas acara nikahan," jelas Bunda dengan suara rendah. Namun masih bisa Dimas dan Rizal dengar dengan jelas."Kok bisa gitu, Bunda? Kenapa Ivana bersedia menikah tanpa di dasari cinta?" tanya Rizal, dengan wajah tak percaya sama seperti yang di rasakan Dimas."Yeeee ... mana Bunda tahu, tanya aja sendiri ke orangnya, emangnya Bunda ini cenayang apa?" jawab Bunda sambil melangkah pergi meninggalkan Dimas dan Rizal yang kebingungan."Benar kata Bunda, kita harusnya nanya langsung ke orangnya," ujar Dimas sambil menatap Rizal."Let's goo ..!."Rizal beranjak dari duduknya, di ikuti Dimas hingga hampir melewati pintu rumah."Hei ... Kalian mau ke mana?" tanya Bunda, membuat langkah Dimas dan Rizal seketika berhenti dan berbalik badan menghadap ke Bunda yang tengah berdiri di tengah anak tangga."Tadi katanya suruh tanya langsung ke orangnya, Nda," ujar Dimas, menjawab."Iis ... janganlaa, itu bukan urusan kalian. Tak baik mencampuri yang bukan urusan sendiri, pamali," larang Bunda terlihat gemas, dan memilih kembali melanjutkan langkahnya.Meninggalkan Dimas dan Rizal yang saling pandang, terdiam, dengan hati lesu kembali masuk ke dalam rumah.****"Assalamualaikum ..." ucap Ivana, saat tangannya membuka pintu rumah."Wa alaikum salam ...."Ada jawaban dari arah dapur."Sudah pulang, Nya ...?" tanya Mak Ijah sambil berlari kecil dari arah dapur."Mau saya siapkan makan siang atau camilan?" tanya Mak Ijah."Eh ada nona Naya, tambah cantik aja Non," sapa mak Ijah yang terkejut melihat Naya yang berdiri di belakang Ivana."Kenapa ... Mak, kangen?" tanya Naya sambil tersenyum kecil. Dan terus berjalan melewati Ivana yang berdiri samping sofa."Kangen, kangen banget ... Non sekarang wes gede, ayu tenan," tak putus mata mak Ijah memandangi Naya membuat Ivana yang dicuekin hanya tersenyum melihat interaksi di antara mereka."Mak ... punya kue apa sore ini?" tanya Ivana, dengan tangan terulur meletakkan tasnya di atas meja."Cuma pisang goreng, Nya. Tapi bisa di tambah teh anget." Mak ijah kembali fokus ke arah nyonyanya."Aku kopi aja, Mak. Kalo Naya pasti mau teh, tolong di bikinin ya," pinta Ivana yang memilih duduk di depan Naya, hanya berjarak satu meja saja."Siap Nya."Mak Ijah bergaya seperti pak polisi yang sedang menerima perintah dari atasannya, dan segera berlalu ke dapur, meninggalkan Naya dan Ivana yang tertawa kecil melihat kelakuan mak Ijah."Masku, biasanya pulang ngantor jam berapa, Va?""Nggak tahu, sejak hari itu jam pulangnya berubah ubah mungkin masih bertemu dengan calon istrinya," jawab Ivana, dengan raut wajah yang berbeda."Lagi pula ada apa, tumben tanya jam pulang mas Faris? Kamu ada kepentingan?" Ivana balik bertanya."Nggak kok, hanya ingin tahu aja," jawab Naya."Kalo pengin tahunya pakek bingit, telpon aja." Ivana memberikan usul."Nggak usah, Va. Entar yang ada malah nyuruh aku pulang cepat-cepat lagi, padahal aku kan masih ingin ngerumpi yuk yak yuk!?" tolak Naya dengan raut wajah lucu.Dan ucapan Naya berhasil membuat ke dua perempuan cantik itu tertawa lepas."Nih ... sudah siap sesajen buat sore-sorean gini, semoga sesuai dengan selera," ujar mak Ijah, sambil meletakkan piring berisi pisang goreng, kopi dan teh di meja."Makasih ya, mak Ijah. Sesajennya mantap," jawab Naya tersenyum hangat, tangan perempuan cantik itu langsung mencomot hidangan di atas meja tanpa malu malu."Gara-gara sesajen ini nich, jin cantik di depanku nggak bakalan mau pulang sore-sore, batal deh —"Ivana tiba tiba berhenti berkata saat terdengar suara seseorang mengetuk pintunya dengan sedikit keras."Siapa?!" tanya Naya, dengan wajah penuh selidik."Aku juga nggak tahu," jawab Ivana yang berdiri dari duduknya, lalu melangkah untuk membukakan pintu."Hai ... aku Bella, kamu pasti tahu siapa aku kan?!"Perempuan berbaju kurang bahan yang berdiri di depan pintu itu memperkenalkan dirinya sembari melangkah masuk dan langsung duduk tanpa ijin, dengan mata yang menatap tajam dan terlihat sangat merendahkan.Mata Ivana membulat sesaat, ketika mendengar nama tamu yang datang ke rumahnya sore itu, dan kembali bersikap datar walau masih terlihat sisa ke terkejutnya tadi."Ternyata ... kamu orangnya yang bersedia menggantikan aku sebagai istri Faris," ujar tamu perempuan itu lagi.Ivana tak menjawab, dia hanya memberikan senyuman tipisnya, memilih duduk di sofa tepat di hadapan Bella, hanya dipisahkan oleh sebuah meja saja.Untung saja Naya tadi sempat pindah ke dalam rumah, jadi lebih leluasa Ivana menghadapi calon istri dari suaminya itu."Tapi aku yakin, kamu tidak rugi kan menikah pura pura dengan Faris? Karena aku bisa lihat dari penampilanmu kalau hidup kamu terjamin."Dengan senyum sinis, di tambah tatapan tak mengenakkan, Bella memandangi Ivana dari ujung rambut hingga ujung kaki."Kamu harusnya berterima kasih padaku, berkat akulah kamu bisa merasakan tinggal di rumah semewah ini, di layani banyak pelayan. Kamu juga bisa pergi ke mana mana tanpa kepanasan, hanya dengan memberikan perintah!"Bella berkata sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah yang saat ini di tempati oleh Faris dan Ivana."Sudah hampir lima bulan kamu berstatus sebagai istri dari Faris, jadi aku pikir ... cukuplah sudah kamu bersenang senang, kini waktuku untuk meminta hak yang sudah kamu gantikan! Kamu tahu kenapa?"Bella bertanya dengan kepala yang tiba tiba bergerak tegak lurus menghadap ke arah Ivana.Ivana menggelengkan kepala, walau semua kalimat yang dia dengar dari Bella semuanya pedas, Namun perempuan cantik itu terus memberikan senyum dengan wajah datar."Menurut Mbak, kenapa?" tanya Ivana dengan sangat tenang."Karena cinta Faris itu hanya untukku, kamu pasti tahu itu kan?!"Mendengar jawaban Bella, Ivana masih terus tersenyum datar, tak menjawab."Kamu juga pasti sudah tahu, kalau semua yang ada di dalam rumah ini, itu sesuai dengan seleraku."Bella berkata dengan raut wajah yang menunjukkan keangkuhan."Mbak mau minum apa? Biar saya—""Kenapa? Kenapa membelokkan pembicaraan? Kamu kesal ya, karena aku datang untuk menjadikanmu janda?!"Dengan sedikit meninggikan suara, Bella memotong ucapan Ivana. Sepertinya dia tak rela jika Ivana pergi dari hadapannya."Tidak, kenapa harus kesal?!" tanya Ivana, tetap dengan sikap yang sangat tenang."Bagus deh kalau begitu," seru Bella, yang tiba tiba berdiri dari duduknya."Aku beri kamu waktu dua hari untuk mengepak semua barangmu, lalu pergilah jauh, jangan lagi kau tunjukkan wajah tak berdosamu itu di depanku dan Faris, kamu paham kan?!" ujar Bella yang kemudian membalikkan badan dengan sombongnya."Kenapa tidak boleh? Punya hak apa kamu hingga berani beraninya mengusir Ivana dari rumah ini?"Tubuh Bella terlihat menegang saat mendengar ada suara yang membantah dari belakang punggungnya."Memangnya kamu siapa?!"Mata Bella membulat sempurna saat dirinya berbalik dan melihat sosok yang tadi berani membantahnya."Apa kabar Adik Ipar tersayang, aku harap ... mulai hari ini kamu belajar untuk mulai membiasakan diri menghormati aku yang nantinya akan menjadi istri dari kakakmu."Bella tersenyum sinis saat melihat sosok orang yang tadi berani membantah apa yang dia katakan. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, di tabrak pesawat kan nggak lucu?!" Naya menjawab sinis, setelah sebelumnya terlihat mencibir.Dari awal Bella berhubungan kasih dengan Faris, Naya adalah salah satu orang yang berani menampakkan sikap tidak sukanya pada Bella secara terang terangan, selain mamanya Faris. "Sepertinya kamu salah orang, adik kecil, yang bermimpi itu dia! Bukan aku!" jawab Bella dengan tangan kiri menunjuk ke arah Ivana yang masih terlihat sangat tenang."Jangan sok akrab! Aku bukan adikmu!" balas Naya saat mendengar perempuan berbaju kurang bahan itu memanggilnya adik kecil."Faktanya sekarang adalah Ivana memang istri dari kakakku?! Jadi buat apa dia bermimpi, sedangkan kamu, siapa kamu?!" lanjut Naya dengan
"Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah. Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya. Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang. "Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya. Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi is
"Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua
Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka