"Aku sangat mencintaimu, Sam." Seorang wanita menatap pria yang terbaring di ranjang dengan tatapan penuh cinta. Jari telunjuknya menyentuh wajah pria itu. Detik selanjutnya tatapan itu berubah menjadi tajam dan dingin. "Tapi, sayangnya banyak orang yang ingin memisahkan kita. Mereka tidak ingin membiarkan kita hidup dengan bahagia." Wajah wanita itu terlihat penuh kebencian.
"Namun, itu semua tidak akan pernah terjadi, Sam. Orangtuamu tidak akan bisa memisahkan kita begitu juga dengan tunanganmu. Aku tahu kau selalu ingin bersamaku, aku tahu kau sangat mencintaiku. Aku akan membawa kau ke tempat yang jauh, di mana hanya akan ada kita berdua saja. Jika kita tidak bisa hidup bersama, maka kita akan mati bersama. Tidak akan ada yang bisa memilikimu selain aku." Senyuman mengerikan tampak di wajah wanita itu. Lalu kemudian ia mengambil senjata api yang ia letakan di bawah bantal. Ia menembakan senjata itu ke kepalanya, lalu kemudian tubuhnya tergeletak di sebelah tubuh sang pria yang ia cintai yang sudah ia racuni sampai mati.
"Cut!" Suara dari pengeras itu terdengar di dalam kamar bernuansa putih.
"Kau melakukannya dengan baik, Leandra." Pria yang tadi tergeletak di ranjang tersenyum sembari memuji lawan mainnya, Leandra Katharina.
Leandra memasang wajah acuh tak acuh. "Aku hanya mengingmbangimu, Jeremy." Wanita itu turun dari ranjang.
Ia meninggalkan lawan mainnya dan melangkah menuju ke sutradara yang tampak sangat puas dengan aktingnya.
"Aktingmu benar-benar luar biasa, Leandra." Kevin, sang sutradara memuji Leandra.
"Aku sudah sangat bosan mendengar pujian-pujian itu, Kevin." Leandra duduk di sebelah Kevin. "Jadi, katakan bagian mana yang tidak sempurna? Aku akan mengulanginya lagi sampai menjadi sempurna."
Leandra benci ketidak sempurnaan. Ia tidak ingin pekerjaannya mendapatkan kritikan dari penonton film nya.
"Semuanya sempurna, Leandra. Kau mengakhiri dengan sangat baik. Aku bisa merasakan bagaimana psikopatnya dirimu. Lihat, aku bahkan masih merinding melihat senyum sadis di wajahmu tadi." Kevin menunjukan tangannya. Ia tidak berbohong pada Leandra.
Akting Leandra memang luar biasa, ini bukan pertama kalinya ia bekerja sama dengan Leandra untuk sebuah film layar lebar. Setiap kali Leandra ikut serta dalam layar lebar, maka film tersebut akan meraih keuntungan yang fantastis.
"Kau juga telah menggambarkan bagaimana cinta dalam pandangan yang berbeda," tambah Kevin.
Tidak sulit bagi Leandra menggambarkan jenis cinta yang dimiliki oleh pemain utama wanita di dalam cerita. Bentuk cinta yang egois, kejam, yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan rasa sakit orang lain.
Karena Leandra sudah menemukan jenis cinta yang seperti itu sebelumnya. Bukan orang lain, melainkan cinta dari sang ayah untuk ibunya.
Leandra merupakan yatim piatu, ibunya meninggal karena sebuah penyakit, dan ayahnya mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi rasa sakit karena kehilangan. Pria yang seharusnya mengajarkannya arti tanggung jawab itu memilih untuk pergi selama-lamanya dan meninggalkan dirinya yang saat itu masih berusia dua belas tahun.
Meninggalkan putri yang masih kecil untuk mengikuti istri yang sangat ia cintai memang terlihat penuh kasih sayang.
Leandra tidak menyalahkan ayahnya atas pilihan pria itu, tapi tindakan yang ayahnya lakukan membuat ia tidak bisa memandang cinta dengan indah. Ia menjadi korban dalam kisah cinta sehidup semati orangtuanya.
Apa yang ayahnya lakukan telah memberikan contoh pada Leandra bahwa cinta itu kejam dan egois. Dan karena itu juga Leandra tidak ingin mencintai orang lain. Baginya mencintai diri sendiri adalah bentuk cinta yang paling tulus.
"Jika tidak ada yang harus aku ulang, aku akan pergi sekarang." Leandra memiringkan wajahnya menatap sutradara yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun.
"Kau bisa pergi, Lean."
Leandra kemudian berdiri, karena ia memiliki waktu luang hari ini ia ingin pergi untuk mengunjungi temannya yang sudah cukup lama tidak bertemu dengannya.
Manajer Leandra mendekat ke arah Leandra. Wanita itu tampak sedikit gugup.
"Ada apa?" tanya Leandra. Ia cukup mengenali wanita di depannya, jika sudah seperti ini pasti ada sebuah masalah.
"Ada telepon dari Jasmine."
"Jasmine?" Leandra segera meraih ponsel dari managernya. Jasmine merupakan teman dari teman yang ingin ia kunjungi.
"Ada apa Jasmin?" tanya Leandra.
"Leandra, sesuatu terjadi pada Xaviera." Suara Jasmine terdengar gugup.
"Kenapa dengan Xaviera?"
"Xaviera sudah tiada."
"Apa?" Leandra seperti salah mendengar. Meski begitu dadanya kini sudah tidak enak. Wajahnya yang selalu tampak dingin kini semakin dingin.
"Xaviera melompat dari balkon apartemennya. Nyawanya tidak tertolong ketika sampai di rumah sakit."
Kaki Leandra kehilangan kekuatannya. Jika saja tidak ada manajernya di sebelahnya maka sudah pasti Leandra akan berakhir di lantai.
"Lean, tenanglah." Manajer Leandra tahu arti Xaviera untuk Leandra, itulah kenapa ia tidak berani menyampaikan kabar kematian Xaviera pada Leandra.
Tidak ingin terlihat lemah, Leandra segera mengumpulkan kekuatannya kembali. Ia menggenggam ponselnya erat. "Di mana rumah sakitnya?" tanya Leandra.
"Royal Hospital."
Leandra memutuskan panggilan itu, kemudian ia segera melangkah. Namun, meski mencoba untuk tetap kuat, Leandra tetaplah manusia biasa. Sesekali ia kehilangan keseimbangannya dan hampir jatuh.
Manajer yang mengikuti langkah Leandra selalu meraih tubuh Leandra, tapi Leandra selalu melepaskan dirinya dan bersikap seolah ia kuat menghadapi semua ini.
Beberapa orang yang berpapasan dengan Leandra menatap wanita itu bingung. Selama ini Leandra memang cenderung tertutup, wanita itu tidak banyak bicara dengan para kru atau pemain di lokasi syuting, tapi Leandra masih akan menanggapi sapaan dari orang-orang di sekitarnya dengan sopan. Bukan mengabaikan mereka seperti sekarang.
Ini bukan yang pertama kalinya bagi Leandra, tapi rasa sakitnya tetap sama.
Ia benci ketika orang-orang yang ia sayangi meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bahkan mereka tidak mengatakan selamat tinggal terlebih dahulu padanya.
Tindakan yang mereka lakukan hanya meninggalkan rasa sakit yang sulit untuk ia hapuskan. Mereka membuat dirinya merasa buruk, seperti orang-orang itu tidak menyayanginya sama sekali.
"Biar aku yang menyetir, Leandra." Manajer Leandra meraih kunci mobil Leandra.
Leandra tidak bersikap keras kali ini, ia membiarkan manajernya menyetir untuknya.
Selama di perjalanan, kedua tangan Leandra mengepal kuat. Dadanya terasa begitu sesak. Apa yang membuat Xaviera mengakhiri hidup sampai seperti ini? Ia tahu dengan benar Xaviera bukan tipe wanita yang mudah menyerah terhadap masalah.
Ia juga tahu bahwa Xaviera berkemauan keras dan merupakan pribadi yang tangguh.
Semakin Leandra pikirkan, ia semakin merasa sakit, seperti jantungnya dibelah dengan pisau.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh manajer Leandra sampai di parkiran Royal Hospital. Leandra melangkah seperti manusia tanpa jiwa menuju ke kamar mayat, tempat di mana Xaviera berada.
Ketika Leandra membuka pintu kamar mayat, kakinya kembali melemas melihat tubuh Xaviera yang terbujur kaku di atas brankar.
Leandra tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan melihat Xaviera dalam kondisi tidak bernyawa seperti ini. Leandra telah mengenal Xaviera sejak ia masih bayi. Xaviera merupakan putri dari supir pribadi ayahnya yang saat ini juga sudah tiada karena penyakit yang dideritanya.
Bagi Leandra, Xaviera bukan sekedar sahabat, tapi sudah ia anggap sebagai saudarinya sendiri. Mereka sudah melewati banyak hal bersama.
"Lean." Manajer Leandra bersuara pelan. Wanita itu sangat mengkhawatirkan kondisi Leandra.
Leandra kembali menguatkan dirinya, ia melangkah mendekat ke brankar. Leandra tidak pernah menangis sejak kepergian orangtuanya selain untuk keperluan aktingnya, tapi kali ini ia kembali menangis. Meluapkan rasa sakit akan kehilangan yang memukul jiwanya tanpa ampun.
Namun, Leandra tidak membiarkan air matanya mengalir lebih banyak. Ia segera menghapus air matanya yang jatuh kemudian diam sembari memandangi wajah pucat Xaviera. Leandra hanya menampilkan emosi seperlunya saja, menjaga dirinya agar tidak terlihat lemah di mana pun ia berada.
Kejadian di masa lalu telah membuat ia seperti ini, dahulu ia juga berhenti menangisi kematian ayah dan ibunya dalam waktu yang singkat, tapi bersama dengan itu ia juga kehilangan tawa cerianya.
Kuku-kuku indahnya menancap di telapak tangannya. Kepalannya semakin menguat saat ia mencoba untuk menahan kesedihannya.
Mungkin jika orang yang mengenal persahabatan Leandra dan Xaviera melihat Leandra sekarang, mereka akan berpikir bahwa Leandra tidak benar-benar menganggap Xaviera sebagai sahabatnya. Kesedihan Leandra tidak begitu terlihat.
Pemakaman Xaviera telah dilaksanakan. Leandra menghadiri pemakaman itu dengan mengenakan dress berwarna hitam. Tak ada yang kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya mengikuti proses pemakaman yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja itu dengan tenang, tanpa air mata, tanpa isakan.
"Leandra, Xaviera meninggalkan ini." Jasmine memberikan sebuah kotak pada Leandra.
Leandra meraih kotak itu, tapi ia tidak langsung membukanya. Saat pemakaman berakhir, Leandra menjadi orang terakhir yang meninggalkan makam Xaviera.
Leandra telah melakukan pemakaman sesuai dengan keinginan Xaviera, dahulu Xaviera pernah membicarakan bahwa jika ia meninggal ia ingin dimakamkan di kampung halaman sang ayah. Di mana di sana juga tempat ayah dan ibunya di makamkan.
Setelah perjalanan yang panjang, Leandra sampai di penthousenya. Ia sendirian sekarang dengan rasa sedih yang memeluk dirinya.
Leandra merasa kini ia benar-benar sendiri. Semua orang yang ia cintai telah pergi meninggalkannya.
Mata Leandra kini tertuju pada kotak hitam peninggalan Xaviera, entah apa yang ada di dalam sana.
tbc
Selembar surat berada di tangan Leandra. Itu adalah apa yang Xaviera tinggalkan di dalam kotak hitam bersama dengan beberapa barang yang pernah ia berikan pada Xaviera sebagai hadiah ulang tahun sahabatnya itu.Leandra menyiapkan hatinya, ia membuka lipatan kertas putih itu lalu kemudian mulai membacanya dari bagian teratas. Leandra jelas mengenali tulisan tangan Xaviera, sahabatnya itu sering mengerjakan tugas untuknya, jadi sebagian banyak buku tugasnya diisi oleh tulisan Xaviera.Aku tidak pernah berharap kau sampai membuka surat ini, Lea. Karena itu artinya aku telah sangat mengecewakanmu.Lea, maafkan aku. Pada akhirnya aku menjadi salah satu orang yang menyakitimu. Sungguh, Lea, aku tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Namun, aku tidak bisa mengatasi rasa sakit
"Apakah kau mengenal Adelard Maxwell?" tanya Leandra pada Kevin yang saat ini berada di kediamannya."Apakah yang kau maksud putra bungsu keluarga Maxwell?" Kevin balik bertanya."Benar.""Kenapa kau menanyakan tentang pria itu? Apa kau tertarik padanya?" tanya Kevin hati-hati. Pria ini telah mengenal Leandra untuk waktu yang cukup lama, dan ia belum pernah melihat Leandra tertarik pada pria mana pun.Ada banyak gosip yang menyebar tentang Leandra yang berkencan dengan berbagai pria, tapi semua itu tidak benar.Kevin bahkan tahu bagaimana dinginnya Leandra terhadap lawan jenisnya. Leandra seperti tidak ingin terlibat hubungan apapun dengan pria. Ada banyak pria yang mencoba mendekati
"Leandra, kau perlu istriahat." Alice menatap Leandra khawatir. Sudah tiga hari berlalu dan Leandra bekerja tanpa henti. Wanita itu mempercepat segalanya.Alice pikir Leandra mungkin sedang ingin mengalihkan kesedihannya karena kepergian Xaviera dengan menyibukan diri dalam pekerjaan. Beberapa pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari ke depan, dikerjakan oleh Leandra lebih cepat.Jadwal pemotretan, jadwal syuting, Leandra meminta Alice untuk mengaturnya ulang. Leandra berpindah-pindah tempat entah berapa kali dalam sehari. Wanita itu tampak seperti orang yang gila bekerja."Aku akan mengambil libur selama satu minggu ke depan, jadi aku harus menyelesaikan semua pekerjaan dalam minggu-minggu ini," seru Leandra."Kau ing
Pantai, senja dan langit jingga, hal ini bukan sesuatu yang baru bagi Adelard. Entah sudah berapa banyak ia melukis pemandangan indah itu, tapi ia tidak pernah mendapatkan kepuasan. Ia merasa ada yang kurang dari keindahan tiga hal itu.Dan kali ini Adelard tahu apa yang kurang. Ia tidak pernah menemukan model yang tepat untuk mengisi pemandangan itu. Tidak seperti sekarang, Adelard melihat seorang wanita mengenakan dress berwarna putih tanpa lengan yang tengah melihat ke arah matahari tenggelam.Wanita itu tampak begitu menikmati apa yang disuguhkan di depannya. Seolah saat ini tidak ada hal lain yang lebih menarik dari sang surya yang akan kembali ke tempatnya.Adelard tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Ia segera meletakan peralatan melukisnya dan mulai mengabadikan pemandangan s
Po sisa empat hari lagi ya, Gaes. Yang mau ikutan PO bisa wa aku di 085788190001. Kuy, cetakan terbatas.**********"Kau baik-baik saja, Adelard?" Rekan Adelard yang menyusul Adelard bertanya pada Adelard. Pria itu tampak memperhatikan wajah Adelard lalu berpindah ke kaos yang Adelard kenakan."Aku baik-baik saja," balas Adelard. Ia melihat ke kaosnya. "Aku akan mengganti pakaianku.""Baiklah. Aku akan menunggumu di lobi," balas Kane, rekan Adelard. Mereka masih memiliki acara lain setelah makan di restoran. Kane akan membawa Adelard ke sebuah club malam, pria itu telah menyiapkan hadiah sebagai sebuah balasan karena Adelard mau bergabung di pameran yang ia buat.
Hari ini close po ya, Geng. Yang masih mau Sleeping With The Enemy versi cetaknya bisa wa aku 085788190001 yes.********"Leandra Katharina." Adelard menggumamkan nama itu sembari melihat nomor ponsel Leandra yang tertera di layar ponselnya. Senyum tercetak di wajah pria tampan itu tanpa ia sadari.Ia tidak pernah merasa sebahagia ini hanya karena mendapatkan nomor ponsel seorang wanita. Adelard sedikit menertawakan betapa konyolnya ia saat ini.Adelard meletakan ponselnya di meja, tepat di sebelah majalah yang tak pernah ia lihat sebelumnya meski posisi benda
"Kau ingin memesan apa?" tanya Adelard. Ia menatap ke iris mata Leandra yang memikat."Menu utama hari ini saja.""Baiklah kalau begitu," balas Adelard.Ia kemudian memesankan makanan pada pelayan yang berdiri di sebelah Adelard. "Nona, kau mendengarkan ucapanku?" seru Adelard pada pelayan yang pikirannya entah sedang berada di mana sekarang.Wajah pelayan itu tampak terkejut. Ia segera meminta maaf. "Tolong sebutkan lagi pesanan Anda, Tuan."Adelard menyebutkan kembali pesanannnya, lalu setelah itu sang pelayan segera pergi sembari merutuki kebodohannya. Tapi, itu bukan salahnya, salahkan saja wajah pelanggan itu yang terlal
Adelard menunggu Leandra di lobi hotel. Pria itu hari ini tampak mengenakan kaos polos berwarna abu-abu tua serta jaket kulit dipadu dengan celana jeans berwarna hitam dilengkapi dengan sneakers berwarna gelap.Pria itu tampak lebih muda dari umurnya dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Sudah bukan hal aneh lagi jika ia menjadi pusat perhatian hanya dengan pakaian santainya itu.Menunggu beberapa menit, Adelard menemukan sosok Leandra yang saat ini keluar dari lift. Senyum di wajah Adelard mengembang. Saat ini Leandra mengenakan dress pas badan berwarna hitam dipadu dengan coat berwarna senada berbenturan dengan kulitnya yang seputih salju.Rambut cokelat gelap Leandra dibiarkan tergerai dengan indah. Wajahnya disapu dengan