"Ni... Uni... bangun. Kita sudah sampai di Jakarta." Sayup-sayup Seruni mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Seruni memaksa membuka matanya yang masih terasa lengket karena mengantuk. Mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan pandangan karena silau akan cahaya lampu mobil. Saat pandangannya sudah fokus, barulah Seruni memperhatikan dengan seksama di mana sekarang ia berada. Mobil yang ia dan Mayang tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks perumahan kecil. Rumah-rumah mungil bermodel dan bercat sama berjejer rapi. Ada sekitar dua puluhan rumah di sana.
"Ini mess karyawan tempat Mbak bekerja, Uni. Ayo kita masuk," ajak Mayang ramah. Seruni mengangguk. Karena tidak membawa apa-apa, ia hanya lenggang kangkung saat keluar dari mobil. Sementara supir mengeluarkan satu tas travelling yang cukup besar milik Mayang.
"Atasan Mbak Mayang pasti baik sekali ya, Mbak?" guman Seruni sambil berjalan. Tak henti-hentinya ia mengagumi mess karyawati yang asri ini.
"Kenapa kamu bilang begitu, Uni?" Mayang melirik Seruni yang terus memandangi mess dengan pandangan kagum.
"Bukannya Uni bermaksud menghina ya, Mbak? Tapi untuk ukuran mess bagi para pelayan, mess ini rasanya terlalu mewah. Lah mess untuk para pimpinan di pabrik PT Tebu Manis Plantations saja tidak semewah ini?" pungkas Seruni lagi.
Mayang tersenyum masygul. Seorang pendatang dari kampung seperti Seruni ini saja bisa merasakan kejanggalan dalam fasilitas kerjanya. Tapi mau bagaimana lagi. Hidup di ibukota memang sekeras-kerasnya kehidupan. Tidak nekad artinya tidak makan.
Melihat Mayang hanya tersenyum tipis dan tidak menjawab pertanyaannya, Seruni pun tidak membahasnya lagi. Sepertinya ia sudah terlalu lancang menyuarakan pendapatnya padahal tidak diminta. Kini ia mengekori langkah Mayang tanpa banyak bertanya lagi. Langkah Mayang berhenti di depan pintu satu rumah mungil bertuliskan angka 4B. Saat pintu dibuka, lima kepala sontak berpaling ke arahnya dan Mayang. Sepertinya mereka semua adalah rekan-rekan kerja Mayang. Karena mereka semua menggunakan pakaian seragam. Hanya saja Seruni sedikit heran melihat seragam pelayan yang mereka kenakan. Setaunya pelayan itu berseragam putih dengan rompi dan rok span. Rambut juga digelung rapi, agar tidak ada helaian rambut yang jatuh saat menyajikan makanan.
Namun rekan-rekan Mbak Mayang ini malah mengenakan tank top putih super ketat dengan tulisan Astronomix Girls di bagian dada. Bawahannya adalah celana super pendek berwarna orange, serta apron pinggang hitam mungil yang menutup bawah perut mereka. Seruni terkesima. Apa memang seperti ini seragam pelayan-pelayan di Jakarta? Ia sudah pasti tidak berani mengenakannya.
"Masuk, Uni. Ini mess Mbak bersama dengan rekan-rekan kerja Mbak yang lain," ujar Mayang. Seruni tersenyum sopan seraya menghampiri rekan-rekan Mbak Mayang yang sepertinya sedang bersiap-siap bekerja. Tas-tas mungil sudah menggantung di bahu mereka masing-masing.
"Selamat malam, Mbak-Mbak semua. Nama saya Seruni. Panggil saja saya Uni. Saya teman sekampung Mbak Mayang." Seruni memperkenalkan diri dengan sopan. Ia kemudian duduk di sisi kiri sofa dan Mbak Mayang menyusul duduk di sampingnya.
"Teman sekampungnya Mayang toh? Pantes. Kenalin gue Vina. Itu Nella, Fika, Riri dan Eva." Vina memperkenalkan diri seraya menunjuk ke empat temannya sekaligus.
"By the way, lo nggak usah manggil kami-kami ini dengan sebutan Mbak keleus. Umur kita kayaknya juga sebaya," imbuh Vina.
"Apalagi gue," sela Fika. "Gue baru delapan belas tahun, Uni. Baru tamat SMU. Gue juga baru sebulan jadi waitrees di Astronomix," lanjut Fika lagi.
"Maaf, saya hanya berusaha bertutur sopan," sahut Seruni. Saat mendengar bahasa lo gue, Seruni seperti merasa ada di belahan dunia lain. Karena di kampungnya tidak ada yang berbicara seperti itu. Ia telah benar-benar jauh dari kampung rupanya. Ia ternyata seudik itu.
"Kalau saya boleh tau, rumah makan mana yang baru buka malam-malam begini ya?" tanya Seruni penasaran. Bukan apa-apa. Dia ini mata ayam. Artinya di atas jam sembilan malam, matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Kalau ia ikut bekerja sebagai pelayan bersama mereka, takutnya matanya tidak mau bekerjasama alias mengantuk. Mendengar pertanyaannya rekan-rekan Mayang yang lain saling berpandangan.
"Si Mayang nggak ngasih tau lo, apa kerjaan dia dan kami semua di sini?" Kali ini Nella yang bersuara. Nella juga melirik Mayang saat mengajukan pertanyaannya. Hanya saja Mayang tidak bergeming. Ia tetap diam seribu bahasa.
"Sudah, Mbak, eh Nella. Kata Mbak Mayang, ia bekerja sebagai pelayan. Iya kan, Mbak?" Seruni menolehkan kepala pada Mayang. Lagi-lagi Mayang hanya diam. Ia seolah-olah tidak mendengar pertanyaannya.
"Iya, kami semua memang pelayan. Tapi bukan pelayan rumah makan biasa, Uni. Kami semua ini pelayan club malam. Sebutan sopannya sih waitrees. Tugas kami bukan hanya mengenyangkan perut pelanggan saja. Tapi juga mengenyangkan bagian bawah perut pelanggan."
Astaghfirullahaladzim!
"Apa si Mayang--"
"Cukup, Nell! Sisanya biar gue aja yang ngejelasin," sergah Mayang. "Sebaiknya lo-lo semua cepetan ke club kalau nggak mau terlambat. Sebentar lagi kan udah pergantian shift." Sergahan Mayang hanya mendapat kedikan bahu dari Nella. Rekan yang lainnya hanya melirik acuh. Sepertinya mereka sudah terbiasa melihat keributan kecil seperti ini. Sepuluh menit kemudian ruang tamu telah sepi. Ke lima rekan-rekan kerja Mayang telah pergi.
"Baiklah, Uni. Sekarang saatnya Mbak akan menjelaskan tentang pekerjaan Mbak yang sesungguhnya." Mayang menyerongkan tubuhnya. Duduk menghadap sedekat mungkin dengan Seruni.
"Uni, seperti yang dikatakan Nella tadi, Mbak ini bekerja sebagai seorang waitress club malam. Selain itu Mbak juga seorang call girls alias wanita panggilan,"
Hening. Seruni kehilangan kata-kata. Ia terlalu terkejut untuk sekedar bertanya mengapa.
"Mbak dan teman-teman Mbak tadi bisa dipakai oleh para pengunjung club atau siapa pun juga, asal harganya cocok."
"Uni malah sulit percaya, Mbak. Karena penampilan Mbak tidak sedikit pun menunjukkan kalau Mbak adalah seorang maaf, pramuria." Seruni akhirnya bisa bersuara juga. Mayang tersenyum miris. Seruni ini masih polos dalam arti yang sebenarnya. Ia belum tau tentang kenyataan kerasnya hidup di luar sana.
"Inilah mengapa tadi Mbak sempat ragu membawa kamu ke sini. Kamu itu terlalu naif, Uni. Ketahuilah, tidak ada standard baku dalam mendefinisikan pakaian seorang pramuria. Pramuria itu berpakaian dalam rangka menarik pembeli. Jadi pakaiannya ya ditentukan oleh selera pembeli. Jangankan pakaian, cara kami bersikap pun sebenarnya ditentukan oleh pelanggan kami. Kami ini penjual jasa. Jasa kami adalah memuaskan pelanggan. Jadi, pakaian kami juga disesuaikan dengan selera pelanggan." Keterangan Mayang membuat Seruni termangu. Begitu banyak hal yang tidak ia tau.
"Besok malam Mbak akan dibooking oleh seorang pengusaha papan atas negeri ini. Nanti kamu lihat sendiri kalau Mbak akan menjelma menjadi seorang executive muda yang canggih. Dan besoknya lagi Mbak juga sudah dibooking untuk mengentertaint tamu-tamu club dari luar negeri. Jadi lusa kamu jangan kaget ya kalau Mbak akan berdandan menor dan hanya memakai pakaian dalam saja?" lanjut Mayang lagi. Seruni memandang Mayang dengan tatapan nanar. Kalau tidak mendengar dari mulut Mayang sendiri, ia pasti tidak akan percaya kalau kehidupan Mayang ternyata sebobrok ini.
"Mengapa Mbak tidak mau mencari pekerjaan yang halal? Mbak 'kan tau kalau menjual diri itu dosa besar?" Mayang tertawa tanpa merasa lucu.
"Uni... Uni... Di kota besar ini mencari pekerjaan haram saja susah, apalagi pekerjaan halal. Mbak pernah kok jadi kasir supermaket, pramuniaga di mall sampai jadi babu cuci gosok. Pokoknya uangnya halallah. Tapi uang segitu nggak cukup buat Mbak makan apalagi untuk dikirim ke kampung. Makanya Mbak memilih jalan pintas ini."
"Tapi kan--"
"Sudah Uni, Mbak capek. Kamu juga capek 'kan? Sebaiknya kita membersihkan diri dan beristirahat yang cukup malam ini. Karena besok pagi kamu sudah akan bekerja di restaurant Mexico kepunyaan pelanggan, Mbak. Jangan khawatir, kamu akan menjadi waitress sungguhan di sana. Mbak tidak mungkin menyeret kamu ke kehidupan Mbak yang penuh dosa. Kamu akan bekerja yang halal sesuai keinginmu. Ayo sekarang kita masuk ke kamar dulu. Mandi dan kemudian beristirahat." Dalam diam Seruni mengekori langkah Mayang menuju ke lantai dua. Ia tidak tau keputusannya mengikuti Mayang sampai ke ibukota ini salah atau benar. Yang ia tau hanyalah, ia harus bekerja keras agar bisa bertahan hidup di kota besar ini. Tapi dengan cara yang halal pastinya. Insya Allah.
***
Sudah tiga hari Seruni bekerja sebagai waitress di Basque Bar The Tapa*. Sebuah restaurant Spanyol milik pelanggan Mbak Mayang. Dan selama tiga hari ini juga ia bekerja keras. Menghapal menu-menu seraya melemaskan lidah agar bisa menyebutkan nama-nama menu dengan benar. Lidahnya nyaris terpelintir-pelintir saat harus menyebutkan kata pulpo basque style, spiced steak with cherry tomato salsa,
black rice paella hingga spanish tortilla dan lain-lain."Meja 14, chicken quesadilla,
Squid ink risotto dan caramel tea, done!" Suara deringan bell dan teriakan chef membuat Seruni menggegaskan langkah. Tamu-tamu di sore ini memang membeludak. Maklum saja, hari sabtu memang waktunya hang out dengan pasangan atau hanya sekedar makan-makan dengan teman-teman.Demi menghemat waktu, Seruni mengangkat dua menu makanan dan satu minuman sekaligus dalam satu baki. Saat ia hampir sampai ke meja 14, seseorang menyenggol bakinya. Benturan pun tidak dapat dihindari. Seruni terjatuh bersama dengan baki yang diusungnya. Nyaringnya suara pinggan-pinggan yang pecah membuat kepala tamu-tamu menoleh kearahnya.
"Mata kamu ke mana, hah? Lain kali kalau jalan, mata kamu itu di pakai. Bukan cuma dijadikan hiasan. Mengerti?!" Seruni kaget saat menyadari kalau orang yang menabraknya ketumpahan makanan. Jas abu-abu mahal sang penabrak telah belepotan dengan bumbu chicken quesadilla dan
Squid ink risotto. Seruni pada dasarnya bukanlah orang yang suka ribut-ribut. Hanya saja si penabrak ini keterlaluan. Sudah ia yang menabrak, alih-alih meminta maaf, ini malah memaki-makinya."Setahu saya, kalau berjalan itu menggunakan kaki. Bukan mata. Mata itu gunanya untuk melihat. Dan saya sudah memaksimalkan mata saya yang sempurna ini untuk melihat, walaupun kaki saya tidak," sahut Seruni sambil menahan sakit. Posisi jatuhnya bersimpuh dengan kaki kanan tertekuk. Syaraf kaki kanannya yang pendek sebelah, seperti tertarik hingga ke pinggul. Nyerinya luar biasa. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan.
Jadi yang harusnya memasang mata dengan benar itu, Anda!
Tapi mana mungkin ia berani menyuarakan isi batinnya. Setiap briefing pagi, managernya selalu menekankan kata tamu adalah raja. Titik. Seruni mengusap air mata dengan cepat. Sesegera itu pula ia mengumpulkan pinggan-pinggan yang pecah ke dalam baki. Saat hendak berdiri, kaki kanannya menolak bekerjasama. Seruni tidak bisa meluruskan kakinya.
Jangan memperlihatkan kelemahanmu, Uni. Ingat, jangan menjadikan ketidaksempurnaanmu sebagai sumber belas kasihan. Di mana harga dirimu, Uni?
Dengan sisa-sisa kekuatan terakhir, Seruni menyeret kaki kanannya. Berusaha berdiri sendiri tanpa meminta pertolongan. Hanya saja berdirinya tidak sempurna. Selain timpang, tubuhnya juga sedikit bergoyang-goyang karena tidak seimbang. Pandangan si penabrak semakin meremehkan saat melihat keadaannya yang sesungguhnya.
"Kamu masih saja mengelak setelah mengotori pakaian saya. Orang cacat seperti kamu ini sebaiknya di rumah saja. Bekerja hanya akan membuat orang lain celaka!" bentak si penabrak lagi.
"Kaki saya mungkin tidak sesempurna, Tuan. Tapi insya Allah masih bisa saya gunakan untuk mencari nafkah yang halal. Kalau hanya di rumah, bagaimana saya bi--bisa makan, Tuan?" tukas Seruni tergagap. Mata beningnya mulai berkaca-kaca saat sang penabrak menyinggung kecacatannya. Ia memang sensitif saat ketidaksempurnaannya dijadikan bahan ejekan.
Antonio Brata Kesuma, pewaris tunggal Brata Kesuma Group, seperti tersihir saat butiran bening mengalir di pipi pucat sang waitress cacat. Entah mengapa ada rasa tidak nyaman kala ia melihat sang waitress cacat namun sombong ini sampai menangis. Sebenarnya ia tidak berniat menghina waitrees cacat ini. Hanya saja kesombongannya membuatnya naik darah. Apa salahnya si waitrees cacat ini mengucap maaf bukan? Ini boro-boro mengucap maaf, ia malah dengan berani membalikkan semua kalimatnya. Pakai acara menyindir lagi. Bagaimana ia tidak naik darah bukan? Selama ini tidak pernah ada orang kebanyakan yang berani membantah kata-katanya. Ini si waitrees sombong bahkan berani menyerangnya di muka umum. Makanya ia sengaja mengeluarkan kalimat tidak manusiawi untuk membalas kekurangajarannya.
"Ada apa ini?" Antonio melihat Pak Sofyan, manager restaurant menghampiri. Ia mengenal Pak Sofyan dan hampir sebagian besar pegawai di resraurant ini. Miguel Santos, pemilik resraurant ini adalah teman baiknya.
"Seruni, kamu masih dalam masa trainning dan baru tiga hari bekerja. Tapi kamu sudah membuat kekacauan di sini. Kamu tau siapa Pak Antonio ini? Beliau adalah teman baik Senor Miguel." Pak Sofyan menggelengkan kepala setelah Seruni menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Apa boleh buat, karena kamu telah membuat Pak Antonio kecewa, sebaiknya kamu segera angkat kaki dari sini. Kamu saya pecat!" Seruni terpaku. Ia membutuhkan pekerjaan ini. Ia tidak bisa menumpang terlalu lama di mess Mayang. Ia takut kalau boss Mayang tahu bahwa ada orang luar yang menumpang tinggal di mess staffnya. Makanya ia harus bekerja keras agar bisa mencari tempat kost. Kalau ia dipecat, bagaimana semua rencananya akan terwujud bukan? Seruni kebingungan. Satu-satunya cara adalah ia harus meminta maaf pada orang yang dipanggil Antonio ini.
"Tuan, jikalau menurut Tuan saya salah, maafkan saya. Saya bersedia untuk mencuci sampai bersih pakaian Tuan, karena kalau menggantinya dengan yang baru, saya tidak mampu. Tolong maafkan saya, Tuan," pinta Seruni dengan air mata yang menitik perlahan. Tangis tanpa suara Seruni membuat Antonio membuka jas dan melemparkannya tepat pada wajah Seruni.
"Ini. Cuci sebersih sedia kala dengan kedua tanganmu sendiri. Ingat kalau sampai rusak, kamu harus menggantinya dengan mungkin lima tahun gajimu!" Seruni buru-buru memindahkan jas Antonio yang menutupi wajahnya ke bahu. Ia takut kalau jas Antonio terkena noda lagi karena ia sedang memegang baki.
"Baik, Tuan," sahut Seruni dengan suara tertahan. Harga dirinya sudah berada di ujung tanduk sekarang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia harus memohon-mohon pada seseorang. Dadanya sesak oleh kesedihan yang tak terlampiaskan.
"Oh ya, di mana saya bisa mengambil kembali jas saya setelah kamu cuci nanti? Berikan saya alamat rumahmu. Takutnya nanti jas saya malah kamu jual lagi."
"Saya tinggal di mess Astronomix Girls di jalan--"
"Apa? Jadi kamu ayam jadi-jadiannya Astronomix?"
"Hah ayam jadi-jadian? Maksud Bapak apa?" Seruni bingung. Masa ia disamakan dengan ayam? Apa maksud ucapan dari tuan kaya raya ini?
Sembari menyetrika jas mahal Antonio, Seruni terus berpikir. Sebenarnya apa maksud kalimat ayam jadi-jadian yang kemarin dituduhkan Antonio padanya. Ia tidak mengerti sama sekali. Ternyata predikat sebagai murid teladan saat masih sekolah dulu, tidak ada apa-apanya bila dipraktekkan di ibukota ini. Mengartikan ayam jadi-jadian saja ia tidak bisa. Kalau mahkluk jadi-jadian sih ia tau. Di kampungnya, mereka menyebut jenglot, yaitu makhluk jadi-jadian. Tapi kalau ayam jadi-jadian sampai sekarang belum ada."Hah, ayam jadi-jadian? Maksud Bapak apa?" "Jangan berlagak pilon ya kamu, ayam bersepatu? Kalau kamu memang ayamnya Astronomix, ya mengaku saja. Untuk apa kamu bersikap sok innocent segala. Ini kartu nama saya. Kalau jas saya sudah bersih seperti sedia kala, hubungi saya!"Pembicaraannya dengan Antonio terus terbayang-bayang di benaknya. Setelah mengatainya ayam jadian-jadian, Antonio kembali me
Dengan tangan gemetaran Seruni mengorder ojek online. Ia ingin secepatnya meninggalkan tempat penuh dosa ini. Bayangan Mayang yang mabuk serta Nella dan Fika yang tengah beraksi, membuatnya mual. Ia memang sudah tau apa pekerjaan mereka semua. Hanya saja ketika di hadapkan pada praktek nyata di depan mata, lain lagi ceritanya."Kamu salah dua kali hari ini," suara dari balik bahunya membuat Seruni sadar kalau ia tidak sendiri. Xander masih mengikuti di belakangnya."Apa itu, Pak?""Kotak itu bukan permen, dan saya bukan karyawan club ini." Setelah mengucapkan dua kalimat singkat itu, Xander membalikkan tubuh. Meninggalkan Seruni yang berdiri termangu."Kalau dugaan saya salah, jadi kebenarannya apa?" Seruni mengejar Xander. Menghadang langkah Xander yang akan masuk kembali ke dalam club."Tanya saja pada Mayang," sahut Xander acuh seraya menggeser tubuh Seruni ke samping.
"Selamat siang, Tuan. Ini jas Tuan. Sudah saya cuci bersih seperti sedia kala."Seruni menyerahkan bungkusan jas dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sikap sopan ini memang wajib dilakukan. Setiap kali briefing, managernya tidak pernah lupa untuk mengingatkan. Air muka penuh senyum dan gestur tubuh sopan adalah halwajib yang harus diutamakan.Kata-kata Seruni hanya disambut dengusan oleh Antonio. Sejenak Seruni sempat bertatapan dengan Bian. Namun sikap Bian yang pertama kaget dan segera membuang pandangan, mengindikasikan satu hal. Bian tidak ingin dikenali. Walau memang sikap seperti ini juga yang ia harapkan, tak urung hatinya sakit juga. Hanya seperti ini sikap seorang laki-laki yang bulan lalu masih mengaku mencintainya melebihi apapun juga."Kalau tidak ada hal lainnya, saya permisi, Tuan." Seruni kembali membungkuk sopan. Bersiap-siap menghindar sejauh mungkin dari duo biang masalah di hada
Seruni membetulkan ikatan apronnya yang kendor. Ia baru saja keluar dari toilet. Ramainya pengunjung di restaurant, memaksanya menahan keinginan untuk buang air kecil. Dan kini setelah kantung air seninya kosong, barulah ia merasa lega. "Girang sekali kamu sehabis bertransaksi? Apa si Miguel tau kalau kamu suka jualan daging mentah di sini?" Si mulut mercon kembali beraksi.Seruni tidak langsung menjawab. Ia memikirkan posisinya. Setiap kalimat yang ia keluarkan pasti akan berimbas pada pekerjaannya. Makanya ia masih berusaha bersabar bagai hatinya panas menahan amarah. Bagaimanapun ia membutuhkan pekerjaan ini. Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku."Saya tidak seperti--
Dari kejauhan saja Seruni sudah sangat mengagumi rumah baru Xander. Ia seperti melihat rumah di film-film Eropa kuno ada di depan matanya. Rumah Xander sangat luas dan bergaya klasik. Seruni merasa seperti sedang masuk ke dalam mesin waktu zaman victorian era, begitu pintu ruang utama dibuka.Pada bagian ruang tamu, terdapat sofa letter L berwarna krem yang mewah. Mejanya terbuat dari kaca penuh ukiran, disertai hamparan karpet bulu berwarna senada yang terhampar di bawahnya. Pada bagian dinding, dipenuhi dengan ornamen-ornamen antik abstrak yang tersusun rapi dari bebatuan marmer. Kemegahan lain terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca berukir. Sebuah lampu hias spiral berbahan kristal, semakin melengkapi kemewahan ruangan. Satu hal yang paling menarik perhatian Seruni adalah,
Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesu
Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupamengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya."Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lainmakanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang
Seharusnya setelah mobil berguling, akan terdengar suara benturan-benturan keras yang disertai dengan serpihan kaca-kaca yang berterbangan. Tetapi kali ini tidak. Wajahnya yang menghantam keras dashboard pun tidak sakit sama sekali. Kakinya juga tidak terasa nyeri. Padahal saat itu ia melihat pintu mobil terbuka sesaat sebelum mobil terbalik dan menjepit keras kaki kanannya. Aneh bukan? Alih-alih merasa sakit luar biasa, ia malah seperti berada dalam buaian. Hangat, aman dan nyaman. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi? Padahal sudah lama sekali ia tidak pernah memimpikan kejadian ini."Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah." Seruni mengerjap-ngerjapkan mata. Ia heran mengapa seperti ad