Share

Bukan Salah Istri Kedua
Bukan Salah Istri Kedua
Penulis: Dedew Eirysta

Bab 01

Seorang wanita sedang duduk dalam ruangan serba putih. Di depannya seorang dokter sedang membaca hasil tes pemeriksaan kakaknya. Dia –Kiara- sangat gelisah dan khawatir saat mendapat kabar kalau kakaknya pingsan di halaman rumah mereka. Apalagi sang kakak memang memiliki penyakit turunan dari sang ibu yang meninggal karena kanker darah atau leukimia.

“Sel kanker dalam tubuh Fira makin menyebar. Sekarang sudah mencapai stadium tiga,” seru dokter yang selama ini menangani kakaknya.

“Ba-bagaimana bisa? Selama ini Kak Fira sudah menjalani kemoterapi dan metode pengobatan lainnya, kenapa sel kankernya masih berkembang?” balas Kiara dengan bibir bergetar menahan tangis.

“Karena sel kankernya sudah menyebar pada organ tubuh lainnya, maka dari itu sel kanker makin berkembang. Metode yang selama ini kita gunakan merupakan upaya menghambat perkembangan sel kanker. Dan tingkat keberhasilannya di bawah 50%,” jelas dokter dengan singkat dan jelas.

Tubuh Kiara melemas dengan air mata yang menetes di pipinya. “Lalu ... Apa Kakak saya masih punya kemungkinan sembuh, Dok?”

“Kemungkinan masih,” sahut dokter tersebut merasa iba pada perempuan di depannya. “Maka dari itu kita harus menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untuk Fira. Saya juga sudah berusaha menghubungi kenalan sesama dokter jika ada yang mau mencangkokkan sumsum tulang belakangnya. Namun, belum ada yang cocok sama sekali.”

Kiara juga sudah berusaha mencari pendonor, tetapi tidak ada satu pun kenalannya yang mau melakukan itu. Andai saja sumsum tulang belakang Kiara cocok, pasti kakaknya sudah dioperasi dan bisa sembuh.

“Selama kita menunggu, Fira masih harus tetap menjalani perawatan. Apalagi ... pembesaran hati dan limpa semakin parah, sehingga perlu dilakukan tindakan operasi splenektomi atau pengangkatan limpa. Operasi itu harus segera dilaksanakan,” jelas dokter laki-laki itu dengan iba.

Mendengar kata operasi, Kiara sudah memperkirakan kalau biayanya pasti mahal. Operasi itu termasuk kategori operasi besar, pasti biayanya di atas 100 juta. Sedangkan Kiara tidak punya uang sebanyak itu. Walaupun bekerja di butik besar milik temannya, uang Kiara hanya cukup untuk pengobatan kakaknya dan membayar utang yang masih ada sampai saat ini. Kalaupun harus meminjam, Kiara tidak tahu harus pinjam ke mana. Dia masih punya utang lain, tidak mungkin kalau dia harus menambah utang lagi. Apalagi kepada temannya di tempat kerja, dia malu karena mereka sudah sering membantu.

“Kira-kira, biayanya berapa, Dok?”

“300 juta!”

Deg!!

Mata Kiara membelalak tidak percaya. Uang sebanyak itu tentu butuh bertahun-tahun bagi Kiara untuk mendapatkannya. Kalau tidak segera dioperasi, keadaan kakaknya pasti akan memburuk. Kiara pun undur diri dengan pikiran yang kacau untuk mencari uang operasi kakaknya.

Begitulah hidupnya selama sang kakak didiagnosa menderita kanker sejak 2 tahun yang lalu. Kiara yang baru bekerja setahun di butik temannya mau tidak mau harus membiayai pengobatan kakaknya yang tidak murah. Sebisa mungkin Kiara tidak menganggapnya beban. Apalagi perjuangan dan jasa Fira yang sudah merawatnya selama ini.

“Kiara,” panggil seseorang saat perempuan itu. Wanita cantik dengan pakaian rapi dan modis menghampiri Kiara. “Kak Fira tidak apa-apa ‘kan?”

Kiara tersenyum sendu. “Kakak harus operasi pengangkatan limpa, Re. Biayanya 300 juta, aku bingung harus dapat uang dari mana.”

Kiara menumpahkan kesedihannya pada sang teman –Tere- yang segera memeluknya. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mendapatkan uang, tetapi dia tidak mau kehilangan kakaknya. Apalagi saat orangtua mereka meninggal, Fira yang baru lulus SMA sudah membiayai sekolahnya sampai bisa kuliah. Kakaknya selalu berusaha memenuhi kebutuhan Kiara, makanya dia tidak mau melihat kakaknya menderita hingga pergi meninggalkannya.

“Bagaimana kalau aku bantu kamu?” tawar Tere seperti biasa saat Kiara sedang kesusahan.

Namun, Kiara segera melepas pelukan mereka seraya menggelengkan kepala. “Tidak, Re. Aku tidak bisa menerima bantuanmu lagi. Kamu sudah terlalu banyak membantu, Re. Apa kata suamimu kalau aku terus-terusan merepotkanmu."

“Ra,” seru Tere seraya menarik lengan Tere untuk duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari sana. “Dulu kamu udah sering bantu aku, sekarang gantian aku yang bantuin kamu.”

“Tapi Re-- .”

“Oke kalau kamu tidak mau aku bantu secara percuma, aku mau kamu melakukan sesuatu untukku.”

Kiara melipat dahinya dengan dalam. “Melakukan apa? Jangan aneh-aneh, Re.”

“Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal aneh. Justru yang akan kamu lakukan sangat membantuku,” balas Tere dengan senyuman penuh arti. “Nanti malam kamu datang ke restoran dekat butik, oke?”

Kiara tidak segera menyahut ataupun menggerakkan kepalanya. Dia masih belum tahu apa yang diinginkan oleh Tere. Meskipun dia sangat percaya kalau wanita itu tidak mungkin meminta hal yang aneh, namun Kiara merasa ada sesuatu yang Tere sembunyikan darinya.

Mengetahui kalau Kiara membutuhkan bantuan, Tere selalu siap siaga membantu. Kiara sampai malu sendiri pada temannya yang banyak membantu, bahkan Tere yang sudah memberikannya pekerjaan. Wanita cantik yang menikah dengan CEO sukses itu selalu bersikap loyal dan baik pada Kiara. Padahal jelas kasta mereka berbeda. Namun, tidak sekalipun Tere memandang rendah dirinya.

*****

Tiba waktu yang Tere tetapkan untuk bertemu dengan Kiara lewat pesan. Saat ini dia sudah berada di depan restoran dan bertanya pada resepsionis meja yang sudah Tere pesan. Kemudian, pelayan pun mengantarkannya ke ruang privasi. Kiara makin merasa tidak nyaman karena Tere mau bicara secara privasi dengannya.

Pelayan membukakan pintu, sehingga Kiara tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Di dalam sana ternyata bukan hanya ada Tere, melainkan ada suaminya yang menatap Kiara dengan tajam. Lelaki itu selalu bersikap dingin pada Kiara, apalagi kalau tahu Kiara membutuhkan bantuan Tere. Maka dari itu, perempuan tersebut tidak mau merepotkan temannya lagi.

“Hai, Ra,” sapa Tere sembari memberikan kode agar duduk di sebelahnya. “Maaf ya aku tidak bilang kalau datang sama suamiku.”

Kiara sudah duduk, lalu tersenyum pada Tere. “Tidak apa, Re. Em, sebenarnya apa yang bisa aku lakukan buat kamu?”

“Sebelumnya aku mau mengakui sesuatu padamu, Ra,” seru Tere dengan raut berubah sendu. “Aku ... terkena penyakit parah, Ra.”

Mata Kiara melotot dengan bibir sedikit terbuka. “Pe-penyakit parah? Jangan bilang obat-obat yang sering kamu minum itu-- .”

Kiara sering melihat Tere minum obat di butik. wanita itu bilang kalau cuma vitamin, ternyata selama ini Tere sudah menyembunyikan penyakitnya dengan sangat baik.

“Iya, itu obat untuk penyakitku. Tapi ... sayangnya penyakit yang aku derita sudah tidak bisa disembuhkan, bahkan aku-- .”

“Honey,” panggil suami Tere yang bernama Andra. “Kita masih bisa usaha untuk menyembuhkan kamu.”

Tere menggelengkan kepala dengan raut sendu. “Dokter bilang kemungkinannya sedikit, Bang. Penyakitku sudah menyebar ke organ lain.”

“Kalau boleh tau, kamu sakit apa, Re? Kenapa sampai tidak bisa disembuhkan?” Kiara masih belum menyangka kalau Tere yang selama ini bersikap ceria dan baik-baik saja menderita penyakit yang tak kalah parah dari kakaknya.

Tere mendesah panjang. “Dari sejak 2 tahun yang lalu aku baru tahu kalau aku mengidap penyakit Endrometreosis, penurunan fungsi hati, dan gula darah. Penyakit itu sudah menyerang fungsi organku yang lain. Semua itu karena kenakalan waktu sekolah. Kamu tau sendiri ‘kan bagaimana nakalnya aku saat itu. Kalau bukan karena kamu yang menolongku, mungkin saat ini aku sudah benar-benar hancur atau mungkin bunuh diri.”

Dulu saat sekolah menengah atas, Tere adalah primadona yang memiliki pacar tidak kalah tenar. Namun, pacar Tere cukup nakal, karenanya wanita itu sering datang ke club dan mengkonsumsi barang haram. Suatu ketika, Tere hampir dilecehkan oleh oleh pacar dan teman-temannya. Untung ada Kiara yang saat itu teman kelas Tere tahu rencana mereka, sehingga Kiara bisa membantu menyelamatkan temannya. Sedangkan orang-orang yang mau melecehkan Tere dikeluarkan dari sekolah. Sejak saat itu Kiara dan Tere berteman dekat.

“Lalu, apa hubungannya dengan sesuatu yang kamu inginkan dariku?” tanya Kiara merasa iba dan tidak tega pada temannya. "Apa ... kamu mau aku mendonorkan organku?"

Tere menggelengkan kepala seraya mengambil tangan sang suami dan tangan Kiara yang diletakkan di pangkuannya. “Aku sudah tidak bisa memberikan anak untuk suamiku, Ra. Maka dari itu, tolong menikah dengan suamiku dan berikan anak untuknya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status