“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”
Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.
Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.
“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.
Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang.
Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.
Kenyamananku ada di depan meja kerja, berkutat dengan gambar dan rancangan bangunan. Tidak peduli dengan pinggang pegal dan mata pedas, aku bisa menghabiskan waktu dengan pekerjaanku yang menyenangkan ini.
Karenanya, Mas Ammar seperti penyeimbang kekuranganku ini. Dia bisa beramah tamah dengan siapapun, baik laki-laki ataupun perempuan.
“Baik boleh. Tapi kalau berlebihan bahaya juga, lo, Aida. Apalagi, suamimu bekerja dengan cewek-cewek model yang cantik-cantik dan masih itu. Bisa jadi banyak yang naksir, tuh!”
Saat itu, aku tertawa lagi menanggapi peringatan Laila.
Bagaimana Mas Ammar tidak bersinggungan dengan perempuan cantik? Pekerjaan sebagai fotografer sekaligus pemilik studio memaksanya melakukan itu. Toh, itu hanya sebatas pekerjaan.“Dia profesional, tidak mungkin melakukan hal-hal aneh! Dia juga sudah tua, sama kayak aku. Sudah kepala empat,” jawabku menepis anggapan yang berlebihan itu
Sahabatku langsung memelototiku. “Eh, jangan salah. Perempuan muda sekarang banyak yang suka laki-laki estewe!”
“Estewe? Apa tuh?!” seruku sembari mengernyit.
“Setengah tuwa, Aida. Itu lagi tren zaman sekarang. Laki-laki yang sudah berusia matang, apalagi kepala empat, dinilai sebagai usia puncak. Mereka memandang secara ekonomi sudah cukup mapan. Itu yang diincar perempuan di luar sana.”
“Tenang saja. Mas Ammar tidak mungkin demikian,” ucapku yakin.
Kalau faktor ekonomi yang menjadi incaran mereka, aku bisa mengatakan aman. Semua aset yang kami miliki, semua hasil dari pekerjaanku.
Mas Ammar memang bekerja, tetapi dia lebih menyalurkan kegemarannya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dari mana datangnya, itu adalah rezeki keluarga kecil kami.
“Kamu harus waspada! Karena perselingkuhan ini bisa terjadi karena ada kesempatan!” serunya membuatku tertawa terbahak-bahak. Seperti himbauan untuk mencegah pencurian saja, itu yang aku pikirkan saat itu. Kenapa tidak sekalian dianjurkan menggunakan gembok kunci ganda?
Namun, ternyata ucapan Laila itu benar. Aku seperti kecolongan karena kebebalanku ini.
‘Aku harus menuntut penjelasan,’ ucapku dalam hati sambil meraih ponsel yang berisi bukti menjijikkan itu.
Dengan tangan yang gemetar dan air mata yang masih luruh, aku menghubungi Mas Ammar.
Aku harus mencari kejelasan apa yang terjadi sebelumnya.
Walaupun aku mulai meragukan kesetiaannya, tapi ada sedikit ketidakpercayaan, dan aku ingin mendengar dari mulutnya sendiri.
Sebelum ada pengakuan langsung, aku anggap ini hanya bualan belaka.
******
[Nomor yang Anda tuju, tidak dapat dihubungi. Silakan periksa kembali nomor tujuan Anda]
Aku menghela napas kasar.
Ini sudah untuk kesekian kali aku menekan nomor ponsel suamiku itu. Namun, hanya terdengar nada sibuk di seberang sana.
Satu menit.
Dua menit.
.
.
Dan, sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit. Tidak ada tanda-tanda nada bersambung. Sebegitu sibuknya, kah dia?
Memang ini hal yang sering terjadi, dan sekarang baru aku sadar kenapa.
Sebelumnya aku hanya berpikir, dia pasti sibuk bekerja.
Namun setelah melihat foto itu, aku mulai mempunyai prasangka lain. Bisa jadi dia sedang asyik dengan wanita itu. Bukankah kalau sedang dimabuk cinta, waktu bersama terasa indah dalam waktu yang lama?
Aku memejamkan mata–berusaha tegar dan tenang menghadapi masalah ini.
Emosiku harus dikontrol dengan baik.
Jangan sampai aku dikalahkan dengan amarah yang membuatku di posisi kalah.
Kring!
Baru saja aku akan meletakkan ponsel, benda pipih ini memberikan tanda ada panggilan masuk.
Segera aku menilik layar ponsel.
Ternyata, bukan nomor ponsel Mas Ammar, tapi ada nomor yang tidak aku kenal. “Halo.”
“Halo selamat siang. Apakah benar ini dengan orang tua dari Daniel Wicaksana?”
“Benar. Saya Aida, mamanya,” jawabku sembari mengernyit menyimpan pertanyaan.
“Kami dari Global Hospital, memberitahukan bahwa saudara Daniel mendapat kecelakaan ---“
Deg! “Daniel?!”
“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar. Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi. Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini. Aku seperti kosong
Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup. Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.“Aida!”Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut. Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan. Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.Serta-merta, aku menceritakan apa y
Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter
“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.Aku memejamkan mata. Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncu
Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.“Maaf.” “Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? Di
“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika
Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b