~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~
"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya.
"Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."
Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang.
"Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah."
"Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
Di sebuah ruangan megah berdiri wanita-wanita cantik dengan balutan dress anggun, menampakkan lekuk tubuh mereka. Sedangkan para lelaki memakai pakaian formal dengan jas beraneka warna dari berbagai merk.Buket bunga berjajar di pinggir ruangan, bertuliskan ucapan selamat atas merger sekaligus pertunangan para ahli waris mereka. Hidangan nikmat tersaji di tiap meja. Gelas kaca berisi cairan berwarna merah, siap menjamu para tamu yang hadir.Seorang lelaki dengan tuxedo hitam maju ke tengah panggung. Ia menepukkan tangan beberapa kali memberi tanda pada semua yang hadir untuk diam sejenak. Suasana hening."Pada hari ini, kita semua hadir di sini untuk ikut merayakan merger dari dua perusahaan besar di negara in
Bruaghkh! Sakit. Pandanganku mulai gelap, sesuatu menabrak tubuhku. Aku terpental, jauh. Terdengar bunyi air bergemericik. Badanku terasa dingin. Gelap. Inikah akhir hidupku? Tuhan aku belum siap untuk menghadapmu. Aku masih muda, Papa, Mama, Alicia maafkan aku pergi tanpa berpamitan terlebih dulu. *** "Hey, kenapa kamu tidur di sini?"
Terminal Bojong Gede. Aku mendongak membaca sebuah papan nama dalam hati. Angkot Abah baru merapat, berbaris rapi di antara beberapa angkot berwarna biru lain."Baru datang, Bah? Ujang, mana?" Sapa seorang lelaki di samping angkot Abah. Ia menatapku sekilas."Ujang repot, istrinya baru lahiran."Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berbicara. Melemparkan pandangan ke sekeliling terminal. Ramai. Hilir mudik para penumpang. Banyak para pedagang asongan menawarkan barang jualan mereka.Tempat yang asing. Aku merasa belum pernah kemari. Mata
"Bismillah, laris manis, tanjung kimpul. Penumpang berbaris, duit kumpul."Abah mengibaskan handuk birunya ke pintu dan kemudi angkot. Aku tersenyum lalu mengambil posisi duduk di dekat pintu.Abah mengawasi lalu lintas. Bola matanya menatap ke arah depan dan spion angkot bergantian. Setelah dirasa sepi, Ayah Wulan segera membelokkan kemudi. Angkot kembali melewati rute yang sama menuju terminal Bojong Gede.Angkot menjauh dari Pasar Anyar. Kerumunan orang terlihat semakin kecil seperti semut. Ah, lelahnya. Sepertinya baru kali ini aku merasakan bekerja dengan keras.
(Rahasia?)Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah. Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia. "Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku. "Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia
"Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.