Share

Cinta Bersyarat
Cinta Bersyarat
Penulis: Fiieureka

Rasa 1 :: Keputusan Gila Livia

Mata Hongli menyerupai telur puyuh saking tidak menduga apa yang baru saja dikatakan oleh Livia. “Did you lose your mind?” Dia menatap Livia dengan penuh heran sekaligus tidak percaya. Sebuah senyum secerah matahari pagi yang bertahta di bibir perempuan tersebut membuatnya tidak habis pikir.

Livia menoleh dan menyamarkan tarikan di bibir. “Why not? Semua orang rumah sudah setuju,” ujarnya dengan suara sangat enteng seolah-olah kabar yang baru saja dia sampaikan pada Hongli bukan masalah besar.

Livia menghela napas, lalu duduk menghadap lurus ke arah Hongli. Dia sempat menyapu jejak jus jambu merah di bibir sebelum kemudian berkata, “Aku tidak bisa selamanya menahan benci seperti ini, kan? Bukannya kamu sering sekali menertawai sekaligus mengejekku karena aku benci cokelat, padahal sebelumnya aku tergila-gila?”

“Heiii!” tegur Hongli sambil menyeringai, lalu mengangkat telunjuk kanannya. “No,no! Yang sebenarnya kamu benci bukan cokelat, teta—”

Gadis berambut hitam lurus itu segera membekap mulut sahabatnya. Dia menembakkan tatapan sarat peringatan. “Diam!” pintanya dengan suara lirih.

Hongli menyingkirkan tangan Livia dari mulutnya. Kemudian, dia mengamati telapak tangan Livia sejenak sebelum akhirnya berujar, “Yaah! Pelembap bibirku hilang deh.”

Livia mendengkus.

Hongli menyeruput air putih dingin yang sudah Livia sediakan. Dia lantas menatap lekat-lekat gadis di hadapannya. “Apa sekarang kamu sudah tidak waras karena tidak pernah mendengar kabar Aro sekali pun? Maksudku, jauh dari lubuk hati, kamu berharap dia langsung yang menghubungimu, bukan sekadar kabar yang kamu dengar dari mamanya.”

Tawa Livia meledak seketika sampai nyaris tersedak kacang rebus. Setelah beberapa saat, dirinya bungkam dan memasang wajah serius. “Li, aku sudah yakin sepenuhnya untuk menerima tawaran bekerja di sana. Toh di pasty and bakery tidak hanya berurusan dengan cokelat.” Dia lantas menegakkan telunjuk kanan di depan wajah Hongli. “Dan satu lagi, aku tidak peduli pada orang itu.

Tubuh Hongli bergeming sementara pikirannya mencerna inti percakapan ini. Livia sangat anti dengan apa pun yang berbau cokelat sekalipun itu hanya gambar sejak kelas XII  SMK. Itu terjadi sejak persahabatan Livia-Aro renggang karena masalah hati. Namun, sekarang dirinya mendengar dengan sangat gamblang jika sahabat sekaligus tetangganya itu akan bekerja menjadi pastry chef di sebuah hotel bintang 5. Dirinya belum mengerti alasan apa yang membuat Livia nekat seperti ini mengingat kebencian gadis tersebut terhadap cokelat sudah mencapai level expert.

Saking tidak sukanya, Livia sampai tidak makan apa pun yang berbahan cokelat maupun memakai baju yang berwarna atau bergambar cokelat. Begitupun dengan tempat—dia tidak sudi masuk ke tempat yang “berbau” cokelat. Parahnya lagi, Livia sampai meminta orangtuanya mengganti cat dinding teras belakang rumah yang saat itu berwarna cokelat tua.

Hongli mengangkat kedua tangan di depan dada seperti penjahat yang ketahuan. “Oke, oke. Kalau begitu, beri tahu alasannya padaku!” pintanya.

Livia menggumam lirih sementara air mukanya terlihat menimbang permintaan tersebut. “Coba saja tebak!” Rupanya, dia ingin sedikit bermain teka-teki.

Laki-laki berkaus oblong itu sedikit memundurkan pantat, lalu menyandarkan punggung di sofa yang ada di belakangnya. Dengan kaki bersila dan kedua tangan disilangkan ke dada, dia mengamati wajah dengan pipi yang terlihat sedikit tembam di hadapannya. Sementara itu, Livia memberikan respons padanya berupa menaikturunkan kedua alis dan tersenyum tipis.

Beberapa detik kemudian, Hongli memajukan badan. Dia mengacungkan jari telunjuk kanan tepat ke wajah Livia. Tatapannya nampak seperti menuding Livia sebagai pencuri yang tidak mengaku. “Karena seniormu di New York itu?”

Mendengar kalimat tersebut, Livia tidak mengubah air mukanya.

Karena tidak mendapatkan suara sebagai jawaban, Hongli menurunkan jari telunjuknya lantas berkata, “Semoga tebakanku salah.”

Livia menyengir. “Gotcha!”

Mulut Hongli terbuka sempurna. Selama studi di  The International Culinary Center dan magang bekerja di New York, Livia mendapatkan seorang teman laki-laki dari Indonesia dan sekarang menjadi sangat dekat. Bahkan, sudah lebih dari setahun ini mereka nampak menjalin hubungan. Sebenarnya, gadis itu belum menceritakan kejelasan hubungan mereka berdua. Namun, dirinya berasumsi bahwa mereka backstreet. Setelah mendengar jawaban Livia barusan, dia makin yakin jika asumsinya benar.

Suatu hari ini akan menjadi bencana untuk Aro, batinnya.

Hongli lantas memasang wajah seperti orang yang telah dikhianati. “Waah, aku merasa sakit! Selama ini kamu tidak pernah mendengarkanku untuk berhenti membenci cokelat dan perlahan coba menyukainya lagi. Tetapi meskipun aku berulang kali memintamu melakukannya, kamu tidak pernah mendengarkanku. Begitu kamu bergaul dengan laki-laki bermata sipit dengan bentuk yang agak tidak umum itu, apa yang dia ucapkan selalu kamu dengar. Jatuh sudah harga diriku sebagai sahabat kecilmu,” tuturnya panjang lebar tanpa jeda. Dia ingin Livia mengetahui seberapa tidak terima dirinya menyadari kenyataan yang kontras tersebut.

Livia diam saja dan dengan santainya menyimak luapan emosi Hongli. Suara drama Korea yang sedang mereka tonton di televisi sudah tidak  dia pedulikan lagi. Sekarang hanya ada suara Hongli yang tertangkap oleh indra pendengarannya.

“Sudah?” tanyanya dengan suara rendah setelah mulut laki-laki berusia 27 tahun itu tertutup rapat.

“Aku tidak marah,” sangkalnya dengan suara seperti anak kecil yang merajuk.

“Wajahmu tidak bisa membohongiku, tahu?” tukas Livia, kemudian dia memberikan wajah masam dan melempar kacang kulit ke wajah Hongli sambil berkata, “Sekarang biarkan aku yang marah karena kamu body shaming.

Hongli memberi tatapan tanya tanda tidak paham.

Livia makin merasa kesal karena Hongli tidak sadar kesalahannya di mana. “Heh,  kamu baru saja mengatai Irivin bermata sipit dan punya bentuk tidak umum!”

“Lo! Memang benar kalau dia punya mata seperti itu, kan?” Hongli tidak mau disalahkan. Suaranya pun meninggi.

“Iya, tetapi seharusnya kamu tidak bicara segamblang itu!” seru Livia dengan suara lantang dan sorot mata tajam. “Mata dia itu unik, tahu?”

Hongli mendengkus dan memalingkan wajah Bibirnya mengerucut. “Bagus, bahkan sekarang kamu membelanya.”

Livia mengembuskan napas dengan berat untuk membuang emosi negatif. Ingin rasanya dia menjambak rambut Hongli. Detik berikutnya, dia mengangkat pantat dari karpet dan memajukan badan ke arah Hongli. Tangan kananya terulur dan menarik poni laki-laki tersebut dengan sedikit kencang, tetapi hanya sebentar seraya berseru, “Iiih, aku tidak membelanya! Itu nyata!”

“Aww!” Hongli mengusap-usap bekas jambakan Livia.

“Kamu juga sipit, tahu?” Livia setengah mencibirnya.

“Tetapi lebih sipit dia!” elak Hongli masih tidak mau kalah.

Seseorang datang ke ruang tengah menginterupsi mereka berdua. “Berantem saja terus!”

Suaranya terdengar dari arah belakang Livia. Livia dan Hongli menatap ke sumber suara dan melihat seorang perempuan berusia tujuh puluhan tahun berjalan mendekat. Tidak lama kemudian, dia duduk di sofa sebelah kanan Hongli.

Hongli memasang senyum dan mengangkat satu tangan. “Hai, Oma!” sapanya.

“Kapan kalian akan dewasa sih?” tanya orang yang memegang rahasia besar Livia selain Hongli.

Pertanyaan yang mengandung gerutuan itu membuat Livia dan Hongli saling lirik. Kemudian, Livia memberikan senyum lebar dan wajah ramah sebelum akhirnya berkata, “Kami sudah dewasa, Oma.”

Faizah, ibu dari papanya Livia, menghiasi wajah berkerutnya dengan senyum tipis. Meskipun demikian, kelembutan hatinya tetap terpancar. “Kalian dengar baik-baik! Kedewasaan seseorang itu bukan diukur dari usianya, Sayang, melainkan dari bagaimana perilaku dan sikapnya.”

Livia maupun Hongli sudah beberapa kali mendengar kalimat seperti itu dan mengerti. Mereka kompak mengangguk dan berkata, “Oke, Oma.”

Kedatangan Oma Faizah membuat atmosfer di sekitar menjadi hangat dalam sekejap, padahal suasananya seperti arena debat dan gulat sesaat sebelum itu. Memang, Oma Faizah memiliki aura yang keibuan dan hangat meskipun sudah berumur. Dia tetap dapat menjadi pendengar yang baik bagi orang seusia Livia dan Hongli. Oleh karena itu, tidak heran jika Livia lebih terbuka dengan Faizah daripada kedua orang tuanya meskipun mereka semua tinggal di satu atap.

“Oma tidak melarangnya untuk bekerja di pastry?” Hongli menunjuk Livia yang baru saja fokus kembali pada drama Korea di televisi.

Tahu dirinya menjadi objek pembicaraan, Livia menoleh dan melemparkan tatapan seperti seorang pembunuh kepada Hongli.

“Oma malah mendukungnya,” sahut Oma Faizah sambil mengulas senyum.

Livia menjulurkan lidah ke arah Hongli sebelum bangkit dan memeluk pinggang Oma Faizah. “Thank you.”

Perempuan yang memakai blus hitam berkerah itu mengusap kepala Livia yang ada di pangkuannya sebagai respons.

“Berarti, nanti kalau orang yang membuatmu benci cokelat itu kembali, kamu sudah tidak masalah?” tanya Hongli dengan sungguh-sungguh. Dia sampai berhenti mengupas kacang kulit dulu hanya untuk menanyakan itu.

Tubuh Livia membeku sejenak. Sementara itu, Oma Faizah menunggu tanggapan dengan diam.

Livia sedikit menjauhkan tubuh dari Oma Faizah, lalu menatap tidak suka ke arah sahabatnya itu. “Harus banget ya kamu menanyakan hal itu?” tanyanya balik dengan nada sinis.

“Jangan bilang kalau kamu belum berpikir sampai sejauh itu,” tukas Hongli.

Livia menyengir, lalu mengibaskan tangan ke udara. “Ah, tidak perlu! Toh kami tidak akan pernah bertemu lagi. Urusan kami sudah selesai,” tuturnya dengan percaya diri.

“Kamu yakin?” Hongli sangsi dengan pernyataan tersebut. Pasalnya, ada sesuatu tentang Aro yang belum dia katakan pada Livia sampai saat ini.  Bukan karena enggan, melainkan belum saatnya Livia mendengar hal tersebut.

Livia mengangguk dan rasa yakin tercermin jelas di mata beriris cokelatnya yang lebih gelap daripada milik Hongli. “Dunia ini luas, Li,” ucapnya kemudian.

Hongli terdiam sesaat sebelum akhirnya memasang wajah serius seperti sedang memecahkan soal tentang materi redoks dalam Kimia. “Liv, seandainya .... Ini seandainya, ya! Seandainya kamu bertemu dengannya lagi, apa yang akan kamu lakukan?”

Tanpa berpikir panjang, Livia menjentikkan jari dengan cepat. “Gampang! Tidak usah menyapa, aku pura-pura tidak kenal dan pergi. Beres, kan?”

Astaga! Sungguh sederhana sekali pemikiran Livia ini.

Tidak tahan karena gemas, Hongli mendorong dahi Livia yang tidak memiliki poni sama sekali.

Livia mengaduh dan membalas perlakukan itu dengan menarik poni Hongli.

“Iish!” Hongli menepis tangan kanan Livia yang terjulur dengan cepat meskipun poninya sudah sempat ditarik. “Jangan konyol! Aku merasa perlu mengingatkanmu bahwa rumah kalian ber-se-be-rang-an.”

Livia tergelak dengan suara sumbang. “Itu masih sangat cukup untuk aku mencari tempat sembunyi darinya. Kalau satu rumah, itu yang lebih sulit.”

“Lo! Memangnya, kamu mau serumah dengannya?”

Pertanyaan yang tidak disangka itu keluar dari mulut Faizah. Livia maupun Hongli sampai menoleh dan menatap tidak percaya ke arah Faizah.

“Oma!” seru Livia. Wajahnya yang santai langsung berubah seperti benang kusut. “Bisa-bisanya Oma berpikiran seperti itu.”

“Liv, kurasa urusan kalian belum selesai,” ucap Hongli dengan suara dan wajah serius.

Bagus! Detik ini juga tubuh Livia berubah seperti patung. Mulutnya ingin sekali menyangkal. Namun, separuh hatinya justru membenarkan ucapan Hongli. Sial!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status