Share

Rasa 3 :: Kembalinya Orang Paling Gila di Hidup Livia

Saat Livia ingin menyembuhkan trauma terhadap cokelat, kenapa orang yang membuatnya trauma justru kembali?

Demi permen gummy bear kesukaan Livia! Bagaimana mungkin laki-laki yang kemarin mengusik pikiran sekarang ada di depan matanya? Dan yang paling membuat gadis tersebut ingin tenggelam ke lantai yang sayangnya bukan terbuat dari lumpur hisap ini, laki-laki tersebut menghadiahinya lukisan berupa lengkungan ke atas di bibir—hal yang dulu kerap membuat jantungnya berpacu cepat. Sementara itu, sorot mata memberi tanda jika si pemilik tengah merindukan seseorang yang terpisah jarak dan waktu begitu lama.

Ekspresi itu membawa ingatan Livia pada posting-an Aro yang Hongli tunjukkan. Jika kenyataannya memang demikian, jangan harap hati Livia akan meleleh! Waktu sudah mengubah semuanya, termasuk rasa cinta yang pernah dia berikan untuk laki-laki itu.

Genaro Jian Prasaya, seseorang yang Livia kira dapat memberikannya kenangan manis dan berharga sebelum mereka berpisah sembilan tahun yang lalu. Namun, nyatanya Tuhan tidak menghendaki hal baik itu untuk digenggam hatinya. Yang terjadi justru Aro meninggalkan robekan harapan hingga membuat Livia seperti ditelantarkan dan ditinggalkan bersama rasa malu. Pada akhirnya, kebencian tumbuh dengan begitu subur meski tahun terus berganti. Kenyataan di mana mereka tidak lagi saling bertatap muka dan berkomunikasi karena rentang jarak yang bermil-mil mempermudah gadis tersebut membangun dinding pemisah tidak kasat mata dan sangat kokoh. Pedih dan kecewa adalah sepasang kata yang sampai detik ini mewakili keadaan hati Livia jika melihat Aro.

Mimik kecut melebihi asam cuka menghiasi wajah Livia yang pucat karena melihat tamu tidak diundang. Dadanya terasa sesak, padahal mereka sedang tidak berada di kerumunan. Lututnya seperti kehilangan fungsi penopang, padahal tidak digunakan untuk lari. Saat matanya menangkap boks bergambar cokelat yang dibawa laki-laki tersebut, seperti ada pemanas otomatis yang menyala di kedua matanya. Oh, pertanda buruk! Dirinya harus segera pergi.

"Ba—"

"Oh, shit!" gumam gadis berpiyama hijau lumut itu. Namun, satu tepukan keras di punggung membuatnya mengaduh. Itu terjadi bahkan sebelum bibir penuhnya yang berpoles lipstik merah muda terkatup sempurna.

Oma Faizah  muncul dengan menghadiahi tatapan penuh peringatan pada Livia. Kemudian, beralih pada si tamu dengan memberikan senyum hangat. "Waah, coba Oma lihat! Siapa ini yang datang?" ujarnya dengan ramah.

Menyaksikan perlakuan omanya terhadap Aro, Livia mendengkus kesal. Tanpa basa-basi, dia balik badan dan menuju dapur. Saat berjalan menjauh, dia mendengar Aro menyahut sapaan Oma Faizah dengan ramah.

Gadis berambut hitam dengan potongan middle length hair itu segera mengisi tenggorokannya dengan air mineral dingin. Begitu tegukan pertama dia dapatkan, ubun-ubunnya yang terasa mendidih mulai reda. Setelah menandaskan satu gelas penuh dan perasaannya lebih baik, dia kembali ke kamar. Duduk sila di bawah AC akan lebih membantunya mengontrol emosi. Sebenarnya, hal ini hanya sugesti. Namun, Livia kerap berhasil melakukannya selama ini.

Memasuki kamar bercat putih dengan perpaduan hijau dari linen bergambar monstera serta beberapa lukisan daun, Livia  lekas menyeret sofa single untuk lebih dekat dengan hembusan AC. Sesuai rencana awal, dia duduk sila dan mengatur napas layaknya orang meditasi. Bayangan boks berisi cokelat yang Aro bawa langsung menari-nari di benak. Dirinya berusaha mengabaikan tentang cokelat itu untuk fokus mengatur irama napas yang masih belum teratur.

"Aaargh!" jeritnya saat mendengar dering ponsel dari meja kerja. Bahkan ini belum ada 3 menit, tetapi gangguan sudah datang.

Livia setengah lompat dari sofa. Beruntung dirinya memakai celana pendek sehingga leluasa bertindak.

"Ada apa?" ketusnya setelah menekan tombol hijau W******p.

"Astaga, galaknya perempuan yang sedang menstruasi!" Hongli langsung menanggapi berdasarkan fakta. “Hari pertama pula.”

"Heh, kamu tidak usah sampai bahas jadwal haidku! Kamu tidak ingat kalau pacarmu pernah memarahiku gara-gara kamu lebih tahu jadwal haidku daripada jadwal haid pacar sendiri?" tukas Livia dengan suara lantang. Dia sampai menunjuk-nunjuk udara seakan-akan Hongli ada di hadapannya. Tanggal menstruasi yang selalu tepat membuat Hongli mudah mengingatnya memang.

Bukannya meminta maaf, pria keturunan Jepang itu  justru terbahak-bahak. Dia sangat puas hanya dengan membayangkan kembali kejadian yang baru saja dibicarakan oleh sahabat kecilnya itu.

Bagaimana tidak? Livia yang biasanya lancara jaya dalam hal memaki-maki jadi sedikit mengerut saat berhadapan dengan kekasihnya. Baru kali ini dirinya menyaksikan gadis tersebut menemui lawan yang sepadan—sama-sama hobi mengomel.

“Kalau kamu menelepon hanya untuk menertawaiku, bye, kututup saja!” ancam Livia.

Mendengar nada serius  dari sambungan telepon di seberang sana, Hongli terdiam seketika. Dia menangkap sesuatu yang tidak beres. “Kamu sedang ada masalah?”

Mendengar pertanyaan tersebut, air muka Livia berubah kusut dalam hitungan sepersekian detik. Dirinya ingin menjerit dan menangis meski logika berkata jika itu sudah tidak pantas mengingat kenangan buruk itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, hati melawan si logika karena masih terlampau sesak.

“Li ... dia benar-benar kembali,” lirih Livia.

Hongli langsung dapat mengetahui siapa sosok yang Livia maksud. “Kamu melihatnya tiba di rumah?” Bukan hal mustahil mengingat posisi rumah Livia dan Aro berseberangan, hanya perlu melewati jalan aspal ganda satu arah.

Livia mendesah lemah sebelum menyahut, “Bukan melihat lagi, tetapi bertemu. Dia datang ke rumah!”

Hongli nyaris menginjak rem. Dia tidak tahu jika Aro akan bertindak secepat ini, padahal dulu Aro sangat hati-hati dan banyak pertimbangan untuk melakukan sesuatu. Sepertinya, tinggal di Swiss membuat sahabatnya itu berubah.

“Lalu ...?”

“Menurutmu?” sahut Livia sarkas. “Kubiarkan dia di bawah, aku di kamar.”

Livia menoleh saat mendengar ketukan dari pintu. Rahangnya mengeras saat melihat Aro berdiri tegap dan melambaikan tangan serta mengulas senyum. Dia tidak habis pikir kenapa sang oma membiarkan orang yang paling dibencinya ini menginjakkan kaki di depan kamar. Please, sekarang mereka sudah dewasa!

“Tinggal di Swiss membuatmu lupa tata krama rupanya,” sindir gadis itu. Dia melipat kedua tangan di depan dada dan menggulirkan mata dengan malas.

“Sorry.” Aro menggaruk tengkuk dan meringis sebelum menatap Livia dengan percaya diri. “Eh, tetapi aku sudah izin Oma.”

Livia membuat benteng musuh lewat air mukanya. “Tetapi aku tidak mengizinkanmu,” timpalnya dengan suara dingin.

Aro menyadari gerakan tangan Livia pada pintu. Dengan gesit, dia menahan pintu agar tetap memiliki celah. “Liv, give me time to talk!” pintanya.

Dorongan pada pintu terhenti. Livia bergeming dengan menghadiahi Aro tatapan tidak bersahabat. “Kita sudah tidak ada urusan.”

“Liv, please!” Aro memohon dengan serius. Dia perlu menjelaskan dengan segera duduk kesalahpahaman yang terjadi saat mereka kelas XII SMK. Ah, tetapi itu bukan semata-mata karena Livia salah paham! Pasalnya, memang ada sesuatu yang dirinya tutupi hingga detik ini.

Niat hati, Aro akan langsung menceritakan semuanya begitu tiba di Indonesia lagi. Sebab, akan sangat tidak nyaman jika hubungan mereka terus begini. Sudah cukup dirinya jadi pengecut sehingga tersiksa beberapa tahun ini. Akan tetapi, Aro sadar jika usahanya ini tidak akan mudah. Dia tahu betul bagaimana Livia; jika sudah benci, gadis itu akan menghindari segala yang berhubungan dengan objek kebenciannya itu dan sebaliknya. Maka dari itu, tidak heran jika dulu Livia tergila-gila dengan cokelat dan sekarang menjadi anticokelat sampai level ekstrem.

“Kamu normal, tidak tuli,” sindir Livia. “Kubilang, kita sudah tidak ada urusan.”

Aro menahan pintu dengan gerakan cepat saat Livia kembali coba menutupnya. Bahkan sekarang kaki kirinya pun maju sebagai penghalang. Akibatnya, gadis tersebut memberinya pelototan.

“Jangan menyiksaku seperti ini, please! Kita perlu bicara.” Aro mendesak, berharap Livia berubah pikiran.

Tangan kanan Livia melorot dari pintu. Kini kedua tangannya berada di sisi tubuh. Tatapannya melemah, tetapi bukan tanda karena hati yang melunak melainkan luka yang menganga kembali. Sebab, kedua bola matanya memanas hingga terselimuti embun tipis.

Livia membuang wajah sesaat dan tertawa sumbang. Dia menelan saliva yang seperti pil pahit. Dengan sorot terluka dan suara rendah, dia berkata, “Lucu sekali kamu bilang tersika. Yang seharusnya bilang begitu adalah aku, Ro. Aku! Apa yang dulu kamu lakukan padaku membuatku malu, aku jadi bahan gosip dan tertawaan teman-teman! Dan saat itu terjadi, kamu malah menjauh!” Kemudian, dia mendorong dada Aro hingga membuat laki-laki itu mundur karena kakinya kekurangan daya untuk tetap berdiri di tempat. “Berengsek! Setidaknya, saat itu kamu ada dan menjelaskan semuanya, bukannya sembunyi dan diam. Pengecut!”

Saat sudah menguasai diri, Aro segera menahan tangan Livia yang masih mendorong dadanya. “Liv, Liv, tenang! Dengarkan aku!” pintanya dengan suara dan tatapan memohon. Kini pipi mulus gadis di hadapannya sudah dialiri air mata.

 Livia menarik paksa tangan yang ada di genggaman Aro. “Oh! Jangan-jangan, memang kamu berniat menolakku dengan cara seperti itu karena sudah terlalu risih dengan kedekatan kita sebagai sahabat?” tanyanya dengan tatapan nyalang.

“Liv, tenang dulu!” pinta Aro dengan suara lembut.

Ucapan Aro bagaikan angin lalu.

“Setelah dulu mempermalukanku, sekarang kamu masih berani memanggilku dengan Choco? Kamu kembali untuk mempermainkanku lagi, kan?” Livia terus mencecar laki-laki yang sekarang jauh lebih terlihat dewasa dan maskulin itu. Dia berpikir jika sekarang adalah waktu tepat untuknya meluapkan unek-unek yang terperangkap selama bertahun-tahun.

Aro kehabisan kata-kata. Apa yang Livia ucapkan tidak dapat dirinya salahkan ataupun benarkan. Seandainya Livia tahu jika masalah itu tidak sesederhana yang gadis tersebut pikirkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status