Beberapa hari berselang, Zie bangun lebih pagi dari semua orang yang ada di rumah. Ia berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan sebuah tespek di tangan. Kemarin dia masih berpikir bahwa dirinya hanya masuk angin atau maag, karena terlalu sibuk bekerja sampai lupa makan. Namun, tamu bulanannya memang tak kunjung datang dan ini membuatnya cemas.
Zie memejamkan mata, dia melepas celana lantas duduk di atas closet. Tangannya mengulur untuk memastikan ujung alat uji kehamilan itu terkena cairan urine miliknya. Setelah satu menit, Zie mengangkat kembali alat itu dengan dada berdebar. Matanya seketika membeliak melihat dua garis merah tercetak tebal di sana.
“Tidak! tidak mungkin!”
Zie menunduk. Rasa sesal kini menghantam dadanya bagai palu tak kasat mata. Ia menangis sambil membungkam mulut. Zie merasa bersalah dan kini bingung harus bagaimana. Sedangkan meminta pertanggungjawaban Sean adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan, pria itu pasti akan berpikir dirinya sengaja menjerat dengan cara menjebak.
Sementara itu, hampir dua bulan ini Sean diam-diam mencari siapa wanita yang tidur dengannya. Hari itu bukannya bekerja, dia malah sibuk memandangi anting yang dipegangnya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan.
Sean sempat bertanya ke Ghea – mamanya, tentang bagaimana cara mengecek keaslian berlian. Wanita yang melahirkannya itu menyarankan dirinya untuk datang langsung ke toko. Awalnya Sean ragu jika sampai ke toko perhiasan dan ternyata anting itu palsu, tapi akhirnya dia memilih mengikuti saran sang mama.
Sean sudah mendatangi satu persatu toko perhiasan yang cukup terkenal di kotanya. Butuh waktu hingga dia menemukan satu toko perhiasan, yang ternyata sangat digilai oleh kalangan wanita di kotanya bernama RM Jewelry. Benar saja, di sana dia mendapat petunjuk bahwa anting di tangannya sekarang memang keluaran toko perhiasan itu dan dibuat secara khusus.
Di awal Sean harus berdebat karena pihak toko bersikeras tidak mau membocorkan nama pemesan, tapi siapa yang bisa menolak permintaan seorang Adikara Sean Tyaga, uang dan kekuasaannya cukup untuk menekan pihak toko untuk membocorkan siapa pemesan anting itu. Sean diminta oleh pihak RM jewelry menunggu, dan hari itu dia mendapat informasi yang sangat dia nantikan. Anting itu ternyata didesign dan dipesan khusus oleh seorang pelanggan VVIP mereka bernama Marsha Tyaga, yang tak lain adalah sepupu Sean sendiri.
Sore harinya, Sean tergesa menuju rumah sang sepupu. Marsha yang sedang bersantai menonton kartun bersama anaknya pun dibuat kaget, karena Sean tiba-tiba datang ke sana tanpa memberitahu. Marsha tak percaya sampai melongok keluar pintu rumah untuk memandang langit, memastikan apa akan ada hujan dan badai yang menerjang setelah ini.
“Kenapa Sean, tumben ka – “
Lisan Marsha terpotong kala Sean langsung menunjukkan anting ke depan mukanya, lalu tanpa basa basi bertanya-
“Anting ini, milikmu bukan? nama dan datamu tertulis sebagai pemesan anting ini,” ujar Sean.
Marsha mengerjap, dia tidak bisa seketika menjawab pertanyaan sepupu yang dua tahun lebih tua darinya itu. Marsha ingat anting itu adalah anting yang dipesannya secara khusus untuk Zie, saat sahabatnya itu dilantik menjadi direktur Lembaga Perlindungan Anak atau LPA, sebuah lembaga non pemerintah yang cukup moncer menangani masalah kekerasan dan kesejahteraan anak di bawah umur.
“Kenapa?” Marsha balas bertanya, dia tak ingin langsung mengatakan hal yang sebenarnya.
Kini Sean yang bingung, haruskah dia jujur berkata telah melakukan one night stand dengan seorang wanita tak dikenal, dan wanita itu meninggalkan sebelah antingnya di sana. Bukankah malah akan menimbulkan pertanyaan besar di kepala Marsha nantinya.
“Anting ini, kamu pesan dan hadiahkan ke siapa?”
Sean cukup cerdas, ada noda darah di sprei ranjang kamar president suit tempatnya menginap, jadi wanita yang menghabiskan malam panas dengannya pasti masih perawan. Wanita itu jelas bukan Marsha yang sudah menikah dan memiliki anak berumur enam tahun. Gila saja dia tidur dengan sepupunya sendiri.
“Itu - anting itu aku pesan khusus untuk Zie,” jawab Marsha meski ragu. “Ada apa?” tanyanya heran.
“Zie?”
Sean cukup terkejut mendengar nama wanita yang pernah menyatakan cinta padanya saat remaja itu disebut. Meskipun terkadang masih bertemu, tapi Sean sama sekali tidak pernah bertegur sapa maupun berbicara dengan Zie.
“Berikan aku nomor ponselnya!” pinta Sean.
“Ada apa sebenarnya?” Marsha bertanya lagi, dia masih bingung dengan tujuan sang sepupu.
“Aku tidak bisa bercerita, ini masalah pribadi,” tukas Sean.
Setelah mendapatkan nomor Zie, Sean bergegas pergi meninggalkan Marsha yang masih bingung. Kini kebingungan Marsha ikut dirasakan oleh Zie. Wanita itu tiba-tiba saja dihubungi oleh nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Merasa malas, Zie pun memilih tak acuh, sampai nomor itu akhirnya mengirim sebuah pesan kepadanya.
[ Zie, ini Sean. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Bisakah kita bertemu?]
“Se-Sean, untuk apa dia ingin bertemu?”Tangan Zie gemetar saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Sean. Keringat pun mulai membasahi kening karena takut. Bukannya membalas, Zie memilih mengabaikan pesan itu, dia merasa tidak perlu membalas. Hingga satu pesan kembali masuk tapi kali ini dari Marsha. Sahabatnya itu memberitahu bahwa Sean tadi meminta kontaknya.[ Apa diam-diam kamu dekat dengan Sean? Apa yang tidak aku tahu Zie?]Zie terdiam cukup lama, dia membaca berulang pesan yang dikirimkan oleh Marsha. Kali ini entah kenapa dia merasa sangat bersalah. Jika ke Marsha saja dia sampai merasa seperti ini, lalu bagaimana ke orangtuanya? Zie mencoba bersikap biasa, dia membalas pesan dari Marsha karena tahu sahabatnya itu pasti akan menerornya jika dia tidak bicara atau sekadar menjelaskan.[ Dekat apa? jangan ngaco! Mungkin dia ada urusan dengan LPA][ Ayolah Zie, Sean bahkan belum punya anak, mana mungkin dia menghubungimu untuk urusan itu?]Zie memilih untuk tidak membalas lagi pes
“Sean, menurutku kamu tidak rugi.”Zie berucap lagi, berusaha membuat pria di depannya ini untuk tidak memikirkan atau merasa bertanggungjawab dengan apa yang terjadi di antara mereka.“Apa kamu memang seperti ini, Zie? Sejak dulu?” Sean membalas ucapan Zie kemudian menarik sudut bibir.“A-a-pa?” Zie kehilangan kata sejenak sebelum berhasil menguasai pikirannya kembali. “Ah … ya, aku memang begini.”“Apapun yang kamu pikirkan tentangku, pikirkan saja terus seperti itu. Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak baik di matamu,” gumam Zie di dalam hati.“Baiklah! aku hanya ingin mendengar ini darimu. Jadi mari kita tutupi semua yang terjadi hari itu. Anggap saja hanya sebuah mimpi buruk yang tidak perlu diingat kembali,” ucap Sean. Pria itu berdiri lalu merogoh kantung celana. Sean mengeluarkan sejumlah uang lalu meninggalkannya di meja.“Nikmati makanmu! Aku masih banyak urusan.” Setelah berucap seperti itu, Sean pergi meninggalkan Zie seorang diri di restoran. Mata gadis itu mulai berair
“Dok, Anda dicari – “Raiga sedang membaca rekam medis salah satu pasien siang itu, saat seorang perawat masuk ke ruangannya. Pria itu melepas kacamata dan bertanya siapa yang mencari dirinya sampai ke rumah sakit. Namun, belum juga si perawat menjawab, dua orang berbadan tegap dengan kemeja warna gelap masuk ke dalam.“Dokter, kami butuh bantuan Anda,” ucap salah satunya“Bantuan, apa masalah yang sama lagi? klinik aborsi?” Tebakan Raiga diamini dengan anggukan kepala dua orang itu.__Sementara di tempat lain, Zie tengah harap-harap cemas. Menggunakan baju kasual, topi dan masker. Wanita itu benar-benar mendatangi klinik yang dia temukan di internet kemarin. Ia duduk di selasar menunggu antrian seperti beberapa pengunjung yang lain. Zie menoleh ke kanan dan kiri, setan sudah merasuki nuraninya hingga bertindak sampai sejauh ini. Ia merasa tidak bisa mempertahankan bayinya, tidak. Ini terlalu sulit untuk dihadapi seorang diri. Zie mencoba bersikap tenang, meyakinkan diri bahwa se
“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?” Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan
"Iya bayi, Zie dia … “Marsha menjeda lisan. Belum juga rasa keterkejutan Sean terjawab. Daniel dan Ghea nampak berjalan ke arah mereka. Terang saja baik Marsha, Sean dan Raiga memilih untuk diam. Pasangan suami istri itu heran melihat ke tiganya berkumpul, hingga bertanya apa yang sedang mereka bahas.“Tidak ada, kami hanya rindu Omano,” ucap Raiga. Ia memilih berbicara lebih dulu dari pada menunggu Marsha atau Sean, dan malah membuat orangtuanya semakin curiga.“Ayo kita tunggu pak Rudi di ruang tengah,” ucap Daniel. Pria itu masih terlihat sangat tampan meski usianya sudah tak lagi muda. “Sampai mana papimu, Sya?” tanyanya ke sang keponakan.“Papi bilang sebentar lagi akan sampai,” jawab Marsha. Matanya terus tertuju pada Sean yang menatapnya datar.🍀Semua orang akhirnya berkumpul mendengarkan surat wasiat Nova yang akan dibacakan oleh Rudi. Pengacara yang sudah renta itu terlihat membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung, sebelum memandangi satu persatu anggota keluar
❤ Selamat Membaca ❤Pagi itu Zie dibuat khawatir karena ratusan pendukungnya berdemo di depan LPA. Mereka menyayangkan keputusan Zie mundur dari pemilihan wali kota dengan alasan yang kurang bisa diterima. Padahal, dirinya sudah digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, banyak pendukung Zie yang merasa kecewa. Mereka menuntut penjelasan dan berusaha menahan Zie untuk tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon wali kota ke badan yang menangani pemungutan suara.Zie bingung bahkan mondar-mandir di ruang kerja, dia memilih untuk tidak menemui para pendukung di luar. Ia menghubungi Surya – pria yang merupakan ketua tim pemenangannya dalam pemilihan nanti. Zie meminta Surya untuk mengendalikan masa di luar kantor, dia berjanji akan menemui perwakilan pendukungnya untuk diajak berdiskusi bersama.Sementara itu di ruangan lain di LPA, dua orang pria dan satu wanita sedang berbincang membicarakan keputusan Zie yang tak lain adalah direktur
❤Selamat Membaca❤ Marsha terdiam beberapa menit, hingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya heran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan olehnya ke Zie dengan tatapan serius seperti ini. Namun, pada akhirnya ibunda bocah bernama Serafina itu merasa tak tega membongkar aib sahabatnya sendiri. “Kenapa kamu mundur mencalonkan diri sebagai wali kota? Padahal aku yakin kamu pasti akan terpilih.” “Hah … apa?” Zie kaget, dia tak menyangka bahwa pertanyaan Marsha adalah masalah pencalonan dirinya dan bukan kehamilannya. Gadis itu nampak lega, meski agak canggung juga saat keputusan yang dibuat dipertanyakan alasannya. “Aku masih memikirkan itu, aku bahkan belum mendatangi kantor badan pemungutan suara untuk mengundurkan diri secara resmi,” jawab Zie. Marsha menganggukkan kepala lalu memilih membahas hal lain. Salah satunya tingkah Serafina yang semakin menggemaskan. Bocah yang sebentar lagi masuk SD itu memiliki bakat di bidang marketing. Setiap kali ada kegiatan market day di TK nya
❤Selamat Membaca❤Sean meninggalkan kelab dengan perasaan campur aduk menuju rumah. Ia tidak membalas sapaan pembantu dan bergegas menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa melepaskan baju, Sean pergi ke kamar mandi lalu berdiri di bawah shower dan menghidupkannya. Pria itu sengaja menggunakan air dingin untuk menenangkan otak yang panas karena mendengar ucapan Aaera tadi.Sean menunduk dan membiarkan air menetes dari rambut juga bajunya yang kuyup. Ia mengusap muka, mengidap klaustrofobia jelas bukan keinginannya.Jika mengingat peristiwa yang dialaminya saat masih kecil. Ia benar-benar merasa menderita. Tidak ada yang ingin memiliki trauma dan ketakutan seperti apa yang Sean miliki. Disekap berhari-hari oleh orang jahat yang menculiknya lalu setelah berhasil kabur, harus terjebak di dalam lift selama berjam-jam menunggu diselamatkan.Pria itu bahkan berusaha menghilangkan fobianya dengan menjalani terapi ke psikiater. Namun, hasilnya tetap sama, Sean tidak bisa mengendal