“Se-Sean, untuk apa dia ingin bertemu?”
Tangan Zie gemetar saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Sean. Keringat pun mulai membasahi kening karena takut. Bukannya membalas, Zie memilih mengabaikan pesan itu, dia merasa tidak perlu membalas. Hingga satu pesan kembali masuk tapi kali ini dari Marsha. Sahabatnya itu memberitahu bahwa Sean tadi meminta kontaknya.
[ Apa diam-diam kamu dekat dengan Sean? Apa yang tidak aku tahu Zie?]
Zie terdiam cukup lama, dia membaca berulang pesan yang dikirimkan oleh Marsha. Kali ini entah kenapa dia merasa sangat bersalah. Jika ke Marsha saja dia sampai merasa seperti ini, lalu bagaimana ke orangtuanya?
Zie mencoba bersikap biasa, dia membalas pesan dari Marsha karena tahu sahabatnya itu pasti akan menerornya jika dia tidak bicara atau sekadar menjelaskan.
[ Dekat apa? jangan ngaco! Mungkin dia ada urusan dengan LPA]
[ Ayolah Zie, Sean bahkan belum punya anak, mana mungkin dia menghubungimu untuk urusan itu?]
Zie memilih untuk tidak membalas lagi pesan Marsha, hingga wanita itu kembali mengirim pesan.
[ Dia membawa sebelah anting yang aku hadiahkan untukmu, Bagaimana bisa kamu kehilangan benda itu?]
Zie tercekat, tangannya gemetar. Ia memilih mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam laci meja kerja. Zie sudah cukup dibuat pusing dengan berbagai kasus yang menumpuk di LPA, belum lagi masalah kehamilan dan pencalonan dirinya menjadi wali kota. Semua masalah menjadi satu dan seperti menumpuk di pundaknya. Zie juga harus mencari tahu, di antara bawahannya di LPA, siapa yang sudah memberinya obat perangsang hingga dia tidak bisa mengendalikan diri dan berakhir menyerahkan tubuhnya pada Sean.
“Ayolah Zie berpikir! Berpikir!” Zie mencoba mensugesti diri, tapi sayang berakhir dengan menangkup kepala karena dia bingung harus melakukan apa.
Sore harinya, Zie pulang paling akhir setelah kantor sepi. Ia mengayunkan langkah menuju mobil sambil menunduk, dia tidak sadar ada seorang pria yang sejak tadi duduk di dalam mobil dan menunggunya keluar.
Zie menekan kunci mobil dari jarak enam meter, hingga ayunan kakinya terhenti mendengar namanya dipanggil.
“Zie!”
Jantung Zie hampir melompat keluar, dia bahkan mengarahkan tangan ke depan badan dan mencengkeram erat kunci mobil. Zie tahu siapa pemilik suara itu. Pria yang hanya bisa dicintainya dalam hati selama ini.
Meski dengan perasaan gugup dan jantung nyaris melompat keluar, tapi pada akhirnya Zie memutar tumit dan berpura-pura terkejut.
“Se-Se-Sean,”ucapnya.
Zie merutuki diri sendiri, padahal dia sudah berusaha sekuat hati untuk bersikap biasa, tapi ternyata tetap saja grogi. Apa lagi saat pria tampan dengan kemeja putih yang pas di badan itu mendekat dan berdiri tepat di hadapannya.
“Kenapa kamu tidak membalas pesanku?” tanya Sean tanpa basa-basi.
“Ah … itu.”
Zie merasa kikuk, sikap Sean masih sama, begitu dingin kepadanya. Sepupu Marsha yang satu ini sama sekali tidak pernah bersikap ramah seperti sang adik kandung – Raiga.
“Ada yang ingin aku bicarakan, ikut aku!” titah Sean. Pria itu dengan seenaknya membalik badan menuju SUV mewahnya.
Zie hanya bisa mematung kebingungan, sampai Sean yang sudah masuk ke dalam keluar dan memanggil namanya tak sabaran.
Zie pun bergegas mengunci kembali pintu mobilnya dan mendekat ke arah mobil Sean. Ia benar-benar takut, bahkan setelah duduk di sebelah Sean dia sampai lupa memasang sabuk pengaman dan berakhir dihardik oleh pria itu.
Sepanjang perjalanan, Sean hanya diam. Begitu juga dengan Zie yang tak tahu ke mana pria di sampingnya ini akan membawanya. Hingga beberapa menit kemudian, Sean membelokkan mobil ke parkiran sebuah restoran mewah, pria itu berjalan masuk tanpa mengajak Zie turun. Gadis itu hanya bisa menelan kekecewaan, Sean memang tidak pernah bisa bersikap manis padanya, entah apa kesalahan yang dia buat sehingga pria itu teramat kaku, meski Sean bersikap seperti ini bukan hanya ke dirinya, tapi tetap saja Zie terbawa perasaan. Direktur Lembaga Perlindungan Anak itu menyusul dengan langkah kecil, dia lalu duduk di depan Sean yang sudah sibuk membolak-balik buku menu.
“Pilihlah apa yang mau kamu makan !” titah Sean tanpa memandang wajah Zie.
Zie merasa dadanya ngilu. Hal yang paling menyakitkan baginya di dunia ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan cinta buta yang membuatnya dengan sadar melakukan perbuatan dosa. Zie hanya menatap Sean datar, tanpa sadar tangan gadis itu mengusap bagian perut yang masih rata. Sean menutup buku menu, dan tanpa sengaja melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Zie. Putra sulung Daniel Tyaga itu mengira gadis di depannya ini sedang kelaparan.
“Apa kamu ingin langsung menyantap hidangan utama?” tanya Sean yang terdengar cukup ramah.
Sayangnya ini bukan bentuk perhatian. Sean mengangkat tangan dan langsung memesan makanan tanpa menanyakan hidangan jenis apa yang diinginkan oleh Zie. Menurut Sean menunggu Zie memilih akan memakan waktu lama, dia menemui gadis itu bukan untuk sebuah makan malam romantis, tapi untuk memuaskan rasa penasarannya.
“Aku akan memesankan makanan yang sama, tidak apa-apa ‘kan?” tanya Sean. Pertanyaannya itu diiyakan oleh Zie dengan anggukan kepala.
Sadar bahwa pertemuannya dan Sean bukan untuk sesuatu yang spesial, Zie pun memberanikan diri bertanya setelah pelayan pergi, kenapa Sean mengajaknya ke sana, dan apakah ada hal penting yang ingin dibahas pria itu dengannya.
Sean menduga, Zie sepertinya enggan berlama-lama bertemu dengannya. Ia lantas mengeluarkan anting dari kantung baju dan meletakkannya di bagian tengah meja.
Meskipun Marsha sudah memberitahunya, tapi Zie masih saja terkejut melihat anting itu. Sebisa mungkin dia menyembunyikan perasaannya dan menatap wajah Sean.
“Ini antingmu ‘kan? anting ini kusus dipesan di RM Jewelry, ini hadiah dari Marsha untukmu, designnya Marsha sendiri yang membuat,”ujar Sean.
Zie terdiam, dia tidak bisa menghindar karena asal-usul anting itu disebutkan Sean dengan sangat jelas. Mustahil baginya untuk mengelak.
“Iya, itu milikku,” aku Zie.
“Kenapa anting ini bisa berada di kamar hotel tempatku menginap, dan …. “
“Sean apa pun yang terjadi hari itu semuanya adalah salahku,” potong Zie cepat. Ia tak sanggup mendengar kalimat hinaan atau cacian dari mulut pria yang sangat dicintainya ini.
“Aku melihatmu keluar dari kamar dalam kondisi mabuk lalu ambruk di depan pintu, aku hanya berniat membantumu untuk masuk kembali ke dalam tapi …. “ Zie menjeda kata, dia memejamkan matanya sejenak sebelum menarik napas dan berucap kembali,”Aku tidak bisa mengendalikan diri.”
Sean tak bisa berkata-kata, dia tak menyangka alih-alih berbohong dan mengelak, Zie malah jujur bahwa telah melakukan cinta satu malam dengannya.
“Sean, kita sudah sama-sama dewasa. Ayolah! Aku yakin kamu juga sudah sering melakukan itu, jadi menurutku tidak perlu dipermasalahkan.”
Entah apa yang ada di otak Zie saat ini, dia seolah memposisikan diri sebagai jalang yang dengan mudahnya melakukan hubungan tanpa dilandasi cinta dan menentang norma.
Sementara itu, Sean masih tak bersuara. Pria itu bermonolog di dalam hati sambil mengingat ucapan Marsha kepada Zie, yang dulu tanpa sengaja pernah didengarnya saat masih remaja.
“Aku akan memberitahu Sean kalau kamu sudah tidak perawan agar dia menolakmu.”
“Sean, menurutku kamu tidak rugi.”Zie berucap lagi, berusaha membuat pria di depannya ini untuk tidak memikirkan atau merasa bertanggungjawab dengan apa yang terjadi di antara mereka.“Apa kamu memang seperti ini, Zie? Sejak dulu?” Sean membalas ucapan Zie kemudian menarik sudut bibir.“A-a-pa?” Zie kehilangan kata sejenak sebelum berhasil menguasai pikirannya kembali. “Ah … ya, aku memang begini.”“Apapun yang kamu pikirkan tentangku, pikirkan saja terus seperti itu. Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak baik di matamu,” gumam Zie di dalam hati.“Baiklah! aku hanya ingin mendengar ini darimu. Jadi mari kita tutupi semua yang terjadi hari itu. Anggap saja hanya sebuah mimpi buruk yang tidak perlu diingat kembali,” ucap Sean. Pria itu berdiri lalu merogoh kantung celana. Sean mengeluarkan sejumlah uang lalu meninggalkannya di meja.“Nikmati makanmu! Aku masih banyak urusan.” Setelah berucap seperti itu, Sean pergi meninggalkan Zie seorang diri di restoran. Mata gadis itu mulai berair
“Dok, Anda dicari – “Raiga sedang membaca rekam medis salah satu pasien siang itu, saat seorang perawat masuk ke ruangannya. Pria itu melepas kacamata dan bertanya siapa yang mencari dirinya sampai ke rumah sakit. Namun, belum juga si perawat menjawab, dua orang berbadan tegap dengan kemeja warna gelap masuk ke dalam.“Dokter, kami butuh bantuan Anda,” ucap salah satunya“Bantuan, apa masalah yang sama lagi? klinik aborsi?” Tebakan Raiga diamini dengan anggukan kepala dua orang itu.__Sementara di tempat lain, Zie tengah harap-harap cemas. Menggunakan baju kasual, topi dan masker. Wanita itu benar-benar mendatangi klinik yang dia temukan di internet kemarin. Ia duduk di selasar menunggu antrian seperti beberapa pengunjung yang lain. Zie menoleh ke kanan dan kiri, setan sudah merasuki nuraninya hingga bertindak sampai sejauh ini. Ia merasa tidak bisa mempertahankan bayinya, tidak. Ini terlalu sulit untuk dihadapi seorang diri. Zie mencoba bersikap tenang, meyakinkan diri bahwa se
“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?” Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan
"Iya bayi, Zie dia … “Marsha menjeda lisan. Belum juga rasa keterkejutan Sean terjawab. Daniel dan Ghea nampak berjalan ke arah mereka. Terang saja baik Marsha, Sean dan Raiga memilih untuk diam. Pasangan suami istri itu heran melihat ke tiganya berkumpul, hingga bertanya apa yang sedang mereka bahas.“Tidak ada, kami hanya rindu Omano,” ucap Raiga. Ia memilih berbicara lebih dulu dari pada menunggu Marsha atau Sean, dan malah membuat orangtuanya semakin curiga.“Ayo kita tunggu pak Rudi di ruang tengah,” ucap Daniel. Pria itu masih terlihat sangat tampan meski usianya sudah tak lagi muda. “Sampai mana papimu, Sya?” tanyanya ke sang keponakan.“Papi bilang sebentar lagi akan sampai,” jawab Marsha. Matanya terus tertuju pada Sean yang menatapnya datar.🍀Semua orang akhirnya berkumpul mendengarkan surat wasiat Nova yang akan dibacakan oleh Rudi. Pengacara yang sudah renta itu terlihat membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung, sebelum memandangi satu persatu anggota keluar
❤ Selamat Membaca ❤Pagi itu Zie dibuat khawatir karena ratusan pendukungnya berdemo di depan LPA. Mereka menyayangkan keputusan Zie mundur dari pemilihan wali kota dengan alasan yang kurang bisa diterima. Padahal, dirinya sudah digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, banyak pendukung Zie yang merasa kecewa. Mereka menuntut penjelasan dan berusaha menahan Zie untuk tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon wali kota ke badan yang menangani pemungutan suara.Zie bingung bahkan mondar-mandir di ruang kerja, dia memilih untuk tidak menemui para pendukung di luar. Ia menghubungi Surya – pria yang merupakan ketua tim pemenangannya dalam pemilihan nanti. Zie meminta Surya untuk mengendalikan masa di luar kantor, dia berjanji akan menemui perwakilan pendukungnya untuk diajak berdiskusi bersama.Sementara itu di ruangan lain di LPA, dua orang pria dan satu wanita sedang berbincang membicarakan keputusan Zie yang tak lain adalah direktur
❤Selamat Membaca❤ Marsha terdiam beberapa menit, hingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya heran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan olehnya ke Zie dengan tatapan serius seperti ini. Namun, pada akhirnya ibunda bocah bernama Serafina itu merasa tak tega membongkar aib sahabatnya sendiri. “Kenapa kamu mundur mencalonkan diri sebagai wali kota? Padahal aku yakin kamu pasti akan terpilih.” “Hah … apa?” Zie kaget, dia tak menyangka bahwa pertanyaan Marsha adalah masalah pencalonan dirinya dan bukan kehamilannya. Gadis itu nampak lega, meski agak canggung juga saat keputusan yang dibuat dipertanyakan alasannya. “Aku masih memikirkan itu, aku bahkan belum mendatangi kantor badan pemungutan suara untuk mengundurkan diri secara resmi,” jawab Zie. Marsha menganggukkan kepala lalu memilih membahas hal lain. Salah satunya tingkah Serafina yang semakin menggemaskan. Bocah yang sebentar lagi masuk SD itu memiliki bakat di bidang marketing. Setiap kali ada kegiatan market day di TK nya
❤Selamat Membaca❤Sean meninggalkan kelab dengan perasaan campur aduk menuju rumah. Ia tidak membalas sapaan pembantu dan bergegas menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa melepaskan baju, Sean pergi ke kamar mandi lalu berdiri di bawah shower dan menghidupkannya. Pria itu sengaja menggunakan air dingin untuk menenangkan otak yang panas karena mendengar ucapan Aaera tadi.Sean menunduk dan membiarkan air menetes dari rambut juga bajunya yang kuyup. Ia mengusap muka, mengidap klaustrofobia jelas bukan keinginannya.Jika mengingat peristiwa yang dialaminya saat masih kecil. Ia benar-benar merasa menderita. Tidak ada yang ingin memiliki trauma dan ketakutan seperti apa yang Sean miliki. Disekap berhari-hari oleh orang jahat yang menculiknya lalu setelah berhasil kabur, harus terjebak di dalam lift selama berjam-jam menunggu diselamatkan.Pria itu bahkan berusaha menghilangkan fobianya dengan menjalani terapi ke psikiater. Namun, hasilnya tetap sama, Sean tidak bisa mengendal
"A-a-apa?” Zie terperangah.“Kamu pikir bisa menyembunyikan kehamilanmu itu sampai kapan? Aku menawarkan pernikahan semata-mata agar harga dirimu dan harga diriku terjaga.”“Jadi bukan hanya bentuk tanggung jawab, begitu ‘kan?” Zie bertanya dengan mimik kecewa.“Aku belum siap memiliki anak, apa lagi dari wanita yang sama sekali tidak aku cintai.”“Kamu tidak perlu memikirkan harga diriku, Sean!” jawab Zie cepat. Hatinya mencelos mendengar ucapan Sean soal tak mencintai.Diabaikan oleh Sean sudah menjadi hal yang biasa dia terima, jadi jika hanya sepenggal kalimat yang membuat dada nyeri, tentu tidak akan membuat Zie kembali menteskan air mata. Mungkin tidak untuk saat ini.“Marsha dan Rai sudah tahu masalah ini, apa yang akan kamu lakukan jika mereka bicara ke orangtuamu? Apa kamu akan bilang aku tidak mau bertanggungjawab, aku jelas menawarkan hal itu.” Sean agak ngotot juga agar gadis di depannya ini menyetujui idenya.Namun, Zie tetap pada pendirian. Ia tidak ingin menjerumuskan d