Share

Ketahuan Abah!

Abah menungguku. Ibu terus menatapku. Sementara Aisya dia memilih tak memberikan jawaban apa pun.

"Kalian berantem?" Abah kembali bertanya. Kali ini intonasinya sudah berubah.

"Tidak Abah." Jawabku. Bisa gawat kalau Aisya membuka perihal perjanjian yang kubuat untuknya.

"Lalu, kenapa kalian seperti orang asing begini?"

"Oh, Aisya lelah saja, Bah." Aku membalas pertanyaan Abah lagi.

"Ya bawa Aisya ke kamar. Dia memang butuh istirahat." Abah lalu memintaku membawa Aisya ke kamar.

Tanpa menunggu, aku menghampiri Aisya. Aisya menatapku sebentar, lalu tak menggubris ajakanku ke kamar.

Maka tak punya pilihan. Segera kuangkat dia, kugendong ke kamar.

Sumpah, beratnya serasa melebihi beratnya diawal pernikahan. Kulihat Umma yang tersenyum padaku.

Seingatku dulu awal nikah aku bisa menggendongnya begini dan masih bisa membuka pintu tanpa harus kepayahan seperti ini.

Sampai kamar kuturunkan dia di sofa. Lalu...,

"Apa kubilang. Berat kamu itu nambah! Mungkin timbangan kamu sekarang delapan puluh kilo!_

Aisya memandangku berkaca.

Kutahan mulutku. Entah mengapa segala hal mudah tersulut karena melihat tubuhnya yang bertambah gemuk. Aku bahkan tak sadar di luar ada Abah dan Ummi.

"Mas aku tak peduli. Mas mau bilang beratku seratus kilo pun, terserah!"

Aisya membalas ucapanku. Dia melangkah perlahan menuju kamar mandi. Entahlah jika nanti kandungannya sembilan bulan. Apakah bisa aku mengenalinya??

Setelah kulihat dia masuk kamar mandi, aku pun keluar kamar. Tak napsu rasanya melihat Aisya yang gemuk. Dan gambaran sang artis yang gemuk dua kali lipatnya Aisya itu membuatku merinding.

"Kenapa keluar? Aisya sudah kamu pijat?"

Ibu menahan langkahku. Rupanya Ibu berjaga. "Masuk!" Tegas Ibu.

"Tapi Raka mau keluar, Bu." Balasku pada Ibu yang terus menatapku.

Ibu melirik ke arah mertuaku. Kutahan diriku, dan bersiap masuk. Namun, aku kalah cepat. Pintu sudah terbuka. Aisya muncul dengan sebuah persiapan.

"Bu, Aisya untuk sementara tinggal di rumah Ummi dulu, ya..."

Ibu menatapku lekat.

"Kenapa begitu? Raka ikut, kan?"

Aisya menatapku sebentar lalu membuang muka.

"Tidak perlu, Bu. Aisya tak mau merepotkan Mas Raka."

"Raka...."

"Tidak apa, Bu. Mungkin Aisya mau menenangkan dirinya." Balasku cepat.

Aisya pun melewatiku, menuju Abah dan Ummi. Begitu melihat tas milik Aisya, Abah dan Ummi memandangi Aisya. Aku memerhatikannya dari depan kamar.

"Mau ke mana?" Tanya Ummi pada Aisya.

"Kangen rumah. Mau pulang! Mas Raka izinkan kok."

Kompak Ummi dan Abah menoleh padaku. Lalu spontan aku menganggukkan kepala.

"Iya Abah. Sebulan dua bulan juga tak apa."

"Raka!"

Oh, salah lagi. Ini pasti karena aku kesal pada Aisya yang tak mau patuh padaku. Andai dia mau mendengarku, makan nasi hanya siang saja, malam cukup sayuran, pagi buah saja. Aku mungkin tak bersikap begini.

Abah mendekatiku.

"Ada masalah dengan anak Abah?"

Tatapan Abah membuatku merinding. Tatapan seorang ayah yang begitu sayang pada anaknya.

"Tidak ada Abah. Tidak ada."

"Kalau begitu mengapa dia mau pulang? Abah rasa ada yang tidak beres."

"Abah, Aisya hanya rindu rumah. Boleh, kan?"

Abah berbalik lagi ke Aisya. Namun, setelahnya kepada Ibu.

"Bu, ada sesuatu dengan anak-anak kita?"

Ibu mengatupkan bibirnya. Abah berdiri dua langkah di depannya. Abah sama sekali tak percaya ucapanku dan Aisya.

"Itu karena Raka mau Aisya tetap dengan tubuh yang tak gemuk. Makanya aturan makannya ada."

Aduh! Ibu....

Aku meringis.

Abah memandangku dengan istigfar. "Jika kamu datang melamar anak abah, itu artinya apa pun yang terjadi kamu harus terima. Dia gemuk itu karena kehamilannya. Apa kamu tak memahami itu, Raka."

Aku bingung sekarang harus menjawab apa. Ingin bilang itu hak-ku sebagai kepala keluarga, tapi pasti abah akan marah sekali.

"Iya Abah. Raka minta maaf."

"Minta maafnya bukan ke Abah. Ke Aisya."

Aku bergerak mendekati Aisya. Lalu dengan lidah kaku, kusampaikan permohonan maafku. Aisya hanya mengangguk kecil. Mungkin dia menemukan ketidaktulusan dari permohonan maafku ini.

"Dan Aisya ikut saya pulang." Abah kemudian membuat keputusan.

"Kalau kamu tak menerima Aisya dengan keadaannya sekarang, kami yang akan selalu menerimanya." Ucap Abah

Seketika aku panik.

Gimana kalau Aisya tak dipulangkan Abah kemari lagi??

"Bah, Aisya disini saja. Saya yang akan menemani." Ibu bersuara tepat saat aku ingin mencegahnya.

Tak ada yang kurang dari Aisya. Kekurangan dia cuma satu. Ya itu gemuk! Yang lain aku akui dia punya segalanya.

"Besan tak usah mencegah saya. Untuk sementara Aisya saya bawa pulang. Besan bisa menasehati Raka tentang bagaimana tanggungjawab dia sebagai lelaki."

Aku tersinggung dengan ucapan Abah. Tapi, apa yang disampaikan Abah juga karena kesalahanku sendiri.

"Bah...,"

Ibu menahan tanganku. Menggelengkan kepala.

Maka kuharus melepas kepergian Aisya. Dia menyalamiku tanpa sepatah dua kata. Barulah ketika pamit pada Ibu bersuara.

"Bu, Aisya pulang dulu, ya." Pamitnya menatap sendu ke dalam rumah yang telah menjadi rumahnya berapa bulan ini, sampai keadaan mengubah semuanya.

Ketika dia masuk ke mobil dia tak menoleh padaku sama sekali. Malah Abah yang berpesan padaku.

"Aisya masih istri kamu. Jika dia bersama Abah dan Ummi, apa kamu ridho jika dia keluar rumah?"

Kepalaku mengangguk saja. Membantah Abah pastilah akan memperkeruh suasana.

Begitu mobil yang membawa Aisya pergi, Ibu langsung memukulku.

"Kamu bikin malu Ibu!"

Aku meringis menerima pukulan Ibu yang pertama kalinya kurasakan. Karena memang Ibu tak pernah memukulku sejak aku kecil.

"Kalau Aisya sampai tidak kembali ke sini, Ibu tidak akan memaafkan kamu!"

Keras suara Ibu, membuat aku terhenyak-;

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status