Share

Perubahan Aisya

Aisya mendadak jadi pendiam. Dia tak seriang awal dulu, dia pun tak seperhatian sebelumnya. Sebel juga melihatnya begitu. Belum lagi kalau melihat dia nampak selalu segar akhir-akhir ini. Buat aku gemas, namun tak bisa melakukan apa-apa.

Semua memang salahku,

Tapi, aku tetap dengan keputusanku. Aisya tak boleh gemuk. Aku jadi membayangkan seorang artis yang dulunya idola, wara-wiri di layar kaca selepas menikah, punya anak, badannya gemuk sekali. Kata teman kantor tak kembali modal.

Aku membayangkan jika itu Aisya. Perempuan yang buat hatiku bergetar saat pertama jumpa. Namun, rupanya ucapan itu menggelitikku.

Selain rasa takut dan tak rela dia gemuk, aku sepertinya memang lebih cinta fisiknya yang seperti awal jumpa. Menarik!

"Lihat itu, waduh..., Semuanya bengkak!" Tawa di ruangan membahana.

"Aku kalau punya istri macam itu, kusuruh saja di rumah. Malu jatuhnya."

"Kalau aku cari yang baru sebagai cadangan!"

Berbagai komentar yang membuatku kesal terus bermunculan. Namun, di antara komentar mereka, ada komentar lain yang kudengar. Itu dari Hamka. Memang dia paling teduh di antara kami.

"Perempuan itu rela seperti itu demi anak. Anaknya siapa kalau bukan anak kita. Kita ini menikah karena mau anak, kan? Bayangkan dong apa yang dia lalui."

Semua terdiam, saling pandang. Kalau sudah Hamka yang bicara, diam semuanya.

"Mengandung itu lelah dan melelahkan. Sembilan bulan, brother. Belum mualnya, moodnya, dan seterusnya. Melahirkan? Lebih dari sulit. Nyawa!"

Hamka kini duduk di ujung meja, menghadap kami semua.

"Setelah lahiran belum juga pulih segalanya sudah dicemooh gemuk dan seterusnya. Setelah itu dia harus juga menyusui yang konon katanya sakit itu. Eh belum selesai dia berjuang lagi agar ASInya lancar. Anaknya tak kehausan dan kelaparan. Lalu kita??"

Hamka seperti memukul kepala kami satu demi satu. Semua yang menertawakan diam seketika.

"Jangan jadi lelaki yang egois. Yang buat mereka gemuk, siapa? Kita juga suaminya. Biarkan dia gemuk, yang penting dia happy mengasuh anak kita. Urusan mau diet, nantilah belakang."

Lanjut Hamka membuat kami tak bisa berkata-kata. Aku melirik yang lain. Ternyata modelan seperti aku, pemuja istri langsing dan menarik itu banyak.

"Masalahnya Hamka, gemuk itu apa sih yang menarik?"

Aku memberanikan memotong. Hamka memandangiku.

"Gini saja, lusa kita adakan acara di mana ajalah. Mau di pantai, hayyu! Ajak pasangan masing-masing." Ucap Hamka kemudian.

"Untuk Apa?" Rivan angkat tanya.

"Bawa sajalah. Sebenarnya saya hanya penasaran siapa di antara kita yang menghargai pasangan saat dia dalam kondisi apa pun."

Tantangan, namun tak semua di ruangan ini setuju. Termasuk aku.

Aisya sudah nampak berisi. Tangannya mulai berubah lebih gendut. Pipinya apalagi. Penuh berisi.

Oh membayangkan Aisya yang nanti akan kalap makan membuat aku ikut menolak. Aisya tak boleh keluar denganku!

Hamka malah tertawa.

"Lihatlah kita, lelaki pecundang! Tahunya merubah anak orang, tapi tak mau mengakui. Inginnya kitanya tetap muda, penampilan menarik. Tapi, yang merawat baju kita, memasak makanan kita dibiarkan tanpa perawatan."

Hamka menyindir. Aku ikut tersindir.

Yah, sejak Aisya menyampaikan kehamilannya, jangankan jalan menghadiri pameran kosmetik saja sudah tak kuajak. Apalagi menawarkannya.

"Berterimakasih-lah..., karena dia memilih kita untuk menjadi teman seumur hidupnya. Jangan malah diabaikan. Nanti pas jauh baru nyadar dan nyesal!" Hamka mengingatkan.

lalu, pandangannya beralih padaku, setelah ucapannya selesai.

"Raka, istri kamu apa kabar?"

Hamka menanyai kabar Aisya.

"Baik, Mas!" Jawabku cepat.

"Dia itu senior istri saya di pekerjaan sebelumnya. Saya pernah berjumpa waktu mengantar istri, saat dia masih sendiri."

"Iya, Mas." Anggukku.

"Weekend ini saya undang kamu ke rumah, ya. Istri saya kangen istri kamu." Ucapnya lagi.

"Berikan waktu mereka untuk saling bertemu, melepas cerita atau melepas stress karena punya suami macam kita yang tak tahu untung." Ucap Hamka lagi.

Aku tahu bahasa yang dia gunakan bukan ditujukan untuk dirinya, tapi untuk kami semua disini, tak terkecuali aku yang sangat tersindir.

Ragu aku menyetujui. Namun, bayang dinginnya Aisya pagi ini membuat aku kepikiran. Diamnya Aisya ternyata menakutkan. Sepertinya ucapan Hamka ada benarnya.

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ»

Aku sampai ke rumah seperti biasa jam empat lewat tiga puluh. Sesampainya di rumah, pintu nampak membuka dan beberapa sendal tersusun rapi.

Begitu aku masuk rupanya mertuaku datang bersama beberapa keponakan Aisya.

Oh, kutepuk jidatku. Tak mungkin mertuaku tahu aku sedang tak baik dengan Aisya. Apa katanya nanti.

"Ah, menantuku sudah balik." Abah menghampiriku. Memergokiku di depan pintu. Nampak Aisya melempar pandang padaku, lalu cuek seperti pagi tadi.

"Sya, itu suami kamu datang, Nak...."

Uh, suara ummi, mertua perempuanku yang lemah lembut seperti angin segar. Tak lama pasti Aisya akan menyapaku.

"Iya, Ummi."

Hanya itu ucapan Aisya. Dia sama sekali tak bangkit dari duduknya.

"Loh, disambut dong, Nak...."

Yes! Gembiranya hatiku. Niat berbaikan pasti terjadi, meski ucapan maaf tak kusampaikan. Sepertinya aku memang tak harus minta maaf. Kuedarkan pandang, mencari bayang Ibu. Ibu tak tampak. "Mungkin sudah pulang." Pikirku.

"Mi, kaki Aisya kram."

Aisya memberikan alasan. Aku yakin alasan itu dibuat karena dia tak mau menghampiriku.

"Raka tunggu apa di situ??"

Oh.... Ibu muncul dari arah dapur. Bersuara dengan tegas padaku.

"Aisya dibantu. Dipijat." Ibu bersuara lagi.

Ummi dan abah pun sama. Memandangiku.

"Kalian berantem?"

Mampus! tatapan abah mengintimidasiku-;

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status