Baik, tampan, dan bertanggung jawab ternyata masih tak cukup untuk wanita yang haus akan uang, uang, dan uang. Wildan dikhianati Ratih–sang istri–karena ia miskin, tak seperti mantan kekasih Ratih yang bisa membelikan apa yang diinginkan wanita. Namun, siapa sangka jika status Wildan yang sesungguhnya malah terkuak ketika ia telah menyandang status duda dan bekerja sebagai seorang sopir pribadi. Ternyata ia bukan sopir biasa. Ia adalah ....
View MoreWildan segera mengakhiri percakapannya dengan Murti. Ia berusaha membesarkan hati wanita yang masih dipanggilnya bulik itu, bahwa Allah pasti akan selalu memberikan yang terbaik untuk tiap hamba-Nya.Setelah itu, Wildan pun menaruh bukunya dan membuka pintu mobil. Mengaktifkan tombol kunci dan segera menyusul Adiba di dalam. Ia ingin tahu apa yang dilakukan Dito dengan wanita muda yang pinggangnya dipeluk dengan mesra itu. Tak lupa mantan suami Ratih Purnami tersebut memakai masker.“Kamu beneran enggak apa-apa nemenin aku dulu ke toko buku, Mas?”“Enggak pa-pa, Sayang. Kan, demi pendidikanmu juga,” jawab Dito renyah.Sungguh, ucapan kadal buntung macam Dito sangat membuat telinga Wildan gatal. Ia berdiri sekitar tiga meter dari dua sejoli yang terlihat memiliki hubungan tersebut.Dito memang sedang ada meeting di kantor Daud siang nanti, makanya dia datang ke Jakarta. Namun, sambil menyelam minum air. Entah diturunkan dari siapa sifat suka membual dan gonta-ganti wanita. Padahal Wild
Waktu bergulir dengan semestinya. Siang dan malam pun silih berganti tunduk pada aturan Sang Maha Kuasa. Tak peduli dengan huru-hara yang selalu mewarnai panggung sendratari dunia. Apa pun masalah kita, hidup akan terus berlanjut. Itu yang semua orang yakini, termasuk dengan Wildan Rabbani.Tak terasa dua belas bulan telah berlalu semenjak Wildan bekerja sebagai sopir pribadi keluarga Daud. Tempat tinggal dan urusan perut tak lagi ia pikirkan, sebab semua sudah disediakan. Merokok pun ia tak suka. Bonusnya, Wildan bisa menabung dari hasil jerih payahnya selama ini.Ia ingin melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Namun, karena terikat pada pekerjaan yang sewaktu-waktu selalu membutuhkannya, akhirnya pria yang terlihat makin segar dari hari ke hari itu memilih kuliah secara online.“Kamu serius bisa kuliah online, Dan? Bisa fokus?” tanya Daud.Wildan hanya tersenyum. “Insya Allah bisa, Pak.”Daud pun memintanya mengganti panggilan dari Tuan ke Bapak saja. Biar lebih akrab dan tak t
Sekitar bakda Zuhur, Adnan dan sang istri tiba di mansion orang tuanya. Senyum renyah tak henti-hentinya terulas dari bibir Aisyah. Adnan tahu, anak Ramdan dan Nisa sudah mulai menyita perhatian. Kini anak cantik dengan nama yang sangat ayu itu pun sudah pandai berceloteh di usia dua tahun.Suara salam dan pekikan girang langsung menghiasi kediaman Daud dan Fatimah. Aisyah langsung menyongsong putri Nisa setelah menyalami kedua mertuanya.“Ya ampun ... ini pipi dikasih apa, sih, Nis? Bisa kayak bakpau gitu. Ih, gemes, deh!” Aisyah menciumi pipi gembil Cantika.Walau raut sang istri terlihat cerah dan bahagia, tapi tetap saja ada perih yang menggores hati Adnan sebagai suami. Ia segera mengalihkan pandangan agar tak melow.“Bi, Ramdan mana?” tanya Adnan pada ayahnya.“Lagi di paviliun.”“Mau nginep di paviliun? Kamar tamu, kan, banyak, Bi.”“Bukan. Itu lho, lagi nganterin sopir baru yang mau tinggal di sini,” jawab Fatimah, sang ummi.Kening Adnan berkerut. “Sopir baru? Siapa, Bi?”“Te
‘Assalamualaikum, Dek. Lagi di mana?’“Waalaikumsalam, Bang. Aku lagi sama Khanza di Surabaya.”‘Hah? Ngapain?’“Healing lah ....”‘Ceile ... gaya bener.’Adiba terkekeh saat mendengar suara abangnya di seberang telepon.“Ada apa, Bang?”‘Abang mau pulang.’“Kangen sama Diba, ya?”‘Idih, enggak, tuh! Kangen sama ponakan.’Adiba mengernyit, tetapi beberapa detik langsung tersadar jika yang dimaksud adalah Cantika, putri Ramdan dan Nisa.Adnan dan sang istri–Aisyah–memang sudah lama menikah. Namun, anak belum hadir di antara mereka sampai tahun kelima. Namun, cinta keduanya masih sangat amat harmonis.Segala macam ikhtiar sudah mereka lakukan. Mulai dari yang herbal sampai program bayi tabung ke negara maju sekalipun. Namun, hasil akhir tetap menjadi hak prerogatif Allah.“Sama Bang Dito?”‘Enggak. Justru karena ada dia makanya Abang bisa tinggal pulang bentar sama kakakmu.’“Bilang aja aji mumpung!” cibir Adiba.Adnan tergelak. ‘Ini udah malem, lho, Dek. Kamu ngapain masih online? Punya
“Gimana pamitannya, Dan?”Ada seulas getir dalam senyum yang tersungging di bibir Wildan. Pertanyaan dari Ramdan mengingatkannya pada tatapan sendu adik-adik pantinya. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menangis dan harus dibujuk dulu agar mau melepas Wildan pergi.“Mereka ngasih restu, tapi juga terjadi adegan tangis-tangisan dulu,” jawab Wildan sembari menaruh barang di bagasi mobil Ramdan.“Ya emang gitu kalau melepas orang yang kita sayang. Berat. Tapi ... perpisahan adalah konsekuensi dari sebuah pertemuan.”“Yup, you’re right, Brother.”Ramdan terkekeh. “Aku bantuin Nisa packing dulu, ya. Entar malam kita langsung cus ke Jakarta.”Wildan hanya mengacungkan kedua jempolnya. Pria dengan berewok yang sudah mulai tumbuh itu meneliti wajahnya di kaca spion. Wildan merasa harus membersihkan bulu-bulu halus di wajahnya itu. Walau tampak keren dan kata beberapa teman seprofesinya terlihat seperti Deva Mahendra, tapi menurut Ramdan, ia harus berpenampilan bersih di hadapan sang majikan
Menemani Khanza berlibur di panti yang dikelola oleh sang nenek memberikan warna baru bagi Adiba. Ya, dia begitu menikmati kunjungannya kali ini. Kunjungan yang tak hanya sekadar bersilaturahmi dengan para penghuni panti, tapi juga mengingatkan akan sebuah cerita yang tak pernah Adiba lupakan.Sekitar jam sembilan pagi saat anak-anak panti sudah belajar di sekolahnya masing-masing, Adiba meminta Khanza menemaninya ke danau belakang panti. Tak terlalu jauh sebenarnya, tak juga takut karena Adiba pun punya kemampuan bela diri.“Kalau sendirian kesannya kayak orang hilang enggak tahu jalan pulang,” ucapnya, sukses membuat Oma Tari dan Bu Farhah terkekeh.“Ya udah sana, Neng. Temenin Neng Adibanya. Mumpung masih di sini.”Khanza pun mengangguk dan mereka mulai mengayun langkah. Sampai di tempat, ternyata sekeliling sudah banyak berubah. Danau tak hanya dikelilingi pepohonan besar nan rindang, tetapi juga terdapat beberapa tanaman bunga yang sengaja dirawat. Pun ada beberapa kursi panjang
Adiba mencoba meredam rasa aneh yang mulai melebur dengan rasa hangat nan damai. Bahkan, ia tak mampu menerjemahkan rasa apa yang baru pertama kali dialaminya itu. Rasa yang bahkan tak pernah ia rasakan saat menatap wajah tampan Salman, saat pria itu ingin melihat keseluruhan wajah Adiba ketika taaruf.“Eh, bawa teman, Za?”“Iya, Mas. Kenalin, namanya Adiba.”Wildan mengangguk pelan dengan sebuah senyum tipis. “Assalamualaikum, Adiba. Saya Wildan.”“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Adiba lirih dengan kembali menundukkan pandangannya.Wildan pun kembali memfokuskan pandangan ke depan dan lanjut mengemudi.Di dalam perjalanan, Bu Farhah dan sang keponakan heboh berbincang. Sesekali Khanza juga mengajak Wildan untuk ikut terlibat obrolan dengannya. Adiba hanya diam menjadi pendengar saja.Diam-diam, senyum renyah pria yang sedang mengemudikan roda empat itu tertangkap pantulan kaca tengah. Adiba tersenyum. Entah kenapa ia mulai kecanduan dengan senyum pria itu.“Astagfirullah ...,” uc
Bu Farhah menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya. “Sehatnya orang sepuh, Dan. Ya begitu. Kamu langsung saja temui beliau di kamar.”Wildan sedikit lega dengan jawaban wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu.“Sedang istirahat?”“Enggak, beliau lagi ngaji. Paling udah mau selesai.”Wildan mengangguk dan segera masuk. Belum sempat berjalan menuju kamar Bu Mentari yang akrab dipanggil Oma Tari oleh para anak asuhnya itu, adik-adik panti yang sangat hafal dengan wajah Wildan langsung berhambur.“Mas
Wildan memejam dengan dada bergemuruh. Ucapan Ratih benar-benar melukai hatinya. Benar, belati berupa lidah dan ucapan yang tajam itu akan membuat seseorang sulit memaafkan. Akan tetapi, apakah Wildan seorang pendendam?Bukan, ia bukanlah pria pendendam. Namun, Wildan tetaplah manusia biasa yang hatinya bisa berbolak-balik. Apalagi direndahkan bertubi-tubi oleh sang mantan istri. Seolah-olah kemiskinan dan tak keberuntungan yang menghampiri hidupnya adalah sebuah kutukan.Ia segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Namun, suara seorang lelaki memanggil namanya.“Nak Wildan, tunggu!"Wildan menoleh. Rizal berlari ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.