Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikut city tour seorang diri.
Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana.
Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura.
Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjaket hoodie gelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak.
"Pak Raga? Hampir aja Bapak ketinggalan jam berangkat. Silakan duduk, Pak. Tur kita akan dimulai dari sekarang." Pemandu wisata menegur.
Pria muda yang bernama Raga itu secara sembarangan mengambil tempat di samping Mika yang kosong. Sontak Mika terkejut. Di antara sekian banyak bangku kosong di bis itu, untuk apa dia mengambil tempat di samping Mika?
Mika ingin mengajukan protes tapi wajah pria itu tampak terlalu murung. Maka, dia batalkan saja niatnya. Suasana hatinya sudah cukup buruk, dia tak mau memperburuk lagi hanya karena ribut dengan orang asing di negara tetangga. Akan memalukan.
***
Tempat pemberhentian pertama mereka adalah Marina Bay yang terkenal dengqn gedung-gedung mewahnya. Tanpa semangat, Mika ikut turun dari bis bersama penumpang tur yang lain.
Namun cuaca yang terik terlalu membuat kepalanya pening. Dia sama sekali tak mengerti kenapa dan untuk apa dia berada di sini sekarang. Penumpang yang lain asyik mengambil potret, berjalan-jalan, membuat video serta mendengarkan celotehan pemandu wisata. Hanya Mika dan Raga saja yang justru menjauh dari kerumunan itu.
"Buat apa sih orang datang ke sini? Cuma liat gedung kayak gini doang. Habis itu apa?"
Telinga Mika menangkap keluhan pelan dari sisi kanannya. Rupanya Raga sudah berada di sampingnya entah sejak kapan. Pria berambut agak gondrong itu melipat kedua tangan di depan dada bidangnya.
"Ya karena ini tempat ikonik. Lagian, kalau nggak suka, ngapain juga ikut tur ini? Udah tau kan kalau ini tur Singapura?" Mika menyambar agak sinis. Berhubung dia ikut tur ini, rasanya Raga juga menyindir dirinya.
"Ya karena istri saya ..., ah bukan ...," Raga langsung meralat kalimatnya sendiri. Mika memperhatikan dengan ekpresi aneh. "Mantan calon istri saya yang memilih paket turing ini, saya cuma bisa ikut aja. Karena sayang kalau dilewatkan, ya udah saya datang." Raga terdengar seperti pria putus asa yang mencurahkan isi hati secara tak sengaja.
Mika mengerling heran. "Mantan calon istri?" ulangnya memastikan.
"Ya. Harusnya ini paket bulan madu buat kami. Dia udah pesan duluan. Tapi seminggu sebelum menikah, dia malah mutusin buat balik sama mantannya." Raga mengusap hidungnya yang tak gatal, seolah hendak berusaha menunjukkan sikap santai.
Mika ikut sedih mendengar kisah Raga yang cukup memprihatinkan di matanya. Ditinggal menjelang hari pernikahan, pasti berat. "Mungkin nggak jodoh aja, kali ..." Mika menanggapi ala kadarnya, takut ikut campur terlalu dalam.
Raga berupaya keras menyembunyikan kesedihan di hatinya. "Kamu sendiri? Kamu keliatan nggak senang juga ikut tur ini. Terus buat apa di sini?" selidiknya.
Mika terlempar pada kenyataan. Kisahnya bahkan tidak lebih baik ketimbang kisah Raga. Dia ditinggal oleh suaminya sendiri di bulan madu. Menyedihkan, bukan?
"Kalau nggak mau cerita nggak apa-apa. Toh kita juga bukan teman, kan." Raga menyambar.
Kenapa hati pria ini terlalu pahit? Mika mendesis dalam hati. Padahal dia bukannya tak mau cerita. "Bukan gitu. Saya lagi mikir aja. Nasib saya juga nggak bagus-bagus banget, kok. Harusnya ini bulan madu saya sama suami saya. Tapi dia malah pergi sendiri. Mungkin mau menikmati liburannya sendiri." Mika tanpa sadar terlalu terbuka kepada pria aneh di hadapannya sekarang.
Bukannya ikut bersimpati, Raga justru cengengesan. Dia tertawa puas.
Mika menatapnya lebih aneh lagi. "Kok malah ketawa?!" gerutu Mika sebal. "Apanya yang lucu?!"
"Saya pikir nasib saya doang yang apes, ternyata ada yang lebih apes. Saya senang dapat teman sepenanggungan." Raga berujar santai.
Dih, orang nggak jelas! Mika bergerutu lagi dalam hatinya. Makin lama, tingkah Raga makin aneh saja.
"Ya lebih baik dari kamu kan? Seenggaknya saya nggak batal nikah!" Mika mempertahankan harga dirinya, meski dia sendiri malu untuk membanggakan hubungan palsu yang dia punya.
"Di mana-mana ya, lebih menyedihkan kamu sih. Baru kali ini saya liat ada orang yang ditinggal pas bulan madu." Raga enggan mengalah.
"Bodo amat!" Darah muda Mika yang pantang dilecehkan langsung membara, dia melangkah untuk meninggalkan Raga.
Namun Raga justru mengikutinya. "Karena kita bernasib sama, kamu sendiri, saya sendiri, ada baiknya kita berteman. Mungkin ... kita bisa saling membantu melewati tur yang menyebalkan ini." Raga menjulurkan tangannya ke depan Mika. "Raga. Raga Suryadana. Panggil aja Raga, kayaknya sih, aku lebih tua dari kamu, jadi kita bisa bicara dengan santai kan? Nggak perlu kaku."
Senyum percaya diri dari wajah tampan Raga entah kenapa membuat Mika tersenyum meringis agak geli. Tapi niat baik dari tangan itu dia terima, dia sambut dengan terbuka pula. "Mika. Cukup Mika aja. Kayaknya iya, aku lebih muda. Aku masih 19 tahun."
"Hah?!" Tiba-tiba Raga terbelalak. "Sem ... sembilan belas?! Betul?! Wah, zaman sekarang orang-orang suka nikah muda ya?!" Matanya membulat.
"Emangnya kamu berapa? Muka kamu keliatan masih kayak dua puluh satu."
Raga tertawa bangga sebentar. "Dua puluh sembilan. Makasih ya pujiannya, aku memang awet muda."
Sekarang giliran Mika yang terbelalak. Dia tak sangka pria aneh ini sungguh sepuluh tahun lebih tua darinya. Sepuluh tahun. Satu dekade. Wajahnya tampak begitu manis. Itu artinya dia sebaya dengan Janu. Mengingat Janu membuat Mika mencelos kembali.
Pemandu wisata memanggil mereka untuk berkumpul, mereka akan segera berangkat ke rest area untuk makan siang. Tiba-tiba, Raga menarik tangan Mika.
"Minimal foto dulu di sini! Sayang kan, udah jauh-jauh ke sini kalau nggak foto. Mana tau nanti mertua kamu mau liat!"
Apa yang dikatakan Raga ada benarnya. Sebab itu Mika setuju saja saat Raga mengambil potretnya dengan ponsel pintar milik Mika. "Sekarang kita berdua. Sebagai tanda pertemanan." Dengan seenaknya, Raga juga mengambil potret mereka berdua.
"Habis dari sini kamu mau ke mana?"Mika agak terkejut mendapati pertanyaan bernada agak posesif dari Raga saat kegiatan turing mereka sudah berakhir. Air muka Mika tampak agak kebingungan harus merespons bagaimana. Sejak tadi mereka secara alami menjadi lebih mengenal satu sama lain.Mereka makan bersama di meja yang sama, berfoto bersama. Sejujurnya Mika nyaman sebab rasanya jadi tak sepi, ada seseorang yang menjadi teman bicara di tur ini. Namun, untuk terus menjalin pertemanan lebih lanjut, rasanya Mika tak bisa. Selain karena ada Janu yang sudah menunggunya, dia juga takut kalau Raga punya niat lain. Bagaimana kalau laki-laki ini hanya mencari pelampiasan belaka?"Eh ..., aku harus balik ke hotel sekarang." Mika menjawab kikuk."Kita nggak bakal ketemu lagi?" tanya Raga yang terlihat agak menyayangkan perpisahan mereka."Soal itu ..., ah ..." Mika tergagap.Raga tiba-tiba menjulurkan tangannya. "Minta nomorhapekamu,
"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu, ya. Padahal baru kenal."Janu mendadak mengungkit soal Raga saat dia dan Mika akan kembali ke Indonesia. Alis Mika langsung terangkat sedikit, "Tiba-tiba aja Mas bahas dia lagi. Bikin kaget aja." Mika tertawa kikuk.Aneh memang. Padahal selama minum kopi bersama tempo hari, Janu tak banyak bersuara. Justru di saat hendak pulang begini tiba-tiba saja dia berkomentar."Ya, tiba-tiba aja keingat lagi. Ada enaknya kan kamu ikut acara tur itu? Jadi dapat teman baru. Orangnya juga keliatan asyik. Mungkin nanti bisa jumpa lagi pas kita udah balik.""Aku nggak ada maksud lain, kok.""Emangnya aku bilang apa? Jangan salah paham, Mika. Justru aku senang kok. Kamu kira aku cemburu, ya?" balas Janu setengah tertawa."Heh? Cemburu? Ya nggaklah, Mas! Nggak mungkin juga Mas Janu cemburu. Ha ha. Apaan sih!"Keduanya terdiam lebih canggung. "Maaf, ya. Kayaknya aku salah ngomong, nggak tepattiming&nbs
"Hei! Oi! Oi!"Mika mempercepat langkah menuju gedung fakultas hukum, menghindari suara familier yang dia yakini memanggilnya. Sial benar, gara-gara perpustakaan dekat dengan gedung fakultas ekonomi, dia terpaksa sering berjumpa dengan momok yang dia benci.Bahkan setelah masa ospek telah berlalu sekalipun, buat apa River masih merongrong dirinya? Demi Tuhan! Mika menggeretakkan gigi dengan jengkel. Namun, langkahnya tiba-tiba dihadang oleh orang yang dia maksud. Mata Mika langsung berputar sebal."Kamu menghindar, ya?!" sergah River tak percaya."Eh ... Nggak kok, Kak. Aku cuma ..., aku lagi agak buru-buru." Mika berbohong."Halah, nggak mungkin kamu nggak dengar aku tadi manggil kamu!" River membentak. "Lagi nggak ada kelas, kan? Tolong belikan roti, dong." River mengeluarkan dompet dari tas sandang kulitnya.Jelas-jelas permintaan River ini sama sekali tak masuk akal. Kenapa dia tak beli sendiri saja? Terlebih, cuma untuk membeli sepotong
Wajah Mika agak terperangah sewaktu mendapati sesosok gadis berseragam tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Gadis itu memegang tas sekolah di depan roknya, senyum manis campur gugup tersungging di bibirnya yang ranum."Kamu siapa? Ngapain di sini?" tanya Mika agak kebingungan."Kak Mika! Halo, Kak!" Gadis manis berambut bob itu menyapa Mika balik dengan hangatnya.Mika mengernyit. "Kamu kenal aku dari mana?""O, maaf, Kak ... nama aku Rossa. Aku adik kelas Kakak. Pasti Kakak nggak kenal aku, tapi aku kenal sama Kakak. Ya ... siapa juga yang nggak bakal kenal sama Kak Mika? Kak Mika kan istrinya Pak Janu. He he."Senyum Rossa entah mengapa cukup membuat Mika agak bergidik. Apa maunya cewek ini? pikirnya. "O gitu ya, jadi ada urusan apa? Cari Pak Janu?""Iya, Kak. Sebetulnya aku ada janji buat les privat sama Pak Janu. Tapi entah kenapa, Pak Janu nggak bisa dihubungi." Rossa memasang air muka murung."Kalau gitu masuk dulu ayo. Mun
Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum jadwal penayangan film yang ingin ditonton oleh Raga dan Mika. Keduanya lebih dulu mendatangi sebuah kafe di dekat bioskop untuk membunuh waktu.Jemari Raga yang lentik mengaduk sendok di dalam gelasnya yang berisi kopi susu. Sesekali matanya melirik Mika yang justru lebih fokus menonton TV yang menyala di sudut kafe."Aku perhatikan kamu sekarang dekat sama River." Raga akhirnya bersuara setelah beberapa menit meja mereka hening."Aku? River? Nggak, kok." Mika menyahut sekenanya, bahkan tidak memandang balik."Aku liat kamu pergi sama dia kemarin."Ucapan Raga berhasil menarik perhatian Mika, pandangan mereka bertabrakan. "Jujur ya, aku jadi takut loh, kamu suka ngeliatin aku diam-diam kayak gitu.""Emangnya nggak boleh? Ngeliatin orang lain kan bukan tindakan kriminal."Mika tercenung sesaat, apa maksud Raga berkata seperti itu? "Kamu jangan salah paham, jangan ge-er juga," sambung Raga,
Seolah ada bel raksasa yang berdentang di atas kepala Mika, dia melongo sesaat memandangi lurus mata Raga yang juga tak kalah tajam menatapnya.Satu yang paling menyesaki pikiran Mika, mungkinkah ini kesempatannya untuk mengenal cinta? Apa aku boleh jujur tentang pernikahanku sama Mas Janu? Tapi kalau aku jujur ... enggak, emangnya aku ini keliatan kayak cewek putus asa yang mau pacaran sama siapa aja? Otak Mika terbelah jadi beberapa bagian. Harus dia akui, Selama ini dia selalu penasaran bagaimana rasanya jatuh cinta dan memiliki kekasih. Janu mungkin memang menikahinya, tapi pria itu sama sekali tak pernah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Dan Janu juga bilang bahwa mereka boleh-boleh saja memiliki hubungan di luar perjanjian pernikahan mereka.Jadi, sah-sah saja kan apabila Mika memulai petualangannya sendiri?"Eum ..." Mika bergumam."Pfttt!!"Kepala gadis itu sontak terangkat tatkala dia dengar suara tawa yang di
Jemari lentik Mika menari dengan lincah di ataskeyboardlaptopnya. Matanya begitu fokus menatap layar yang penuh tugas sampai dia tak sadar jika seorang gadis berambut bob kini sudah duduk di hadapannya.Gadis berambut bob itu tengah menikmati sebatang es krim sambil sesekali melirik Mika dengan muka penuh tanda tanya. Selang satu menit, barulah Mika sadar akan keberadaan gadis cantik berkulit pucat itu. Namun, berhubung saat ini dirinya sedang berada di kantin kampus, dia tak bertanya mengapa gadis itu duduk di hadapannya. Siapa saja bisa duduk di mana saja, bukan?"Kamu Mika, ya?"Namun rupanya gadis itulah yang lebih dulu menyapa Mika."Iya. Maaf ... kamu siapa ya?" Mika berpaling sebentar dari laptopnya."Namaku Tasya." Gadis bermata tajam itu tersenyum manis sambil menjulurkan tangan kanan yang segera disambut Mika dengan kikuk."Ada apa, ya?" tanya Mika kebingungan."Nggak ada, sih. Emang nggak boleh ya kalau
"Kok Bunda datang nggak bilang-bilang?"Mika cepat-cepat merapikan meja yang sedikit berantakan sebab ibunya datang ke rumah tanpa memberi tahu lebih dulu."Ya habis kamu juga nggak pernah ngunjungi Bunda lagi sejak kamu nikah. Keasyikan menikmati segala kemewahan ya?" gerutu Bunda sambil seenaknya duduk di sofa."Bukan gitu, Bunda. Tapi aku banyak tugas kuliah. Kan Bunda tau aku udah mulai kuliah." Mika berjalan ke dapur lalu merejang air. "Bunda mau minum kopi atau teh?""Yah ... masa rumah orang kaya minum teh atau kopi? Minum jus, dong!""Jangan bercanda ah, Bun. Norak banget." Mika mulai jengkel."Iya ... biasalah! Teh aja. Kamu mah nggak bisa diajak bercanda sedikit. Omong-omong, suami kamu belum pulang?""Belum, Bun. Mungkin bentar lagi." Mika menyahut sambil menyiapkan gelas dan gula.Bunda mengambil remote yang berada di atas meja kemudian menyalakan TV. Matanya sesekali melirik kepada Mika yang masih di dapur. Ketika