Air muka Raga sedikit berubah mendapat pertanyaan bernada seperti itu dari Mika. "Kenapa kamu penasaran?"
"Jangan salah paham, ya! Bukan ada maksud aku buat ... menggoda kamu! Jangan mikir ke arah sana!" ujar Mika langsung membuat klarifikasi.
"Hm, siapa juga yang bilang kamu menggoda aku? Nggak ada yang bilang begitu, berarti kan kamu yang ngarep aku mikir ke arah sana."
"Heh! Enak aja! Maksud aku tuh ... kamu kan udah ditinggal sama mantan tunangan kamu, apa iya kamu nggak pernah terpikir tentang dia?"
Ekspresi Raga terlihat menjadi lebih murung ketimbang sebelumnya, wajah milik seseorang terbayang di benaknya, seseorang yang sudah setengah mati dia coba untuk lupakan.
"Nggak perlu dibahas," tandas Raga tegas.
"Kenapa?" Mika masih penasaran.
"Kalau kamu cuma penasaran doang, jangan ditanya. Kecuali kamu mau bantu aku buat melupakan dia."
Mika tertohok mendengar serangan mendadak dari Raga, maka tak dia lanjutkan lagi rasa ing
Rossa sedang asyik membaca sebuah novel ketika pintu kamarnya dibuka oleh tantenya."Kamu nggak belajar, Ros?" tanya tante Rossa pelan."Udah tadi. Mau rehat sebentar, Tan," sahut Rossa tanpa beralih dari novel yang dia pegang.Tante Rossa menarik napas sebentar lalu duduk di tepi tempat tidur Rossa. "Ros ... Tante mau ngomong sesuatu sama kamu, om kamu belum cerita ya?""Hm?" toleh Rossa penasaran."Itu ..." Tante Rossa menggaruk tengkuknya ragu-ragu. "Om kamu pindah tugas, Ros. Kayaknya kita bakal pindah bulan depan."Novel di tangan Rossa otomatis berpindah ke atas kasur, sejenak tubuh Rossa membeku. "Hah?! Pindah gimana? Ke mana?!" Matanya melotot, mukanya mulai pucat."Ya ke luar kota," jawab Tante dengan entengnya. "Ke Kalimantan.""Kalimantan?! Jauh banget!" pekik Rossa panik. "Terus sekolah aku gimana, Tan?!""Ya mau nggak mau kamu harus ikut pindah. Ini om kamu nanti mau ke sekolah kamu buat ngurus perpindahan."
"Mas baru pulang?" sapa Mika yang sedang menuruni tangga untuk ke dapur, dan tepat saat itu pintu utama terbuka dan Janu masuk dengan muka datar.Sesaat Janu cuma terdiam, menatap Mika dengan wajah tanpa ekspresi. Yang terbayang di pikirannya hanya pengakuan Rossa tadi. Perlukah untuk menanyakannya langsung kepada Mika? Janu sendiri tak tahu mesti berbuat apa sekarang."Mas kenapa? Mau makan? Aku siapkan dulu ya." Mika yang kebingungan pun bergegas untuk mencairkan suasana yang kaku.Setelah Mika sampai di pantri, Janu ikut menghampiri. Dia kumpulkan nyali untuk membuka keresahan yang tertimbun di dadanya. "Ka ...""Hm?" toleh Mika terheran-heran. "Mas mau minum teh?"Janu menggeleng. "Ada sesuatu yang serius yang harus Mas tanyakan ke kamu,""Apa? Ngomong aja, Mas. Ada apa?" Mika menunggu dengan perasaan tak nyaman dan was-was."Kamu ada hubungan sama Raga?" tanya Janu tepat pada sasaran.Seketika wajah Mika memucat, tangannya
Hampir satu menit lamanya Mika terdiam memandang pintu rumah bundanya dengan mata kosong. Apa yang terjadi terakhir kali mereka jumpa masih membebani hati, tapi dia kuatkan juga niatnya lantas mengetuk pintu kemudian."Bun ... Bunda ..." sapa Mika ragu-ragu.Ternyata sang Bunda tengah memasak di dapur ketika pintu dibuka oleh Mika sebab tak dikunci. "Mika! Bunda kira kamu nggak akan ke sini lagi ..." ucap Bunda terlihat agak canggung."Ya Bunda juga nggak berusaha untuk menghubungi aku," sahut Mika sambil duduk di sofa tua.Kompor yang masih menyala dipadamkan lebih dulu untuk kemudian Bunda ikut bergabung dengan Mika di ruang depan. "Mika ..." Suara bunda Mika terdengar lesu. "Bunda malu," ungkapnya sambil duduk di depan Mika."O, Bunda masih bisa ngerasa kayak gitu? Wajarlah," sahut Mika agak sinis, amarahnya belum padam sepenuhnya."Kamu ke sini mau ngomel-ngomel lagi? Bunda kan udah mengakui kesalahan ...""Nggak, kok. Aku juga ud
"Bisa kita bicara bentar?" tanya Janu lagi, mulai mendesak.Rossa melirik om dan tantenya lagi. "Sebentar ya, Om," katanya."Jangan lama. Sebentar lagi jadwal penerbangan kita!" tegas sang Om.Rossa mengangguk pelan lalu ikut berjalan bersama Janu menuju pintu keluar bandara. Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri berhadapan saling memandang seolah menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu."Kamu harus betul-betul pergi sekarang?" tanya Janu akhirnya."Ya. Kayak yang aku bilang kemarin di rumah Bapak, om aku pindah tugas ke Kalimantan.""Kamu nggak akan kembali lagi?"Helaan napas Rossa menjadi lebih panjang. "Aku nggak tau soal itu, belum aku pikirkan.""Bukannya kamu bilang kamu mau lepas dari jerat om kamu? Terus kenapa kamu ikut pergi?"Alih-alih terharu dengan perhatian yang diberikan Janu, amarah Rossa justru meninggi. "Emangnya ada pilihan lain buat aku?! Emangnya aku udah lulus?! Selama aku masih di bawah peng
Janu berjalan gontai menuju ruang kerjanya. Hari ini pun terasa berat. Sebagai guru muda di Sekolah Menengah Atas, tiap hari adalah tantangan baru baginya. Menghadapi tingkah pola murid-muridnya dan juga menyiapkan materi pelajaran setiap hari bukanlah persoalan gampang. Khususnya menjelang akhir semester genap seperti sekarang, ada banyak raport yang harus dia kerjakan.Pria berkacamata itu duduk di kursinya dengan lesuh. Meja kerja yang berisi komputer dan alat-alat tulis tampak berantakan, semuanya diletakkan secara sembarangan. Sesaat pandangannya terlempar keluar jendela ruang kerja yang penuh buku itu, terutama buku pelajaran kimia. Lalu matanya terarah kepada tumpukan formulir di atas sudut kanan meja, formulir pendaftaran masuk universitas milik kelas 12 IPA 3 yang sudah setahun dia bina.Ini adalah tahun pertama dia mendapat kesempatan menjadi wali kelas sejak resmi menjadi guru lima tahun yang lalu. Jari-jarinya yang lentik bergerak membuka satu per satu lemb
"Bapak mau bicara soal formulir pend--""Nggak perlu, Pak. Saya nggak lanjut sekolah." Mika langsung memotong ucapan Janu.Muka Janu agak terperangah. Wajar, sebab ini pertama kali Mika memotong ucapannya. Gadis berwajah datar ini memang dingin, tapi belum pernah sedingin ini."Ehm ..., maaf ya, tapi apa Bapak boleh masuk ke dalam? Apa ada orang tua kamu?" tanya Janu masih berusaha bersikap santai.Mika berniat untuk menghalangi Janu masuk ke dalam rumahnya, tapi tiba-tiba saja ibunya muncul dari dalam rumah. "Heh! Mika! Ada wali kelas kamu kok kamu nggak panggil Bunda?! Pak Janu ..., silakan masuk, Pak. Silakan." Bunda Mika mempersilakan Janu masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Janu melihat-lihat sebentar kondisi ruang tamu rumah Mika yang sempit. Hanya ada sebuah sofa butut, meja kayu kecil, serta sebuah TV cembung keluaran lama.Mika menyajikan segelas teh panas dan juga setoples kue kering kepada Janu. Setelah kondisi agak tenang, bar
"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya."Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya."Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada.""Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak."Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat unt
Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk."Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan