Janu berjalan gontai menuju ruang kerjanya. Hari ini pun terasa berat. Sebagai guru muda di Sekolah Menengah Atas, tiap hari adalah tantangan baru baginya. Menghadapi tingkah pola murid-muridnya dan juga menyiapkan materi pelajaran setiap hari bukanlah persoalan gampang. Khususnya menjelang akhir semester genap seperti sekarang, ada banyak raport yang harus dia kerjakan.
Pria berkacamata itu duduk di kursinya dengan lesuh. Meja kerja yang berisi komputer dan alat-alat tulis tampak berantakan, semuanya diletakkan secara sembarangan. Sesaat pandangannya terlempar keluar jendela ruang kerja yang penuh buku itu, terutama buku pelajaran kimia. Lalu matanya terarah kepada tumpukan formulir di atas sudut kanan meja, formulir pendaftaran masuk universitas milik kelas 12 IPA 3 yang sudah setahun dia bina.
Ini adalah tahun pertama dia mendapat kesempatan menjadi wali kelas sejak resmi menjadi guru lima tahun yang lalu. Jari-jarinya yang lentik bergerak membuka satu per satu lembar formulir itu. Keningnya berkerut lantaran ada formulir yang kurang. Sekali lagi Janu memeriksa lembar demi lembar, tak kunjung dia temukan nama yang dia cari. "Mana Mika?" gumamnya bingung.
Seolah tak mau cepat menyerah, Janu memeriksa lembaran itu sekali lagi. Masih nihil. Hatinya mulai cemas. Kemungkinan yang terburuk mulai muncul di kepalanya.
Tiga bulan terakhir memang sikap Mika mendadak berubah. Padahal sejak kelas sepuluh, dia adalah salah satu siswa andalan yang cukup berprestasi. Selain dia jadi lebih murung, prestasinya juga turun cukup signifikan. Dia kerap absen, bahkan tak ikut kegiatan klub apapun. Beberapa kali Janu melihat Mika hanya duduk diam di pojokan, tak bicara, tak merespons.
Tepat pada saat itu, salah seorang murid kelas 12 yang dia kenal melintas di depan pintu ruang kerjanya. Murid perempuan itu berpakaian kasual, tampaknya sedang datang untuk mengembalikan buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan sebab di pelukannya dia membawa beberapa buku. Janu segera berlari keluar menghampiri.
"Bapak mau tanya, apa kamu pernah ngeliat Mika sejak kelulusan?" tanya Janu.
Murid perempuan itu berpikir sejenak. "Mika ..., Mika di kelas kita kan, Pak?"
"Iya. Mika yang mana lagi. Dia nggak ikut kumpulin formulir pendaftaran buat kuliah. Apa kamu tau kabar dia? Kayaknya dia sejak kelulusan belum pernah datang ke sekolah lagi."
"Wah saya kurang tau soal itu, Pak. Tapi ... setau saya Mika emang nggak mau lanjut kuliah, kami pernah ngomong soal ini di kelas. Dia bilang dia emang nggak niat buat lanjut kuliah."
"Hah? Yang benar?" Janu terlihat lumayan terkejut.
"Iya, Pak. Sayang juga sih, dia kan pintar. Tapi ..., saya juga nggak bisa berbuat apa-apa. Hehe, maaf ya, Pak."
Wajah Janu berubah murung. Matanya sesaat menerawang. "Makasih kalau gitu, Bapak akan coba cari tau apa rencana dia untuk ke depan."
Janu kembali ke dalam ruang kerjanya. Pria bertubuh tinggi tegap itu menghela napas. Dia tak bisa abai begitu saja dengan murid didikannya. Terlebih murid potensial seperti Mika. Walau dia pendiam dan cenderung sulit berbaur, Mika bukan siswa nakal pembuat onar, dia selalu serius mengerjakan tugas. Akan sangat disayangkan kalau dia tak melanjutkan pendidikan.
Janu mengeluarkan ponsel pintar lalu mencari berkas berisi alamat dan nomor orang tua Mika. Panggilannya tak direspons. Sekali lagi Janu mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia harus datang sendiri ke rumah Mika.
Mendadak hatinya menjadi gelisah dan gugup. Bagaimana cara dia bicara dengan Mika dan orang tuanya? Dia belum berpengalaman perihal situasi seperti ini. Dan lagi, Mika bukan gadis yang ceria, sulit untuk mengajaknya bicara terbuka.
Namun tak ada pilihan, mungkin satu keputusannya hari ini bisa mengubah masa depan Mika. Itulah yang membulatkan niatnya.
***
Mata elang Janu menyisir kawasan rumah Mika. Dia tak yakin benar apakah rumah yang dia datangi sungguh rumah Mika. Rumah sederhana itu berada di kawasan kumuh, terletak di salah satu barisan bedeng.
Beberapa bocah ingusan tengah bermain sepak bola di jalan yang sempit. "Ini betul rumah Mika?" Janu memberanikan diri bertanya kepada mereka.
"Iya! Panggil aja, Om! Mika! Mika!"
"Mika! Mika ada tamu!"
Bocah-bocah itu bersahut-sahutan memanggil Mika. Janu lumayan canggung dibuat mereka sebab mata para tetangga jadi tepat mengawasi dirinya.
"Ya ...?"
Pintu rumah petak kecil itu terbuka, Mika keluar dengan mengenakan baju tidur lusuh. Rambutnya agak berantakan, wajahnya kusut. Janu menatapnya kikuk, ini pertama kali dia melihat Mika dalam tampilan seperti ini.
Sekejap dia lupa Mika adalah muridnya atau bisa dikatakan mantan murid, dia tampak dewasa dan alami. "Pak Janu?!" Mata Mika membulat. "Ngapain di sini?!"
"Bapak mau bicara soal formulir pend--""Nggak perlu, Pak. Saya nggak lanjut sekolah." Mika langsung memotong ucapan Janu.Muka Janu agak terperangah. Wajar, sebab ini pertama kali Mika memotong ucapannya. Gadis berwajah datar ini memang dingin, tapi belum pernah sedingin ini."Ehm ..., maaf ya, tapi apa Bapak boleh masuk ke dalam? Apa ada orang tua kamu?" tanya Janu masih berusaha bersikap santai.Mika berniat untuk menghalangi Janu masuk ke dalam rumahnya, tapi tiba-tiba saja ibunya muncul dari dalam rumah. "Heh! Mika! Ada wali kelas kamu kok kamu nggak panggil Bunda?! Pak Janu ..., silakan masuk, Pak. Silakan." Bunda Mika mempersilakan Janu masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Janu melihat-lihat sebentar kondisi ruang tamu rumah Mika yang sempit. Hanya ada sebuah sofa butut, meja kayu kecil, serta sebuah TV cembung keluaran lama.Mika menyajikan segelas teh panas dan juga setoples kue kering kepada Janu. Setelah kondisi agak tenang, bar
"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya."Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya."Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada.""Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak."Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat unt
Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk."Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan
Mata Mama membulat lebar kala melihat Mika untuk pertama kali. Sejenak dia tak sanggup berkata-kata. Respons yang cukup masuk akal mengingat Mika masih terlihat begitu muda. Sekilas dia memandang puteranya, matanya seolah hendak memastikan apakah benar yang dia lihat ini: Janu membawa seorang gadis muda sebagai kekasihnya."Ma, kenalin, ini Mika. Mika, ini mamaku. Kamu bisa panggil 'mama' juga." Janu memperkenalkan mereka kepada satu sama lain.Dengan gugup, Mika menyalim tangan ibunya Janu yang masih belum juga bisa berkata-kata. "Mika, Ma ..." sapa Mika kaku."Ah ..., ya. Ayo masuk, kita makan siang sekarang aja, ya. Mama udah lapar." Ibu Janu membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua.Meski Mika agak ngotot ingin membantu, tapi Mama menahan dan meminta agar dia duduk santai saja di meja makan. Sedang Mama sendiri menarik Janu ke dapur dengan alasan untuk membantu membawakan peralatan makan.Namun, bukannya cuma diminta membawakan alat mak
Walau sempat kembali ragu, Mika memantapkan hatinya untuk menerima Janu dan menandatangani surat perjanjian pra-nikah mereka. Yang mana poin utamanya adalah ini hanya berlaku sementara, baik Mika maupun Janu tidak boleh mencampuri ranah pribadi terlalu dalam, tidak ada kontak fisik, tidak diperbolehkan untuk merasa cemburu pada satu sama lain, dan mereka bebas menjalin hubungan di luar pernikahan mereka.Mirip seperti kawin kontrak tapi tidak ada sistem pembayaran. Setelah bercerai pun, mereka tak akan meributkan harta gono-gini, soal harta bersama diatur oleh Janu.Pernikahan secepatnya diatur, bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk universitas. Mika langsung diboyong ikut ke rumah Janu, tak lagi tinggal bersama bundanya. Janu pun tak merasa canggung sama sekali, berbalikan dengan Mika yang tiap detik jantungnya selalu nyaris meledak. Dengan santai, Janu mengambil sofa sebagai tempat tidurnya. Ranjang bisa dipakai sepenuhnya oleh Mika.Yang menjadi pusat uta
Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikutcity tourseorang diri. Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana. Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura. Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjakethoodiegelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak. "Pa
"Habis dari sini kamu mau ke mana?"Mika agak terkejut mendapati pertanyaan bernada agak posesif dari Raga saat kegiatan turing mereka sudah berakhir. Air muka Mika tampak agak kebingungan harus merespons bagaimana. Sejak tadi mereka secara alami menjadi lebih mengenal satu sama lain.Mereka makan bersama di meja yang sama, berfoto bersama. Sejujurnya Mika nyaman sebab rasanya jadi tak sepi, ada seseorang yang menjadi teman bicara di tur ini. Namun, untuk terus menjalin pertemanan lebih lanjut, rasanya Mika tak bisa. Selain karena ada Janu yang sudah menunggunya, dia juga takut kalau Raga punya niat lain. Bagaimana kalau laki-laki ini hanya mencari pelampiasan belaka?"Eh ..., aku harus balik ke hotel sekarang." Mika menjawab kikuk."Kita nggak bakal ketemu lagi?" tanya Raga yang terlihat agak menyayangkan perpisahan mereka."Soal itu ..., ah ..." Mika tergagap.Raga tiba-tiba menjulurkan tangannya. "Minta nomorhapekamu,
"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu, ya. Padahal baru kenal."Janu mendadak mengungkit soal Raga saat dia dan Mika akan kembali ke Indonesia. Alis Mika langsung terangkat sedikit, "Tiba-tiba aja Mas bahas dia lagi. Bikin kaget aja." Mika tertawa kikuk.Aneh memang. Padahal selama minum kopi bersama tempo hari, Janu tak banyak bersuara. Justru di saat hendak pulang begini tiba-tiba saja dia berkomentar."Ya, tiba-tiba aja keingat lagi. Ada enaknya kan kamu ikut acara tur itu? Jadi dapat teman baru. Orangnya juga keliatan asyik. Mungkin nanti bisa jumpa lagi pas kita udah balik.""Aku nggak ada maksud lain, kok.""Emangnya aku bilang apa? Jangan salah paham, Mika. Justru aku senang kok. Kamu kira aku cemburu, ya?" balas Janu setengah tertawa."Heh? Cemburu? Ya nggaklah, Mas! Nggak mungkin juga Mas Janu cemburu. Ha ha. Apaan sih!"Keduanya terdiam lebih canggung. "Maaf, ya. Kayaknya aku salah ngomong, nggak tepattiming&nbs