Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.
Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.
Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.
Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.
Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk.
"Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan, secara alami mulut Janu mengeluarkan umpatan.
Entah bagaimana cara wanita keji itu bisa melanjutkan hidup seolah tak ada apa-apa, dan suaminya sanggup menerima segala keburukan di dalam dirinya. Lantaran dia seorang, Janu seumur hidup tak akan bisa memiliki kehidupan normal. Sesuatu di hidupnya yang paling berharga sudah dihancurkan. Dan tak ada siapapun yang bisa mengubahnya.
Ketika dia masih sibuk melamun mengingat wajah mantan kekasih terburuknya, tiba-tiba saja ponsel pintarnya berbunyi. Masuk sebuah panggilan dari sebuah nomor kontak yang tak asing.
"Ha ... kenapa, Ma?" Janu mengangkat panggilan itu setengah hati. Dia memang kerap menghindar dari teror ibunya yang tak henti-henti.
"Emangnya Mama nggak boleh telpon kamu? Kenapa kamu nggak balas pesan Mama?!" Ibunya protes dari ujung sana.
"Ya karena aku bosan sama pertanyaan Mama." Janu menjawab cuek, ibunya makin menyebalkan sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia menjadi ibu posesif yang selalu mau tau urusan anaknya, mirip ibu pengangguran yang kesepian. Janu paham situasinya, tapi belakangan sikap ibunya memang makin keterlaluan.
"Kamu ini kenapa sih, Jan?! Mama kan mama kamu, wajar kalau Mama cemas. Kamu liat nggak? Mantan kamu, Ratih. Dia udah nikah!"
Otomatis Janu memijat pelipisnya. Dia terbakar tiap kali nama itu disebut. Sudah agak lama dia menahan pikirannya itu tak mencetuskan nama itu. Belum lagi, soal ini sudah basi, dia sudah tahu sejak seminggu lalu.
"Ya terus kenapa? Biar aja. Dia kan udah dewasa, biar aja dia lanjutkan hidupnya."
"Ya terus kamu kapan?! Hah?! Ingat, Jan. Umur kamu sudah mau tiga puluh. Kamu sudah matang, tau? Sudah waktunya kamu nikah kayak si Ratih. Mama juga pingin punya cucu!"
Janu meraih bungkus rokok dari ujung mejanya, lagi-lagi pertanyaan serupa mencekoki dirinya. Dia nyalakan pemantik lalu mengisap dalam-dalam satu batang rokok.
"Kamu nggak mau jawab pertanyaan Mama, Jan?!" desak Mama tak sabaran.
Janu membuka jendelanya lebih lebar agar asap rokoknya bisa terbang keluar. Tanpa semangat sama sekali dia menyahut, "Aku udah ada niat untuk menikah, kok."
"Hah?!!! Yang benar kamu?!! Siapa?! Siapa pacar kamu?!" Mama bertanya dengan suara ditinggikan.
"Besok aja sekalian ketemu langsung. Mama siap-siap aja. Aku mau ajak dia makan siang bareng. Mama bisa kan siapin semuanya?"
"Pastinya, Janu! Pasti! Mama nggak nyangka loh! Kebetulan banget malam ini Mama telpon kamu. Tiba-tiba kamu bilang udah punya pacar, Mama kira kamu nggak akan pernah punya pacar lagi, loh!"
Janu cuma bisa menghela napas pasrah. Seperti benang takdir, semuanya saling mengikat. Tepat setelah Ratih menikah, ibunya mendesak dia pula untuk menikah, dan ada Mika yang akan dia nikahi. Meski pernikahan itu tak serius sebenarnya, tapi rasanya, semua sudah diatur oleh alam. Apa mau dikata, Janu cuma bisa ikut arus. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Mika membasahi bibirnya yang kering dengan saliva. Saking gugupnya, sejak tadi keringat mengucur agak banyak di pelipis dan lehernya.
"Santai aja, ibu saya bukan orang aneh, kok." Janu yang menyetir santai di samping Mika seakan bisa membaca pikiran gadis itu.
"Nggak tau, Pak ..."
"Jangan panggil 'pak', dong." Janu memotong kalimat Mika. "Kita harus keliatan alami sebagai pasangan. Panggil aja 'mas' atau 'sayang', ngomong santai aja," katanya lagi.
Mika menelan salivanya lebih berat. Memanggil mantan wali kelasnya sendiri sebagai 'sayang'? Hal ini tak pernah dia pikirkan, terbersit satu detik di kepala pun tidak.
"Ba ... baik, Mas kalau gitu." Mika menurut walau pipinya terasa akan terbakar.
"Kamu udah yakin kan sama keputusan kamu? Kalau sekali setuju, kamu nggak akan bisa mundur lagi. Ini bukan kontrak main-main."
"Iya, soal itu saya ..., eh, aku ... udah yakin. Aku mau kuliah. Menikah empat tahun bukan masalah." Mika mengangguk setuju. "Cuma ..., apa Mas juga yakin? Kenapa Mas mau melakukan hal sejauh ini cuma untuk aku?"
"Jangan berpikir aneh-aneh. Orang tua aku juga udah menuntut aku untuk nikah. Jadi aku pikir, kita sama-sama diuntungkan, kok. Setelah kita cerai nanti, mungkin dia bakal sadar dan nggak akan menuntut aku buat nikah lagi."
Sejenak Mika tercenung. "Tapi ..., kenapa Mas nggak nikah sungguhan aja? Mas kan pasti bisa cari calon istri beneran. Kenapa nggak mau nikah selamanya?" selidik Mika penasaran.
"Soal itu kurasa kamu nggak perlu tau," tegas Janu tiba-tiba berubah sikap menjadi dingin.
"Maaf Mas, aku lancang. Aku nggak akan tanya hal privasi lagi."
"Udahlah. Lupakan aja. Tujuanku cuma mau bantu kamu. Kamu murid berprestasi. Kamu punya impian dan tujuan mulia. Kamu cukup pikirkan sekolah aja nanti. Fokus. Soal hubungan kita ..., nggak akan terjadi apa-apa. Aku nggak akan berusaha untuk membuat kamu suka sama aku. Tenang aja, kita bakal hidup masing-masing di atas atap yang sama. Kamu bisa punya pacar sendiri. Aku nggak akan melarang, asal nggak ada orang yang tau."
"Hah? Pacar?"
"Ya. Bilang aja dia selingkuhan kamu. Bilang aja kalau pernikahan kita udah retak. Setelah kita cerai, kamu bisa nikah sama pacar kamu yang sebenarnya. Mudah, kan?" Janu tersenyum pahit.
Entah bagaimana, penjelasan Janu barusan membuat hati Mika sedih. Sekalipun pernikahan ini hanya kedok, tapi rasanya dia tak akan berselingkuh. "Mana mungkinlah ada cowok yang mau pacaran sama perempuan yang udah nikah." Mika mendesis.
"Kamu terlalu naif. Yang pacaran sama ibu-ibu aja banyak. Apalagi kamu, kamu muda, cantik, manis. Pasti di kampus nanti banyak yang ngecengin kamu."
Mika terdiam, dia tersipu dan wajahnya memerah. Barusan Janu seolah memberinya pujian tanpa dia sadari.
"Yup. Kita udah sampai. Jangan sampe salah ngomong, ya."
Mata Mama membulat lebar kala melihat Mika untuk pertama kali. Sejenak dia tak sanggup berkata-kata. Respons yang cukup masuk akal mengingat Mika masih terlihat begitu muda. Sekilas dia memandang puteranya, matanya seolah hendak memastikan apakah benar yang dia lihat ini: Janu membawa seorang gadis muda sebagai kekasihnya."Ma, kenalin, ini Mika. Mika, ini mamaku. Kamu bisa panggil 'mama' juga." Janu memperkenalkan mereka kepada satu sama lain.Dengan gugup, Mika menyalim tangan ibunya Janu yang masih belum juga bisa berkata-kata. "Mika, Ma ..." sapa Mika kaku."Ah ..., ya. Ayo masuk, kita makan siang sekarang aja, ya. Mama udah lapar." Ibu Janu membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua.Meski Mika agak ngotot ingin membantu, tapi Mama menahan dan meminta agar dia duduk santai saja di meja makan. Sedang Mama sendiri menarik Janu ke dapur dengan alasan untuk membantu membawakan peralatan makan.Namun, bukannya cuma diminta membawakan alat mak
Walau sempat kembali ragu, Mika memantapkan hatinya untuk menerima Janu dan menandatangani surat perjanjian pra-nikah mereka. Yang mana poin utamanya adalah ini hanya berlaku sementara, baik Mika maupun Janu tidak boleh mencampuri ranah pribadi terlalu dalam, tidak ada kontak fisik, tidak diperbolehkan untuk merasa cemburu pada satu sama lain, dan mereka bebas menjalin hubungan di luar pernikahan mereka.Mirip seperti kawin kontrak tapi tidak ada sistem pembayaran. Setelah bercerai pun, mereka tak akan meributkan harta gono-gini, soal harta bersama diatur oleh Janu.Pernikahan secepatnya diatur, bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk universitas. Mika langsung diboyong ikut ke rumah Janu, tak lagi tinggal bersama bundanya. Janu pun tak merasa canggung sama sekali, berbalikan dengan Mika yang tiap detik jantungnya selalu nyaris meledak. Dengan santai, Janu mengambil sofa sebagai tempat tidurnya. Ranjang bisa dipakai sepenuhnya oleh Mika.Yang menjadi pusat uta
Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikutcity tourseorang diri. Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana. Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura. Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjakethoodiegelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak. "Pa
"Habis dari sini kamu mau ke mana?"Mika agak terkejut mendapati pertanyaan bernada agak posesif dari Raga saat kegiatan turing mereka sudah berakhir. Air muka Mika tampak agak kebingungan harus merespons bagaimana. Sejak tadi mereka secara alami menjadi lebih mengenal satu sama lain.Mereka makan bersama di meja yang sama, berfoto bersama. Sejujurnya Mika nyaman sebab rasanya jadi tak sepi, ada seseorang yang menjadi teman bicara di tur ini. Namun, untuk terus menjalin pertemanan lebih lanjut, rasanya Mika tak bisa. Selain karena ada Janu yang sudah menunggunya, dia juga takut kalau Raga punya niat lain. Bagaimana kalau laki-laki ini hanya mencari pelampiasan belaka?"Eh ..., aku harus balik ke hotel sekarang." Mika menjawab kikuk."Kita nggak bakal ketemu lagi?" tanya Raga yang terlihat agak menyayangkan perpisahan mereka."Soal itu ..., ah ..." Mika tergagap.Raga tiba-tiba menjulurkan tangannya. "Minta nomorhapekamu,
"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu, ya. Padahal baru kenal."Janu mendadak mengungkit soal Raga saat dia dan Mika akan kembali ke Indonesia. Alis Mika langsung terangkat sedikit, "Tiba-tiba aja Mas bahas dia lagi. Bikin kaget aja." Mika tertawa kikuk.Aneh memang. Padahal selama minum kopi bersama tempo hari, Janu tak banyak bersuara. Justru di saat hendak pulang begini tiba-tiba saja dia berkomentar."Ya, tiba-tiba aja keingat lagi. Ada enaknya kan kamu ikut acara tur itu? Jadi dapat teman baru. Orangnya juga keliatan asyik. Mungkin nanti bisa jumpa lagi pas kita udah balik.""Aku nggak ada maksud lain, kok.""Emangnya aku bilang apa? Jangan salah paham, Mika. Justru aku senang kok. Kamu kira aku cemburu, ya?" balas Janu setengah tertawa."Heh? Cemburu? Ya nggaklah, Mas! Nggak mungkin juga Mas Janu cemburu. Ha ha. Apaan sih!"Keduanya terdiam lebih canggung. "Maaf, ya. Kayaknya aku salah ngomong, nggak tepattiming&nbs
"Hei! Oi! Oi!"Mika mempercepat langkah menuju gedung fakultas hukum, menghindari suara familier yang dia yakini memanggilnya. Sial benar, gara-gara perpustakaan dekat dengan gedung fakultas ekonomi, dia terpaksa sering berjumpa dengan momok yang dia benci.Bahkan setelah masa ospek telah berlalu sekalipun, buat apa River masih merongrong dirinya? Demi Tuhan! Mika menggeretakkan gigi dengan jengkel. Namun, langkahnya tiba-tiba dihadang oleh orang yang dia maksud. Mata Mika langsung berputar sebal."Kamu menghindar, ya?!" sergah River tak percaya."Eh ... Nggak kok, Kak. Aku cuma ..., aku lagi agak buru-buru." Mika berbohong."Halah, nggak mungkin kamu nggak dengar aku tadi manggil kamu!" River membentak. "Lagi nggak ada kelas, kan? Tolong belikan roti, dong." River mengeluarkan dompet dari tas sandang kulitnya.Jelas-jelas permintaan River ini sama sekali tak masuk akal. Kenapa dia tak beli sendiri saja? Terlebih, cuma untuk membeli sepotong
Wajah Mika agak terperangah sewaktu mendapati sesosok gadis berseragam tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Gadis itu memegang tas sekolah di depan roknya, senyum manis campur gugup tersungging di bibirnya yang ranum."Kamu siapa? Ngapain di sini?" tanya Mika agak kebingungan."Kak Mika! Halo, Kak!" Gadis manis berambut bob itu menyapa Mika balik dengan hangatnya.Mika mengernyit. "Kamu kenal aku dari mana?""O, maaf, Kak ... nama aku Rossa. Aku adik kelas Kakak. Pasti Kakak nggak kenal aku, tapi aku kenal sama Kakak. Ya ... siapa juga yang nggak bakal kenal sama Kak Mika? Kak Mika kan istrinya Pak Janu. He he."Senyum Rossa entah mengapa cukup membuat Mika agak bergidik. Apa maunya cewek ini? pikirnya. "O gitu ya, jadi ada urusan apa? Cari Pak Janu?""Iya, Kak. Sebetulnya aku ada janji buat les privat sama Pak Janu. Tapi entah kenapa, Pak Janu nggak bisa dihubungi." Rossa memasang air muka murung."Kalau gitu masuk dulu ayo. Mun
Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum jadwal penayangan film yang ingin ditonton oleh Raga dan Mika. Keduanya lebih dulu mendatangi sebuah kafe di dekat bioskop untuk membunuh waktu.Jemari Raga yang lentik mengaduk sendok di dalam gelasnya yang berisi kopi susu. Sesekali matanya melirik Mika yang justru lebih fokus menonton TV yang menyala di sudut kafe."Aku perhatikan kamu sekarang dekat sama River." Raga akhirnya bersuara setelah beberapa menit meja mereka hening."Aku? River? Nggak, kok." Mika menyahut sekenanya, bahkan tidak memandang balik."Aku liat kamu pergi sama dia kemarin."Ucapan Raga berhasil menarik perhatian Mika, pandangan mereka bertabrakan. "Jujur ya, aku jadi takut loh, kamu suka ngeliatin aku diam-diam kayak gitu.""Emangnya nggak boleh? Ngeliatin orang lain kan bukan tindakan kriminal."Mika tercenung sesaat, apa maksud Raga berkata seperti itu? "Kamu jangan salah paham, jangan ge-er juga," sambung Raga,