Share

Bab 2 Meet

“Bukankah biasanya makhluk seperti kalian, tidak bisa menyantap makanan buatan manusia?” tanya Cologne yang merasa heran melihat Berlin menyukai makanan buatan manusia.

“Kau hanya dipengaruhi oleh cerita novel. Kami ini pemakan segalanya, bahkan kami bisa memakan satu sama lain,” jelas Berlin.

Cologne melirik ngeri ke arah Berlin.

Berlin yang mengerti maksud lirikan mata dari Cologne langsung mengoceh, “Kenapa baru merasa takut sekarang? Bukankah sebelumnya kau tampak meremehkan diriku?” cibirnya.

Cologne mendesah menatap Berlin dengan datar kemudian membalas cibirannya, “Sejak awal kehadiranmu itu sangat tidak kuharapkan,” keluhnya kecewa. Setelah mengeluh ia kembali fokus pada menu sarapannya.

“Dan dari awal juga aku sangat tidak ingin bertemu dengan manusia bodoh sepertimu!” kata Berlin tidak mau kalah juga. Iblis itu kemudian merampas roti dari piring Cologne dan membuat laki-laki berteriak-teriak seperti orang kesetanan.

“KEMBALIKAN SARAPANKU IBLIS SIALAAAAN!” teriak Cologne kesetanan.

***

Di Kamar

Cologne mengambil jaketnya dari gantungan baju lalu langsung memakainya dengan cepat. Cologne berencana untuk menemui orang tua dari sahabatnya yang telah tiada. Sudah lama ia tidak menjenguk Tuan Ash.

“Kau mau kemana?” tanya Berlin yang tiba-tiba saja muncul dari belakang tubuh Cologne. Tampaknya iblis itu senang sekali untuk menguntit orang lain.

Cologne yang sudah terbiasa mendapati Berlin muncul secara tiba-tiba di sekitarannya kini sudah merasa tidak terlalu terganggu lagi dengan kehadirannya. Meskipun jelas Cologne merasa sangat benci dengan kehadiran sosok iblis tersebut yang terkesan mengikutinya kemana saja.

“Bukan urusanmu!” kata Cologne dengan acuhnya. Laki-laki itu kembali fokus membenarkan jaketnya sembari memperhatikan penampilannya di pantulan cermin.

“Ingin pergi berkencan? Atau ingin menarik wanita-wanita dewasa di luar sana?” goda Berlin pada Cologne.

Mendengar godaan Berlin, Cologne benar-benar ingin sekali melemparkan setumpuk pakaian kotornya yang berada di keranjang ke arah iblis tersebut.

“Jaga mulutmu!” seru Cologne kesal.

Cologne kemudian pergi meninggalkan Berlin dan keluar dari kamarnya. Dia tahu betul bahwa tidak ada gunanya meladeni mulut iblis bernama Berlin tersebut. Karena jelas setiap perkataan atau pembelaan yang ia lakukan pada dirinya  sendiri hanya akan berakhir menjadi ejekan sarkas oleh Berlin yang membuat dirinya menjadi  merasa tertindas secara verbal.

“Wow dia benar-benar sensitif sekali,” gumam Berlin lalu mulai menghilang secara perlahan-lahan.

***

Lingkungan Gereja Santo Borteleus

Saat ini Cologne tengah berkunjung ke rumah ayah angkat dari sahabatnya yang telah tiada. Cologne masih sangat ingat betul bahwa sahabatnya itu dibesarkan di lingkungan gereja. Tidak mengherankan karena itu Heilige tumbuh menjadi pribadi yang sangat santun dan memiliki etika yang sangat bagus. Setiap kali mengingat Heilige, Cologne selalu ingat bahwa sahabatnya itu memang dilahirkan untuk memiliki hati yang baik seperti malaikat. Meskipun naas dirinya telah meninggal dengan cara tragis.

Cologne tanpa sadar telah melamun cukup lama di luar sampai-sampai ia nyaris lupa untuk mengetuk pintu rumah.

“Tidak berubah rupanya …. ” gumamnya dengan suara pelan. Dia masih mendapati hunian kecil yang berdiri tepat di samping gereja tersebut masih terlihat bagus dan kokoh. Tampaknya Tuan Ash selalu berusaha menjaga kediamaannya dengan sangat baik.

TOK TOK TOK

“Permisi, Tuan Ash,” panggil Cologne dari luar. Pemuda itu tengah memanggil-manggil sang pemilik rumah.

KRIEEET

Terdengar deritan suara pintu terbuka dan menampilkan sosok pria berusia 50 tahun dengan pakaian sederhana berwarna hitam. Pria itu memiliki penampilan yang rapi dan sederhana. Tuan Ash selalu terlihat bersahaja meskipun penampilannya terlihat begitu sederhana.

Tuan Ash tersenyum. “Cologne, sudah lama kau tidak berkunjung kemari,” ucap Tuan Ash ramah menyambut kedatangan Cologne. “Masuklah nak, tidak baik terlalu lama berada di luar,” ujar Tuan Ash mempersilakan Cologne untuk masuk ke dalam rumahnya.

Cologne tersenyum ramah dan mengikuti pria tersebut untuk masuk ke dalam hunian sederhananya.

***

Ruang Tamu

Tuan Ash menyajikan teh hitam serta beberapa camilan kue kering sederhana untuk ia sajikan pada tamunya tersebut.

“Kau sehat-sehat saja nak?” tanya Tuan Ash ragu begitu mendapati luka di bagian kepala Cologne.

Cologne tersenyum masam. “Ah iya mungkin ... tapi sejujurnya ada sedikit bagian tubuhku yang terasa masih sedikit sakit. Tuan tahu, tempo hari aku mengalami sedikit kecelakaan yang kurang menyenangkan,” jawabnya dengan jujur.

Tuan Ash melirik ke arah kepala pemuda tersebut dan menemukan kapas serta plester yang menempel di ujung dahi pemuda tersebut. Terlihat juga sedikit bekas luka yang sudah mengering di sana.

"Jangan memaksakan dirimu kalau kau masih merasa sakit nak. Tapi aku bersyukur lukamu tampaknya sudah mulai memulih dengan baik.” Tuan Ash kemudian duduk di sofa yang saling berhadapan dengan Cologne.

Cologne tersenyum kecut. Sejujurnya luka di kepalanya itu masih tergolong parah sebelumnya. Hanya saja ia sudah meminta bantuan secara paksa pada Berlin untuk membantunya mengobati sedikit lukanya itu. Dan beginilah hasilnya saat ia meminta bantuan pada iblis, lukanya itu benar-benar tidak disembuhkan dengan benar.

“Tuan sendiri bagaimana?” tanya Cologne. Dia sedikit mengkhawatirkan bagaimana keadaan serta kesehatan pria berusia 50 tahun itu setelah kehilangan putra angkatnya tersebut.

Tuan Ash menghela nafas panjang lalu menatap lurus ke depan kemudian sedikit terlihat raut wajahnya yang sedih. “Aku tidak bisa berbohong bahwa aku merasa sangat kehilangan putraku. Dan ada beberapa bagian dalam diriku yang menjadi sedikit berubah sekarang.”

Cologne meneguk air liurnya dengan paksa. Jelas ia merasa bersalah atas kematian sahabatnya tersebut. “Aku benar-benar ingin minta maaf soal itu,” cicit Cologne. Dia tahu tujuannya kemari bukan karena ingin mengungkit-ungkit kembali soal kematian sahabatnya itu melainkan untuk mengunjungi Tuan Ash sekaligus menghiburnya.

Tuan Ash tertawa, “Hahaha ... kenapa harus minta maaf, Cologne? Kau sudah melewati banyak hal yang lebih berat dariku. Aku tahu betul 6 bulan, kau terus mengurung dirimu dan menjauhi dunia luar karena rasa bersalahmu pada Jo. Nak, dengar aku sama sekali tidak akan pernah menyalahkanmu atas kematian Jo, justru akulah yang merasa sangat berterima kasih padamu karena kau adalah orang yang  selalu terus bersama dengan Jo sampai akhir hayatnya. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri,” pinta Tuan Ash dengan tulus. Pria tersebut kemudian merangkul Cologne penuh dengan kasih sayang, pria itu berharap rangkulannya tersebut dapat memberi sedikit rasa tenang untuk pemuda tersebut.

Cologne tersenyum tipis. Setelah rangkulan Tuan Ash lepas, pemuda itu kemudian mengeluarkan sebuah toples berisikan kacang almond yang merupakan kudapan ringan kesukaan dari almarhum sahabatnya tersebut.

“Aku harap Tuan sedikit menyukainya.” Cologne memberikan toples tersebut pada Tuan Ash.

Tuan Ash menerima Tople tersebut dengan senang hati. Melihat isi toples tersebut, membuat Tuan Ash kembali teringat bagaimana putra angkatnya tersebut akan tersenyum sumringah saat menerima bingkisan kacang almond seperti ini.

“Dia benar-benar akan merasa senang dan bisa melupakan jadwal makannya sendiri jika ia mendapatkan bingkisan seperti ini,” kenang Tuan Ash. Dia ingat Heilige atau yang kerap kali ia panggil Jo sebagai nama panggilan kesayangannya itu, selalu nyaris melewatkan waktu-waktu makannya hanya karena kacang almond yang selalu terisi penuh di dalam mulutnya. Bisa dibilang kacang almond itu seperti candu untuk Jo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status