Share

Dibuang Suami, Dinikahi Adik Ipar
Dibuang Suami, Dinikahi Adik Ipar
Penulis: Nikma

Bab 1. Aku Istri, Bukan Pembantu

Faisal terbangun tiba-tiba, tersentak oleh suara muntah-muntah yang mengganggu tidurnya. Faisal meraba-raba di kegelapan sebelum menyalakan lampu. Saat itu dia bisa melihat jam di meja masih menunjukkan pukul tiga pagi.

Dengan langkah malas, Faisal keluar dari kamar. Suara muntah itu makin terdengar jelas, ia mendekati pintu kamar mandi dan melihat Alisha yang membungkuk di depan wastafel kamar mandi, punggungnya naik turun dalam irama muntah yang tak berkesudahan.

“Kamu kenapa masih muntah-muntah terus? Bukannya sudah dikasih obat biar gak mual sama bidan?” gumam Faisal kesal. Dia berjalan mendekati Alisha, suaranya terdengar keras di tengah keheningan malam.

Alisha terkejut oleh kehadiran suaminya, memalingkan wajahnya yang pucat ke arah Faisal. Ia mengusap bibirnya yang basah karena bilasan air. “Aku juga gak tau, Mas. Aku sudah minum suplemen dari bidan, tapi aku masih mual.”

“Kalau bisa kamu tahan— kita ini masih numpang di rumah orangtua aku. Jadi usahakan, kamu jangan ganggu istirahat keluarga aku,” ucap Faisal tanpa pengertian. Alisha menatap suaminya dengan pandangan tak habis pikir. “Gimana caranya aku bisa nahan mual sama muntah, Mas? Kamu gak ngerasain ada di posisi ibu hamil— bukan mau aku juga mual muntah begini!” Entah pengaruh hormon, atau Alisha memang kecewa dengan sikap suaminya yang tidak mengerti kondisinya yang sangat sulit.

Airmata mulai mengalir di pipi Alisha, namun itu hanya memicu kekesalan Faisal. “Gak usah cengeng!” serunya tajam.

“Terus aku harus gimana, Mas? Kehamilan pertama ini berat buat aku. Aku pusing, mual, lemes, tiap hari aku ngerasa kayak gini. Tapi kenapa kamu gak mau ngertiin? Aku hamil anak kamu, Mas. Harusnya kamu kasih support buat aku,” keluh Alisha, berharap agar suaminya mengerti dengan penderitannya.

Tapi Faisal hanya tersenyum sarkas. “Kamu itu lebay banget? Dulu aku liat ibu aku hamil adik-adik aku, gak pernah manja kayak kamu. Ibu aku tiap hari bahkan jualan pecel buat menuhi kebutuhan sehari-hari,” sindir Faisal. “Lagian kamu mau di-support apa lagi sih? Selama ini aku selalu antar kamu ke bidan, aku selalu beli susu hamil buat kamu, uang belanja juga aku kasih, kan? Jadi istri kebanyakan nuntut!” lanjut Faisal dengan nada meninggi.

Alisha merasakan sakit yang mendalam di hatinya saat mendengar kata-kata pedas dari suaminya. “Mas, kamu tega banget ngomong kayak gitu?! Padahal kondisi tiap ibu hamil kan beda-beda, gak bisa disamain,” gumamnya di antara isakan tangisnya.

Faisal hanya menggeleng, tidak memperlihatkan sedikit pun penyesalan. “Sama aja! Bedanya kamu manja, ibuku mandiri! Gak pernah lebay dan caper kayak kamu,” ucapnya dengan tegas.

“Astaghfirullahaladzim, Mas! Jadi aku muntah-muntah gini, kamu anggap aku caper?” seru Alisha dengan nada putus asa, hatinya hancur karena perkataan kejam suaminya.

“Apalagi? Kamu mau nyari alasan biar gak disuruh bantu-bantu di rumah, kan?” ejek Faisal dengan nada sinis. “Bilang aja kamu malas! Kamu udah gak mau nyuciin baju ibu sama adik aku lagi? Gak mau masakin? Padahal kita numpang di rumah ini, harusnya kamu tau diri.”

Alisha menatap suaminya sorot mata dipenuhi keputusasaan. “Kamu nikahin aku sebenarnya buat apa, Mas? Apa kamu butuh pembantu buat keluarga kamu?” tanya Alisha dengan suara bergetar, menahan rasa sakit di hatinya.

Sejak dipinang oleh Faisal dan diboyong ke rumah orangtuanya, Alisha merasakan kelelahan yang tak terhingga. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang tak pernah berhenti: bangun sebelum subuh, pergi ke pasar, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian—semua dilakukannya tanpa mengeluh. Namun, sejak kehadiran Alisha di rumah itu, semua penghuni rumah menganggapnya sebagai ‘pembantu’ yang seolah harus menanggung semua beban pekerjaan rumah.

Alisha terisak-isak, menyesali keputusannya untuk menikah dengan Faisal. Namun saat ini, ia tidak memiliki opsi lain. Kedua orangtuanya sudah meninggal, dan rumah keluarga sudah ditempati oleh adik perempuannya dan suaminya.

Faisal semakin kesal melihat Alisha yang terus menangis. “Bisa berhenti nangis gak kamu? Dikit-dikit nangis, kalau tetangga tahu, dikira aku udah KDRT ke kamu,” ujarnya dengan nada sinis, tanpa sedikit pun empati.

“Ucapan kamu itu juga nyakitin aku, Mas!” serunya di antara isakan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Air mata Alisha semakin deras mengalir. Setiap kata-kata Faisal terasa seperti pukulan yang semakin memecahnya hatinya jadi berkeping-keping.

“Kamu itu bisanya cuma ngeluh! Kapan kamu bisa bersyukur? Aku kira setelah menikahi kamu, hidup aku bisa lebih bahagia. Ternyata kamu malah nambah beban pikiran buat aku,” ujar Faisal dingin sebelum meninggalkan Alisha yang masih terisak-isak di kamar mandi.

Faisal kembali ke kamarnya, melewati lorong yang gelap menuju tempat tidurnya. Tanpa merasa bersalah, Faisal membaringkan tubuhnya di atas kasur lalu kembali tidur.

Di kamar mandi, Alisha terus menangis hingga tubuhnya terguncang. Dalam keheningan malam yang semakin terasa, tubuh Alisha merosot di tembok, dia bersandar sambil meratapi nasib yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

***

Cahaya matahari mulai tinggi, memancarkan panas yang menyengat di udara. Alisha mengangkat satu ember besar yang berisi pakaian basah yang baru saja selesai dicucinya. Beban itu terasa berat di tangannya saat dia melangkah menuju halaman depan.

Dengan napas yang terengah-engah karena keberatan, Alisha berusaha menyeimbangkan ember itu di atas pinggangnya. Langkahnya terhenti sesaat saat dia merasakan sakit di perutnya yang masih rata. “Ibu harap kamu kuat ya, Nak,” bisiknya pelan kepada bayinya yang belum terlihat namun sudah begitu dirindukannya.

Alisha melanjutkan langkahnya dan akhirnya meletakkan ember berisi pakaian di dekat jemuran. Dia mengusap lembut perutnya, mencoba memberikan dukungan pada janin yang masih tersembunyi di dalamnya.

Alisha tengah sibuk menjemur satu demi satu pakaian di atas tali jemuran kemudian menjepitnya. Tiba-tiba, terdengar suara taksi yang berhenti di halaman rumah. Alisha menoleh, dan matanya melihat Farhan—adik iparnya yang penampilannya terlihat urakan karena rambutnya yang dibiarkan agak gondrong—baru turun dari taksi tersebut sambil menarik kopernya.

Alisha tersenyum melihat adik iparnya yang melangkah menuju halaman.

“Assalamualaikum,” sapa Farhan ramah saat tiba di halaman.

“Waalaikumsalam,” balas Alisha sambil menyambut Farhan dengan senyuman hangat.

“Farhan? Mbak kira kamu baru sampe Jakarta besok?” tanya Alisha sambil menghentikan aktivitas menjemur. Sebelumnya, Alisha memang sudah mendengar kabar jika Farhan akan kembali ke Jakarta. Selama ini, Farhan memang diasuh keluarga kerabat yang tidak memiliki anak. Pemuda itu hanya pulang beberapa kali dalam setahun, saat hari besar atau saat sedang rindu keluarga kandungnya. Namun setahun lalu, ibu asuh Farhan meninggal— ia sudah lama diminta kembali, namun baru bersedia setelah ibunya terus membujuk.

“Iya, Mbak. Ibu udah bawel soalnya, pengen aku cepet-cepet pulang,” jawab Farhan, namun perhatiannya segera teralih pada ember besar berisi banyak cucian. “Mbak, banyak banget cuciannya? Mbak nyuci sendiri?” tanyanya sambil mengamati pakaian-pakaian yang tergantung di jemuran.

Alisha hanya tersenyum sebagai jawaban. Farhan mendekat pada ember, meraih beberapa lembar pakaian. Meski jarang pulang, tapi ia bisa mengenali baju-baju adik dan ibunya di sana. “Ini baju Farida sama ibu, Mbak yang nyuci juga?” tanyanya. Tetapi Alisha tidak menjawab. Suasana menjadi hening sejenak sebelum Farhan bertanya lagi, “Siapa yang nyuruh, Mbak?”

“Gak ada yang nyuruh, Mbak sendiri yang pengin nyuciin,” jawab Alisha dengan nada tenang.

“Mbak, Farida udah dewasa, dia bisa ngerjain sendiri, baju ibu juga harusnya Farida yang nyuciin, bukan Mbak,” kata Farhan, merasa tidak enak hati melihat kakak iparnya melakukan banyak pekerjaan yang sejatinya bukan tugasnya.

“Gak apa-apa kok, namanya keluarga gak perlu itung-itungan. Sudah, kamu masuk sana, pasti capek kan? Istirahat dulu,” jawab Alisha, seolah ingin buru-buru menutup pembicaraan itu.

“Mbak—” Farhan belum selesai bicara, namun Alisha sudah menyela, “Sudah, masuk sana,” ucapnya sambil melanjutkan aktivitasnya menjemur pakaian. Farhan tak bisa berkata-kata lagi, akhirnya mengikuti perintah Alisha masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, ia melihat Farida yang sedang rebahan di atas sofa sambil asyik bermain ponsel.

“Farida,” panggil Farhan.

Yang namanya dipanggil segera menoleh. “Mas Farhan?” Farida berseri-seri ketika melihat kakaknya, “udah nyampe aja? Kenapa gak ngabarin sih? Mau kasih surprise pasti?” ujarnya penuh semangat.

Farhan menghela napas kesal melihat sikap santai Farida. “Farida, kamu nyuruh Mbak Alisha nyuciin baju kamu?” tanyanya dengan ekspresi serius. Farida langsung mencibir, “Mas Farhan baru pulang, kenapa malah bahas Mbak Alisha sih? Kenapa? Dia ngadu macem-macem sama kamu, Mas? Emang paling bisa playing victim,” sahut Farida dengan nada sinis.

“Mbak Alisha gak bilang apa-apa,” jelas Farhan, tapi Farida menggeleng tak percaya. “Kalau mbak Alisha gak ngadu macam-macam, pasti Mas Farhan gak bakal marahin aku. Udah pasti Mbak Alisha emang drama— awas aja, nanti gantian aku aduin dia sama Mas Faisal,” ancam Farida.

Farhan yang mendengar itu makin tak bisa menahan kekesalannya. “Farida! Kamu jangan keterlaluan!” tegas Farhan, membuat Farida tersentak kaget. “Mas sampai bentak aku gara-gara belain Mbak Alisha?!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status