"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah.
"Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya.
"Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio.
Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara.
"Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?"
Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam.
"Emangnya kenapa, Pa?"
"Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku.
"Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut."
"Ya terus apa hubungannya sama Celin?" Celindia masih mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini.
Rio kembali menghela napas, Ia menatap dalam anak perempuannya.
"Kalau Celin setuju untuk nikah dengan Indra, Indra bakalan kasih Papa saham sebesar lima belas persen dari perusahaannya. Papa bisa bangkit, dan kita gak akan bangkrut."
Celindia menatap Rio tak percaya. "Maksud Papa ... Papa mau jual Celin?"
"Enggak gitu Celin, dengerin dulu semuanya. Maksud Papa--"
"Celin kecewa sama Papa," kata Celindia dengan air mata lalu berlari masuk ke kamarnya.
"Celin," panggil Rio.
Alges berdiri, "Biar Alges nyusul Celin, Pa." Rio mengangguk lesu.
"Enggak usah, biar Mama yang nyusul." Kalana datang dari arah dapur.
Kalana lalu melangkah ke arah kamar Celin, kamar gadis itu berada di urutan kamar ketiga. Awalnya Celin menginginkan kamar pertama, namun Rio mengatakan bahwa kamar pertama akan di jadikan kamar tamu.
Alasan Rio menempatkan Celin di urutan ketiga juga karena Celin adalah anak gadis satu-satunya, Ia hanya mencegah hal-hal yang bisa saja membahayakan Celin terjadi. Alges berada di urutan kamar keempat sedangkan Rio dan Kalana di kamar kedua, rumah keluarga Pratama besar namun tidak bertingkat.
Kalana mengetuk pintu kamar Celin.
Tok tok tok ...
"Celin."
"Celin, Mama masuk ya?" Tak mendapatkan jawaban, Kalana memutuskan untuk masuk.
Untungnya Celin tidak mengunci pintu kamarnya, Kalana melihat Celin yang tidur telungkup dengan tubuh bergetar. Gadis itu sedang menumpahkan tangisannya, Sang Ibu lalu duduk di samping anaknya.
"Ppjhtabbgjgjht," kata Celin tidak jelas karena wajahnya menempel di bantal.
"Ha?" beo Kalana.
Celin lalu duduk dengan gerakan spontan, membuat Kalana hampur terjungkal.
"Astaghfirullah!"
Celin melipat tangannya, matanya masih memerah karena air mata.
"Papa jahat, Papa udah gak sayang sama Celin lagi. Celin di jual sama Papa hiks," isak Celindia.
"Hei hei, gak di jual Celin sayang."
"Terus tadi itu apa?" ketus Celindia.
Kalana menghela napas. "Kamu masih ingat saat Papa bangkrut karena penghianatan sekretarisnya?" Celindia mengangguk, gadis itu mulai sedikit tenang.
"Ingat juga keadaan Papa waktu itu?"
Celindia kembali mengangguk. "Papa seperti mayat hidup, tapi kenapa? Itu hanya perusahaan, Papa kan bisa bangkit lagi untuk buat perusahaan baru."
Kalana tersenyum tipis lalu mengusap air mata anaknya. "Justru itu Celin, perusahaan Papa itu bukan Papa yang bangun. Perusahaan itu di bangun oleh Kakek, sebelum Kakek meninggal, Kakek mewariskan semua saham dan perusahaannya kepada Papa. Semuanya. Tante Risa bahkan gak dapat sepersen pun, tapi Tante Risa dapat rumah warisan dari Kakek."
"Kenapa Papa kayak orang gila saat tahu Papa udah bangkrut, karena amanah dari Kakek selalu terbayang sama Papa. Papa ngerasa jadi anak yang gak becus saat itu, karena Papa gak bisa jaga amanah dari Kakek. Saat itu kita pindah ke rumah yang lebih kecil karena rumah ini menjadi tahanan depkolektor, Kamu bahkan sering pulang dengan keadaan menangis karena di hina teman-temanmu. Kamu juga pernah ngomong ke Mama kalau Kamu udah gak ada temannya, Abang Kamu juga gitu. Abang Kamu selalu pulang dengan keadaan yang babak belur karena lagi-lagi memukul temannya yang menghinanya dan menghina keluarga kita, saat itu Mama ingat banget. Kamu menangis dan ngomong gak mau hidup miskin," jelas Kalana panjang.
Celindia masih tidak bersuara, diam-diam Ia mengingat saat-saat itu. Saat di mana keluarganya yang bangkrut, mereka di hina.
"Tante Risa sempat bantuin Kita, tapi gak bisa bantu-bantu banyak. Karena Tante Risa udah berkeluarga, dia juga butuh biaya sehari-hari walaupun suaminya juga bekerja. Suaminya juga gak bisa bantu kita banyak, rumah yang sempat Kita tempati dulu itu adalah uang dari patungan Tante Risa sama suaminya. Waktu itu Kita benar-benar gak punya uang sampai makan pun harus ngutang."
"Enggak lama dari itu, saat Papa lagi sibuk nyari pekerjaan di jalanan, ada perempuan yang kecopetan. Awalnya Papa gak mau bantu karena Papa lagi nyari-nyari pekerjaan, terus karena Papa lihat gak ada yang bantuin karena jalanan di situ juga sunyi, akhirnya Papa nolongin perempuan itu. Setelah di tolong, perempuan itu berterima kasih. Papa sempat di kasih imbalan tapi Papa tolak, Papa tolong perempuan itu ikhlas. Sekitar seminggu setelahnya ada beberapa orang yang berbadan besar datang ke rumah, perempuan itu juga datang."
"Gak di sangka, perempuan itu cari tahu tentang Papa. Saat itu Beliau sudah tahu keadaan Papa, dari Papa yang kehilangan semua hartanya sampai memutuskan tinggal di rumah kecil. Lebih kagetnya lagi, perempuan itu datang dan bawa sertifikat rumah, kantor perusahaan, dan tanah lahan Papa."
"Kamu udah ingat kan, siapa perempuan itu?"
Celindia menatap Kalana. "Oma Amara."
"Mama tunggu di meja makan ya, udah waktunya makan malam." Kalana lalu pergi dari kamar anaknya. Celindia terdiam setelah mendengar semua perkataan Kalana, sebenarnya bisa saja Ia hidup sederhana. Tapi mungkin keluarganya tidak bisa, dan perusahaan Papanya juga sudah hampir jatuh. Celindia tidak ingin menjadi anak dan saudara yang egois, tapi tidak dengan menikah. "Kenapa harus nikah juga sih," gumamnya pelan. Ia menghela napas, selama ini Rio dan Kalana tidak pernah memaksanya melakukan sesuatu. Mereka bahkan sangat memanjakan Celindia, kedua orang tuanya bahkan setuju saat Celindia memutuskan untuk bekerja di cafè dari pada membantu Alges di perusahaan. Ia lalu keluar dari kamarnya, saat sudah di ruang makan, Celindia melihat mereka sudah berkumpul tapi masih belum mulai makan. Mereka menunggu Celindia, ini juga salah satu hal yang Celindia sukai tapi kadang membuatnya kesal. Itu membuatnya yang te
Keindra mengecup dahi perempuan yang kini sudah berstatus istrinya, Keindra berkata bahwa ijob qobul tidak di buat meriah karena mengingat kondisi Amara yang semakin memburuk. Rio dan Kalana memaklumi, walau pun ada sedikit rasa sakit saat tahu pernikahan anak mereka tidak akan semeriah pernikahan orang lain. "Celin," panggil Amara dari brankarnya. Kini yang di ruangan itu tinggal keluarga Pratama, Keindra, dan Celindia yang sudah sah menjadi anggota keluarga Aldres. Celindia yang sedang duduk di sofa ruangan itu beranjak dan duduk di samping Amara, Amara memegang tangan cucu menantunya. "Makasih ya sayang, kamu udah mau kabulin permintaan terakhir oma." Celindia menggeleng, mendengar kata-kata Amara membuat perempuan itu sedikit emosional. "Bukan permintaan terakhir oma, karena oma akan sembuh." Amara tersenyum tipis. "Enggak salah oma pil
Celindia bangun dengan badan yang segar, walaupun terbilang kaya, Ia tidak pernah sekali pun menginap di hotel. Rio memang selalu mengajarkan anaknya hidup hemat, tidak ada yang tahu takdir akan membuat mereka jatuh atau terbang. Gadis itu mengedarkan pandangannya, Keindra tidak ada. Masih mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, Celindia memutuskan untuk bersandar di kepala kasur. CEKLEK Pintu terbuka menampilkan Keindra yang sudah mengganti pakaiannya dengan jaket hitam, Celindia menatap Keindra yang juga menatapnya datar. "Siap-siap, sedikit lagi kita berangkat." kata Keindra dingin. "Ha?" beo Celindia yang masih belum sadar. Keindra menatap tajam, Ia mendekati Celindia. Celindia yang akhirnya menyadari keadaan tersadar, Ia menatap awas Keindra yang berada di depannya.
Celindia turun dari mobil, Ia kembali mengagumi pemandangan di depannya. Sedari tadi, saat di mobil, gadis itu selalu berdecap kagum dengan kota Chicago. Ia sekarang tengah berdiri di depan rumah yang menjulang tinggi, sangat besar dan memiliki halaman yang luas.Tidak perlu bertanya lagi, Ia tahu ini pasti adalah rumah suaminya. Ia melangkah mengikuti Keindra memasuki rumah besar itu, sama seperti saat di rumah sakit, Ia kembali melihat orang-orang besar berpakaian hitam dan alat pendengar berkabel di telinga mereka.Bahkan ini lebih banyak dari yang di rumah sakit, lagi-lagi Celindia berdecap kagum. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berpakaian rapi dan sama, berdiri di samping-samping diantara pintu besar rumah itu."Selamat Datang Tuan Aldres," sambut mereka dengan kompak.Melihat mereka yang membungkuk, spontan Celindia ikut membungkuk. Itu karena Celindia tidak biasa
Pagi harinya, Celindia sudah berkutat dengan perabotan dapur. Gadis itu berencana membuatkan sarapan untuknya dan untuk Keindra, omong-omong soal Keindra, ia belum melihat pria itu sejak kemarin saat Celindia di antar Meri ke kamar barunya.Beberapa pelayan sempat menghentikan Celindia untuk memasak, namun Gadis itu tetap memaksa untuk memasak sendiri. Ia bahkan tidak membiarkan Meri ikut membantunya, Celindia sekarang sedang mencoba menjadi Istri yang baik."Astaga!" ujarnya terkejut.Celindia di kejutkan oleh minyak kelapa yang memancar ke segala arah, Ia jadi lebih waspada. Rencananya Ia mau membuat nasi goreng khas Indonesia, makanan yang selalu Kalana masakkan untuknya dan keluarganya."Kenapa, Non?" Meri datang dengan terbirit-birit.Ia melihat Celindia yang maju-mundur di depan kompor elektronik berwarna putih itu, di atasnya terdapat wajan ya
Keindra turun ke lantai bawah rumahnya, karena hari libur, Pria itu memutuskan untuk bersantai di rumah saja. Ia mengedarkan pandangannya, tidak melihat keberadaan Celindia.Tidak mau memusingkan hal itu, Keindra melangkah ke samping rumahnya. Ia menggeser pintu kaca yang terdapat kolam berukuran cukup besar, Keindra yang sudah melepas kausnya yang hanya menyisakan celana pendek itu lalu menceburkan diri di dalam kolam itu.Ia berenang ke kanan dan ke kiri, para pelayan sekali-kali mencuri pandangan ke arah tuan mereka yang tampak masih betah di dalam kolam renang. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berada di dalam rumah besar Keindra, tujuh dari mereka merupakan perempuan yang masih muda, dan sisanya adalah perempuan yang sudah berumur dan berkeluarga.Munafik jika mereka tidak mengakui kegagahan tuan mereka, melihat ketampanan Keindra saat pertama kali mereka bekerja saja sudah hampir membuat mere
"Air yang masuk ke dalam tubuhnya lumayan banyak, tapi untungnya enggak sampe ke paru-paru. Keadaannya juga udah membaik, tinggal nunggu dia sadar terus kasih dia makanan sama obat." Keindra mengangguk sebagai respon."Dia siapa sih?" tanya seorang pria yang tadi menjelaskan kondisi seseorang yang Ia periksa.Keindra menatap sekilas lalu beralih menatap Meri yang juga berada di kamarnya. "Buatin dia makanan," titahnya yang di angguki oleh Meri.Setelah kepergian Meri, pria yang tadi bertanya berdecap."Lo tuli apa gimana, ndra?""Bukan urusan lo," kata Keindra datar."Mending lo keluar, Jordan," suruh Keindra menatap tajam pria yang bernama Jordan yang tak kunjung keluar."Jawab dulu pertanyaan gue."Keindra menghela napas, pria kurang ajar di depannya ini merupakan sahabatnya. Mereka mulai menjalin pertemanan saat Keindra memutuskan untuk menetap di Amerika, Jordan adalah warga n
Celindia turun dari kamarnya dengan bersenandung riang, setelah dua hari ia dikurung oleh Keindra di kamarnya, akhirnya ia bisa menghirup udara luar kamarnya. Gadis itu melihat suaminya yang tengah sarapan di meja makan, ia mengerutkan kening dengan kesal.Kenapa Keindra sarapan tanpanya? Kenapa pria itu menganggap seolah dirinya tidak ada? Apa ia hanya sebagai pajangan di rumah besar ini? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kepalnya. Dengan cepat, ia menarik kursi dengan kasar dan duduk di depan Keindra.Keindra mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan gadis di depannya ini."Kenapa?" tanya Keindra datar.Celindia ikut menatapnya dengan datar. "Enggak ada," jawabnya dengan suara berat, seolah meniru gaya bicara suaminya.Setelahnya Celindia tertawa, merasa lucu dengan apa yang baru saja ia lakukan. Sedangkan Keindra makin dibuat heran, ia bertanya-tanya apa omanya tidak salah memilihkan istri