Celindia membuka matanya yang terasa berat. Ia mengerjap panik, hanya gelap yang berada di hadapannya saat ini.
Sangat gelap.
Ia bahkan tidak bisa melihat apa pun. Gadis itu beranjak untuk meraba-raba sekitarnya, malah terdiam saat mengetahui dirinya tidak bisa bergerak.
Celindia memberontak dengan panik.
"Hmphh!" Suaranya juga tidak muncul!
Ia terengah dan diam sejenak, tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Sekarang Celindia paham kondisinya.
Ia terikat di kursi kayu dengan mulut yang dilakban serta kepala yang ditutupi sebuah kain, ia memejamkan matanya dengan jantung berdebar.
Bagaimana ia bisa di sini?
Apa yang terjadi sebelumnya?
Di mana dia sekarang ini?
Kepala gadis itu mulai berpikir. Seingatnya terakhir kali ia berada di toilet mall, ia melihat wanita jadi-jadian dan hendak keluar dari toilet. Setelahnya ia tidak mengingat apa-apa lagi.
Keindra memberikan pukulan kepada pria bertopeng itu tanpa jeda, ia bahkan tidak memberinya kesempatan untuk mengelak atau pun melawan. Setelah tadi menghabisi semua orang bayaran itu ia memasuki ruangan besar karena mendengar suara jeritan Celindia, saat sampai ia menyaksikan istrinya menahan sakit akibat rambutnya yang ditarik dengan kasar oleh pria yang saat ini sedang ia hajar.Jordan melepaskan semua ikatan yang berada di tubuh Celindia, ia meringis saat melihat memar di wajah dan tangan serta kaki gadis itu."Tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Jordan menjauh setelah Celindia mengangguk setuju.Setelah beberapa saat, muncul beberapa orang yang memegang senjata tajam serta topeng di wajah mereka. Jordan membantu Keindra melawan mereka yang kewalahan, sedangkan Celindia meringkuk dengan takut.Mereka ada sekitar tiga belas orang, melawan dua orang jelas perkelahian itu a
Keindra berdiri dari duduknya, lalu kembali duduk. Hanya itu yang ia lakukan di depan ruangan operasi yang sekarang masih berlangsung. Sudah lebih dari dua jam pria itu tidak beranjak dari tempatnya. Tepukan dibahunya membuat Keindra menoleh, ia mendapati Jordan yang membawa dua kaleng soda ditangannya. Keindra mengambil satu kaleng minuman yang disodorkan padanya. "Duduk dulu, Ndra." Keindra tidak mengindahkan dan tetap menatap pintu ruang operasi. Jordan menghela napasnya, lalu meminum minumannya. "Kenapa gak lo aja yang pimpin operasinya?" Keindra menatap Jordan dari tempatnya berdiri. Jordan menggeleng sekilas. "Enggak bisa. Ini bukan rumah sakit yang gue pegang, gue juga gak bisa seenaknya lakuin operasi darurat pasien rumah sakit lain." Jordan memang adalah seorang dokter, namun ia tidak bisa sembarangan mengambil alih pasien di rumah sakit yang bukan tempatnya bertugas. Keindra kembali menatap pintu operasi, lampu operasi belum juga mati, yang berarti operasi masih berja
Celindia membuka matanya dengan perlahan, suara ringisan keluar dari bibirnya saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Netranya melihat ke sekelilingnya. Sunyi. Tidak ada siapapun di dalam ruangan VIP itu selain dirinya, ia menghela napas dengan mata yang terpejam. Ingatannya kembali pada kejadian yang menjadi penyebab dirinya terbaring di brankar rumah sakit ini, perbuatannya yang terbilang nekat dan berani, yang juga membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Celindia kembali mengingat. Saat itu, ia ingat sempat melihat wajah tegang Keindra saat berada di dalam mobil. Ia bahkan bisa merasakan tangan dingin Keindra yang menyentuh pipinya dan tangannya yang lain memegang luka tembaknya. CEKLEK Suara pintu yang terbuka membuatnya mengalihkan pandangannya. Keindra terdiam di depan pintu saat melihat Celindia yang sudah sadar dan sedang menatapnya. Mereka terdiam dalam hening yang tercipta. Saling menatap dari jarak yang tidak dekat. Celindia yang lebih dulu tersadar lalu segera menga
Celindia Putri Pratama, Anak kedua dari pasangan bernama Algantario Algres Pratama dan Kalana Riana Pratama. Memiliki saudara kandung, kakaknya yang bernama Algestrio Putra Pratama. Celindia baru saja melakukan wisuda sarjana satu nya minggu kemarin, Ia sekarang menjadi pelayan di kafè yang cukup terkenal. Rio--Ayahnya pernah menyarankan gadis itu untuk bekerja bersama kakaknya di perusahaan Rio, tapi Celin menolak. Ia berkata bahwa Ia tidak cocok dengan bisnis, lagi pula, Ia lebih suka bekerja yang ke sana kemari. Katanya lebih menyenangkan dari pada harus duduk di kantor dan bertatapan dengan kertas-kertas berwarna putih, Rio dan Kalana--Ibunya Celin hanya mengikuti saja perkataan anak kedua mereka itu. "Celin," panggilan itu membuat sang pemilik nama menoleh. "Kenapa Anjani?" "Tolong gantiin gue di sini bentar ya, gue kebelet nih." ucap
"Celin pulang!" teriak Celindia saat memasuki rumahnya yang cukup besar. "Berisik!" Celindia mengalihkan pandangannya ke arah ruang keluarga. Ia mengerutkan keningnya. "Abang? Kok udah pulang?" Alges--sang kakak dari Celindia mendelik ke arahnya. "Enggak seneng abang pulang?" tanya nya dengan sinis kepada Celindia yang sudah duduk dengan posisi kaki menyilang di sampingnya. "Astaghfirullah, soudzon mulu sama adek sendiri. Heran deh." Alges mengangkat bahu acuh lalu kembali menonton. Celindia melemparkan pandangannya. "Mama sama Papa mana, bang?" "Papa diruang kerja, mama didapur." Celindia mengangguk lalu menyomot camilan yang berada di pelukan Alges. Alges melotot lalu menjauhkan toples dari adiknya yang rakus.
"Ha?" beo ketiganya. "Pelanggan kafè?" tanya Rio dengan nada heran. "Iya Pa, dia pelanggan hari ini di kafè tempat Celin kerja." jelas Celindia. Rio tertawa, "Berarti dia enggak ingat, Pa." kata Alges yang juga ikut tertawa. Celindia menatap ketiganya dengan heran, memangnya apa yang yang salah dan harus di tertawakan. Ia memang benar, pria di depannya ini--si pemuda sukses yang menjadi pelanggannya hari ini. "Celin," Celindia menatap ke arah Kalana. "Cowok yang di depan Kamu ini adalah teman masa kecil Kamu, mungkin Kamu enggak ingat karena itu udah lama banget. Tapi, Kita masih ingat, waktu itu Kalian masih kecil-kecil." jelas Kalana. Sedangkan Celindia hanya manggut-manggut, walau memang benar kalau Ia sama sekali tidak ingat. Lalu Rio kembali bersuara, Ia menatap Keindra.&n
"Kamu mau kan, sayang?" "Tolong Oma ya sayang, Oma gak pengen punya cucu menantu selain Kamu. Oma cuman mau Kamu jadi cucu menantu Oma," kata Amara dengan memegang tangan Celindia. Amara lalu terbatuk karena merasa lehernya yang kering, makin lama batuk wanita itu makin tak terkontrol. Keindra yang melihat itu dengan sigap keluar, lalu tak lama Keindra kembali dengan dokter di belakangnya. Keluarga Pratama menyingkir termasuk Celindia, memberikan ruangan untuk dokter memeriksa kondisi Amara. Setelah beberapa menit kemudian, dokter itu menatap Keindra dengan lamat. Keindra dan keluarga Pratama memang tidak keluar dari ruangan itu, dokter itu lalu mendekat dan memegang pundak Keindra. "Maaf, tapi Saya enggak sengaja dengar pembicaraan Kalian tentang pernikahan. Saya pikir, tolong turuti saja permintaan terakhir Nyonya Amara." &n
"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah. "Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya. "Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio. Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara. "Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?" Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam. "Emangnya kenapa, Pa?" "Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku. "Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut." "Ya terus apa hubungannya sama Ce