Aku menatap mata itu. Berusaha menelisik hatinya, mencari cinta yang besar seperti dulu untukku. Hasil nya nihil. Tak ada.
Lelaki itu tampak sehat dan semakin tampan. Lelaki yang selalu bermain dipikiran dan imajinasiku. Setelah berpisah darinya, banyak lelaki jatuh kepelukan. Dan semuanya brengsek. Tak ada yang seperti dia. Tulus dan apa adanya. Setelah berusaha mati-matian melupakan dan tak bisa. Seorang lelaki lain yang mengantarku pulang dahulu, datang mengulurkan tangan, menawarkan sebuah pertemanan.
Aku tahu, bukan hanya sebuah pertemanan tapi juga sebuah rasa.
Kutolak dengan halus. Lelaki itu bukan typeku. Dia terlalu dingin. Hanya tertawa dan tak pernah memuji fisik dan kecantikanku. Aku suka lelaki liar, liar berkata-kata dan liar tangannya bekerja.
Lelaki itu mundur. Tak ada usaha. Melempem bak kerupuk tersiram air.
Payah! Sama sekali bukan typeku. Setelah berteman begitu saja. Via chat sesekali telepon, suatu hari lelaki it
"Pergi saja! Tidak usah kunjungi Ibu lagi. Pergi saja kerumah si Lani. Ibu rasa kamu memang anak si Lani! Bukan anak Ibu!" teriakku kuat dan emosi. Rasanya menyakitkan sekali.Setelah mendengar teriakanku, tampak langkah Ilyas berhenti. Ia berbalik lalu menatapku."Walau Ibu menolak sekalipun. Ilyas tetaplah anak Ibu. Maafkan Ilyas yang telah mengecewakan Ibu karena menjadikan Nisa istri Ilyas. Dimata Ibu, Ilyas salah memilih. Tapi bagi Ilyas, pilihan Ilyas adalah yang terbaik."Jawaban Ilyas bagai ombak laut ganas yang menghantam pohon kecil dipinggir pantai. Sakit sekali rasanya."Ilyasssss. Hu hu hu hu," teriakku kuat ingin mengejar. Tapi Reno dan Zaki lebih cepat menangkapku. Menahan diri ini agar tak mengejar Ilyas keluar.Perlahan Rika dan Sarah membawaku ke kamar. Rasanya kepala mulai terasa sakit. Tubuhku lemas tak berdaya. Tapi hati masih dipenuhi rasa sakit dan benci bersamaan. Sakit
Hari ini aku lelah sekali, rasanya badan seperti remuk semua. Pelan kupejamkan mata, dan lambat laun semakin terlelap. Samar-samar aku mendengar suara orang memanggil, berkali-kali dan terus menerus. Suara itu terasa tidak asing, mimpikah aku? Namun, mengapa terasa nyata? "Bangun Nisa!" Seseorang memanggil disertai hentakan pada tubuh membuatku terbangun dan tergagap. "Kok malah tidur? Itu semua lauk dan sayur sisa kamu panaskan dulu, biar panci-pancinya di cuciin tukang cuci piring sebelum mereka pulang." Perempuan dengan sanggul tinggi berdiri dengan wajah yang masam. Aku memanggilnya Ibu Mertua. Dengan segera aku bangkit dari pembaringan, menuju kamar di mana semua lauk dan sayur berada. Duh rasanya kepalaku semakin sakit saja. Namaku Annisa Zahra, aku menantu perempuan pertama di rumah ini. Suamiku yang merupakan anak kedua, memiliki seorang kakak perempuan dan adik lelaki. Hari ini adalah resepsi pernikahan adik suamiku. Resepsi ini merupakan resepsi kedua setelah sebelumn
"Bu, saya pamit pulang ya," izinku pada Ibu dengan membawa tas kecil yang berisi beberapa pakaian saja. Aku memang sudah memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah yang di bangun oleh suami sejak sebelum menikah. Bangunan permanen dengan halaman keliling yang luas. Di rumah, aku tinggal sendiri, sedang suamiku bekerja sebagai pelayar yang baru kembali ke daratan dalam waktu enam bulan sekali. Itu adalah rentang waktu tercepat. "Loh, kok cepat sekali, Nis? Nggak nanti malam saja? Lauk untuk malam belum dimasak 'kan?" jawab Ibu tanpa memandang karena beliau sedang asyik dengan selendang di tangannya. Ya saat ini, Ibu, Kak Rika sedang ada di kamar Sarah. Mereka sedang asyik dan sibuk membongkar kado dari resepsi kemarin juga melihat-lihat barang pribadi milik Sarah. "Hm, Nisa besok harus ngajar, Bu. Nanti malam rencana mau buat soal ulangan anak-anak besok." "Alah libur saja! Masih ada acara keluarga bilang ke kepala sekolah tempatmu mengajar. Lagi pula sekolah itu nggak akan batal ulang
Suara dering ponsel membangunkan. Saat akan kuangkat ternyata sudah terputus. Sembilan belas panggilan tak terjawab atas nama Ibu Mertua. Kurentangkan tangan ke atas, suara tulang terdengar beradu. Rasanya badanku lelah dan sakit semua. Dua hari di rumah Ibu benar-benar menguras tenaga dan energi. Semalam aku juga tidur hingga larut malam karena menyelesaikan soal ulangan untuk murid-muridku. Kulihat jam di nakas, sudah hampir jam empat, adzan subuh baru saja usai berkumandang. Saat akan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu ponsel itu berdering kembali. Segera aku meraihnya. "Halo, Assalamu'alaikum Bu.” "Waalaikumsalam, Nis. Kok lama angkat telponnya? Sampai pegel loh tangan Ibu menunggunya, baru bangun ya? Jam segini kok baru bangun sih Nis, pusing Ibu lihat kamu, untung saja nggak tinggal sama Ibu, kalau tinggal sama Ibu sudah Ibu omelin kamu tiap hari Nis," Ibu berkata panjang lebar, aku hanya diam mendengarkan. Karena aku tahu, mulut Ibu memang seperti itu tapi sesungguhn
Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu. Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping. Suara chat masuk terdengar dari ponselku. Suami [Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?] Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.] [Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.] [Tentu saja Mas. Nisa tunggu] Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada. Mungkin di taman. Tidak ada juga. "Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian. "Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”. Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak
Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya."Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk."Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan."Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku."Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku."Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Ma
Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan."Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku."Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya.""Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja.""Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut."Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.Kini degup jantungku sema
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar