Share

Calon yang soleh

“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”

Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya  sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”

***

“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya.  Lelaki berusia 38 tahun itu lebih banyak diam ketimbang meladeni semua pertanyaan keponakannya.

“Om, coba deh jawab pertanyaanku!” titah Ameera penuh penegasan. Rasanya ia mulai geram karena tak mendapat kejelasan dari orang yang sudah menjadi orang tua tunggal baginya sejak beberapa tahun lalu.

Om Roni menghela napas panjang. Ia menoleh kepada Ameera. “Om mau bawa kamu ke pesantren.”

Ameera membelalak. Matanya yang kecil membulat dengan sempurna. “What?” Ameera menangkup kedua pipinya sendiri. “Oh my God. Ini ide gila apa lagi, sih, Om? Kemaren Om minta aku untuk nggak keluar dari rumah. Dan sekarang Om mau masukin aku ke pesantren! Kenapa Om nggak suruh aku mati aja, sih?”

“Kalo Om suruh kamu mati, yang ada justru Om makin repot!” sahut Om Roni tanpa sedikitpun menatap Ameera. Lelaki yang memilih untuk menunda pernikahannya karena harus mengurus Ameera itu tetap memfokuskan pandangannya ke arah depan.

“Om, ini pesantren, loh! Gimana aku bisa tinggal di sana. Aku ini bukan manusia ahli ibadah!” Ameera berupaya untuk membujuk pamannya agar bisa mengurungkan niat itu.

Om Roni menghentikan laju kendaraannya. Kebetulan mereka sudah keluar dari jalur tol, sehingga dapat menepi di bahu jalan raya. Sesaat ia menatap wajah Ameera. Gadis itu terlihat murung. “Kamu dengerin Om, ya? Berpisah sama kamu juga bukan hal yang mudah buat Om. Tapi Om pikir ini adalah jalan satu-satunya buat kebaikan kamu.”

Ameera tersenyum kecut. Jelas sekali ia tak menyukai pendapat pamannya. “Kebaikan? Kebaikan buat Om. Tapi bukan buat aku!”

“Kamu nggak ngerti, Ameera. Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi Om yang nggak bisa konsentrasi kerja karena mikirin kamu.”

“Kenapa juga Om mesti mikirin aku? Aku udah besar. Aku bisa urus diri aku sendiri.” Ameera sedikit menentang pamannya. Kekerasan hatinya memang sulit untuk dikikiskan.

“Kalo Om nggak inget sama pesan orang tua kamu, mungkin juga Om nggak akan mengekang kamu seketat ini.”

Ameera terheran. “Pesan? Emangnya Papa sama Mama pesan apa ke  Om Roni?”

“Kalo sekiranya Om merasa kewalahan dalam mendidik kamu, Papamu mau kamu dimasukkan ke pesantren yang ada di kampungnya.”

Ameera tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca sambil sedikit menarik alisnya ke dalam. Sesak seketika melanda rongga dadanya. “Jadi Om kewalahan untuk urusin aku?” tanyanya lirih.

Om Roni menggeleng-geleng. Sepertinya ia telah salah berucap. Rasa sesal seketika menderanya. “Nggak, bukan gitu maksud, Om!”

Ameera mendongak, dan beralih ke lelaki yang duduk di sampingnya. “Terus apa?”

“Om Cuma pengen kamu bisa jadi lebih baik. Selama ini Om merasa udah salah menempatkan kamu.”

“Maksud Om, sekolah dan pergaulanku?” selidik Ameera.

Om Roni mengangguk. Tak dapat dipungkiri, kekhawatiran Om Roni kian membesar ketika mendapati beberapa teman-teman keponakannya datang ke rumah. Gadis-gadis itu terlihat berpenampilan aneh. Lebih tepatnya cara berpenampilan yang mencerminkan kurangnya pemahaman agama pada diri mereka. Ameera memang tak pernah didapatinya mengenakan pakaian sejenis teman-temannya. Namun, ia mengibaratkan Ameera seperti ombak. Di mana ada daratan, ombak yang dihalau tebing agar kembali ke tengah lautan, akan tetap menepi ke sana.

“Om takut, Ra!”

Mata Ameera menyipit. “Takut apa, Om?”

“Om takut nggak bisa penuhi janji Om sama orang tua kamu.”

“Janji? Janji apa?”

“Kamu udah 18 tahun, Om anggap kamu udah cukup dewasa. Tapi, di mata Om kedewasaan kamu itu belum sempurna. Om pengen suatu saat nanti kamu bisa dapetin laki-laki yang bener-bener bisa menyempurnakan agamamu.”

Ameera mulai menebak arah pembicaraan pamannya. Rahangnya menegang seiring dengan ketajaman sorot matanya. “Nggak usah bercanda, deh, Om! Aku masih belum mau nikah, kok!” tegasnya. “Udah, deh, yuk kita balik ke Jakarta aja!” Kali ini Ameera sedikit manja.

“Nggak, Ameera! Om nggak agi bercanda.”

Ameera berdecak seraya bersedekap. “Om Roni nggak asik!” ungkapnya kesal. “Om, di kota itu banyak, kok, cowok soleh. Temen-temen sekolah aku juga banyak yang pinter ngaji! Udah yuk, kita balik ke kota lagi! Please...!” bujuk Ameera lagi,.

“Kalo Om bilang nggak, ya nggak! Mungkin emang banyak cowok kota yang ngelakuin ibadah dan pinter ngaji, tapi Om pengennya cowok yang nggak Cuma sekedar pinter ngaji aja. Papa dan Om mau kamu bisa menikah sama laki-laki yang agamanya baik, yang bisa merubah kehidupan kamu.”

Ameera terdiam. Ia tak dapat menyangkal pernyataan pamannya. Baginya itu sudah cukup menegaskan betapa peraturan Om Roni percuma jika terus ia tentang. Rasanya murka, tapi harus ia pendam.

***

Ameera menggembungkan pipinya, mengeluarkan karbondioksida hingga ujung depan jilbabnya nyaris bergoyang. “Gue harus bisa keluar dari tempat ini? Tapi gimana caranya?” Ameera memutar bola matanya, pada akhirnya tatapannya menemukan sebuah tempat yang mencairkan otaknya.

Ameera mendekat ke arah gedung yang ia perhatikan dari jarak beberapa meter. Sesaat ia berdiri seraya menilik ke dalam gedung ruangan staf pesantren dari luar jendela kaca. Sepasang netra Ameera menyapu seluruh isi ruangan. Tak ada seorang pun di sana. Kemudian pandangannya beralih pada sebuah lemari kaca yang transparan. Letaknya di sudut ruangan lurus berseberangan dengan tempatnya berdiri. Ameera dapat melihat sekumpulan telepon genggam tersimpan di sana.

Ameera memutar tubuhnya 180’. “Handphone gue ada di sana, gimana caranya gue bisa ambil, ya?” otaknya juga turut berputar demi mencari ide. Namun, sepertinya ia mengalami kebuntuan berpikir. Ia kembali berniat menengok ruangan staf pesantren lagi. Namun nahas, seorang pemuda berbaju gamis telah menatapnya dari balik jendela kaca. Bahu Ameera reflek terangkat. “Gus!” Seketika tubuhnya gemetaran.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Ahmad.

“Harusnya aku yang tanya, kok tiba-tiba Gus ada di situ? Padahal, barusan aku lihat nggak ada siapa-siapa?” Sungguh nada bicara Ameera terlalu cuek. Sepertinya ia belum bisa menempatkan diri tengah berbicara dengan siapa dan sebagai apa kedudukannya di pesantren.

“Dari tadi saya berdiri di depan lemari ini!” sahut Ahmad. Ya, memang benar. Sejak semula Ahmad sudah berada di depan lemari. Ia tengah mengembalikan berkas yang sebelumnya ia ambil dari lemari. Namun, tanpa sengaja ketika dirinya hendak kembali ke meja kerjanya, matanya menangkap sesosok wanita tengah membelakangi jendela kaca yang letaknya berdampingan dengan lemari. “Mau apa kamu ngintip-ngintip? Memangnya Ndak bisa mengucap salam, dan permisi lewat pintu?” cecarnya.

Ameera mencebik. “Siapa juga yang lagi ngintip!” sanggahnya dengan salah tingkah. “Aku Cuma pengen lihat-lihat aja, kok!” Sungguh konyol alibi yang dimainkan Ameera. Ahmad dapat menangkap signal tidak beres dari jawabannya. Tentu saja, itu sudah banyak ia dapatkan dari para santri lainnya yang sama persis dengan Ameera. Tujuannya hanya demi ingin mencari letak telepon genggamnya disimpan. “Kamu tenang aja, Hp-mu disimpen dengan aman di sini!” ucapnya seraya melayangkan senyum ejekan kepada Ameera.

Ameera justru menyipitkan mata dengan mulut menganga. Bagaimana mungkin pemuda itu tahu maksud terselubungnya? Gadis cantik itu mulai jengah. Tanpa berkata apa-apa, ia lekas pergi meninggalkan Ahmad.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status