Share

Bidadari Pesantren

Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.

Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.

Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh di atas ranjang. Dia sangat menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya, terutama pada bagian leher. “Huh ... nggak ada AC kipas pun jadi.”

“Astagfirullahal’adzim!” pekik seseorang sehingga membuat Ameera terkejut dan bangkit.

“Apaan, sih, Rum!”

Rumy segera menutup pintu kamarnya rapat-rapat. “Yo kamu itu, loh, bisa-bisanya lepas kerudung posisi pintu Ndak ditutup!” oceh Rumy. “Kalo sampe ada ikhwan lewat terus melihat auratmu gimana?”

“Ikhwan? Siapa Ikhwan?” Ameera bingung.

“Ikhwan itu sebutan untuk kaum laki-laki.”

“Oh ...” Ameera manggut-manggut.

“Lain kali ... kalo mau lepas kerudung, jangan lupa tutup pintunya! Untung saja aku yang lihat, kalo Bu Nyai yang lihat, bisa-bisa kamu diomeli!”

“Eh, nyoka bokap gue aja nggak pernah ngomelin gue! Kenapa Bu Nyai mau ngomelin gue seenaknya?” ujar Ameera lantang.

Rumy menempel telunjuknya di depan bibir, memberi kode agar Ameera tak bersuara keras. Gadis itu khawatir akan ada pihak pesantren yang mendengar ocehan Ameera. Sementara Ameera justru tak suka jika harus disuruh diam.

“Kenapa? Takut ada yang dengar?”

Rumy justru melakukan hal yang lebih lagi terhadap Ameera. Gadis yang usianya lebih muda satu tahun dari Ameera itu malah nekad membungkam mulut gadis kota di hadapannya dengan spontan hingga membuat Ameera kesulitan bernapas. Akhirnya Ameera, pun mencubit tangan Rumy dengan keras.

“Aw!” Rumy teriak kesakitan dan langsung melepaskan bungkamannya. Sementara Ameera mencoba kembali mengatur napasnya yang masih cukup tersengal.

“Ameera jahat banget, sih!” gerutu Rumy seraya mengelus tangannya yang memerah.

“Abisnya ... lo main bekep mulut gue!” sanggah Ameera dengan nada kesal.

Terdengar suara handle pintu ditekan. Dua orang penghuni kamar yang lain datang. Mereka tampak heran melihat ekspresi dua orang yang sejak tadi sudah berada di kamar.

“Kalian kenapa?” selidik Ayu.

“Ini, nih, si Ameera cubit tanganku.”

“Salah siapa lo ngebekep mulut gue!”

Kembali terjadi kegaduhan. Hal itu memantik Ayu untuk segera melerai. “Udah! Udah! Jangan ribut!” Ayu menatap Ameera. “Jilbabmu mana?”

“Gue lepas,” sahut Ameera seraya melirik ke jilbab yang ditaruhnya di ranjang.

“Kenapa?” cecar Ayu.

Ameera kembali didera rasa kesal. Mengapa nasibnya menjadi malang seperti ini? Memiliki teman-teman yang sangat mematuhi aturan di pesantren lumayan merepotkan baginya. Begitu pikirnya. “Aduh! Ya karena gue gerah, itu sebabnya gue lepas!”

Ayu duduk di tepian ranjangnya. Disusul oleh Rumy yang segera mendaratkan bokongnya di samping Ayu sambil terus meniup bekas cubitan Ameera.

“Terus kamu, Rum, kenapa kamu ngebungkam mulutnya Ameera?” selidik Ayu. Gadis asli Jogja itu sungguh ingin tahu penyebab kegaduhan antara Ameera dan Rumy.

“Ya itu ... gara-gara Meera lepas jilbab, tapi pintunya sama sekali Ndak ditutup. Yo aku omeli dia tho!”

Ayu menghela napas cukup dalam. Lagi-lagi Ameera berbuat ulah konyol yang tidak seharusnya ia lakukan di pesantren.

“Padahal, aku udah bilang sama dia kalo Bu Nyai yang liat bisa-bisa dia diomeli. Eh malah dianya bicaranya keras-keras. Yo tak bungkem saja mulutnya,” sambung Rumy.

“Iya ... tapi cara lo ngebekep itu kenceng bener! Bikin gue susah napas, tahu!” Lagi-lagi Ameera berbicara dengan lantang.

“Apa kamu Ndak bisa bicara baik-baik, tanpa harus emosi?” tegur Ayu lembut tapi tegas hingga membuat Ameera beralih pandang tak berani menatapnya. Ayu dapat melihat bagaimana ekspresi Ameera. Gadis itu terlihat melemah di hadapannya. “Aku bukannya mau membela Rumy. Tapi, kalo memang benar apa yang diceritakan sama dia, aku benarkan posisinya.” Ayu memberi jeda pada ucapannya. “Sebagai perempuan muslim, seharusnya kamu lebih bisa menjaga kehormatanmu dari kejahatan, terutama kejahatan nafsu dari yang bukan mahrammu!”

Ameera berdecak. “Ya ampun, lagi-lagi gue yang salah!”

“Aku Ndak lagi menyalahkanmu, karena aku juga bukan orang yang bisa dianggap benar. Tapi aku sedang memberitahumu, Ra!”

“Ya terus gue mesti gimana, dong? Lagian, gue Cuma lepas jilbab. Bukan telanjang!”

Ayu tersenyum. Ameera benar-benar keras kepala. Ia harus ekstra sabar dalam memberikan pengarahan untuk keponakan Om Roni itu. Sedangkan Kendis, gadis yang sejak tadi hanya menatap dan mendengar perdebatan di antara ketiga sahabatnya itu hanya mampu menggeleng.

“Aku kok mumet yo lihat kalian pada ribut! Udah kayak debat pilihan capres saja.” Kendis yang notabene cara berpikirnya sedikit lambat itu sedikit mengisi suasana tegang menjadi jenaka. Hal itu membuat Ameera merasa muak. Kemudian ia lekas mengenakan kembali jilbabnya.

“Ra, maaf kalo ucapanku sedikit menyinggung perasaanmu. Tapi semua juga demi kebaikan kamu.” Ayu mencoba kembali memberi penjelasan. “Jilbab adalah identitas kita sebagai muslimah. Dan itu bukan aturan adat istiadat, tapi itu aturan dari Allah.”

Ameera meniupkan karbondioksida dari mulutnya sambil memegangi kepalanya. Rasa-rasanya ia sudah tak tahan berada di kamar bersama teman-temannya, terutama dengan Ayu. Hatinya merasa tidak dapat menerima pendapat sahabatnya. Ia meminta Ayu untuk tidak berceramah lagi, dan bergegas meninggalkan kamar.

***

Pepatah mengatakan “Tak ada rotan, akar pun jadi” maka “Tak ada kipas angin, pohon pun jadi” begitulah kiranya ide yang didapat Ameera ketika melihat sebuah pohon sawo yang ada di belakang gedung staf pengajar. Rasa kesalnya terhadap tiga orang sahabatnya cukup membawanya ingin menjauh dari keramaian.

“Wah ada tempat teduh, tuh. Bisa kali, ya, gue ngadem di sana?”

Tanpa berpikir lama, Ameera menuju ke bawah batang pohon sawo. Sungguh tempatnya sangat sejuk. Pohon yang tingginya kisaran enam meter itu cukup membantunya untuk mengurangi rasa gerah yang menderanya.

Tepat di dekat batang pohon, ada kursi bambu rakitan yang berbentuk memanjang. Lagi-lagi Ameera melakukan hal konyol di sana. Ia merebahkan tubuhnya di kursi bambu dengan posisi terlentang.

***

Udara panas cukup membuat sebagian orang kesulitan untuk beristirahat dengan tenang. Demikian pula dengan Ahmad. Sebenarnya ia tengah didera rasa lelah, tapi ia sama sekali tak mengambil waktu untuk beristirahat. Sepulangnya dari salat Dzuhur berjamah di masjid, pemuda berkulit sawo matang itu memilih untuk mengerjakan sesuatu di ruang staf pesantren. Mengingat tentang kemauan orang tuanya agar ia mengajukan persetujuan pendirian universitas.

“Berkasnya kemarin aku simpan di mana, yo?” Ahmad tampak berpikir, mencoba mengingat-ingat kertas yang sudah diprint-nya kemarin. Kemudian ia mengingat sesuatu, dan lekas bangkit lalu melangkah menuju lemari yang ada pojok ruangan, dekat sekali dengan jendela bagian belakang ruangan.

Ahmad memilah di antara susunan campuran banyak map. “Nah, iki seng tak cari. Alhamdulillah ternyata beneran aku simpan di sini,” ucapnya lega diiringi senyuman. Ahmad segera menutup kembali lemarinya. Ia hendak kembali ke meja kerjanya. Namun, belum sempat dirinya melangkah, tanpa sengaja sepasang netranya menangkap sesosok gadis yang sedang terlentang di luar ruangan. Tepatnya di bawah pohon sawo belakang ruang staf pesantren.

Mata Ahmad sama sekali tidak berkedip. Ia justru tercengang. Gadis itu beranjak bangun dan tersenyum. Ahmad senang melihatnya. Kali ini pemuda itu turut tersenyum. “MasyaaAllah, indah sekali makhluk ciptaan-Mu, Ya Allah.”

“Apanya yang indah, Mad?” tanya seseorang memecahkan pikiran Ahmad.

Ahmad tercekat. “Eh, Samsul? Ndak, bukan opo-opo. Kuwe mau apa, Sul, ke sini?” tanyanya sedikit kikuk sambil sesekali melirik ke arah luar jendela, seiring rasa khawatir Samsul akan mencurigainya.

“Ya mau cari kamu, tho, Mad!”

Ahmad beralih tempat menjauh dari jendela. Ia kembali duduk di kursi kerjanya. Sementara Samsul mengekorinya. “Memangnya mau ada perlu apa? Kok, kayaknya penting banget.”

“Ini soal pesantren, Mad.”

Ahmad menyipitkan mata. “Ada apa sama pesantren?” selidiknya.

“Apa bener yang dibilang sama Abah, kalo kamu mau mengajukan pendirian universitas?”

“Iya, ini aku lagi mau urus pemberkasannya.”

Samsul tampak menunduk. Ada raut kesedihan di wajahnya. Hal itu membuat Ahmad merasa terheran. “Kamu kenapa, Sul? Kok kelihatannya sedih gitu.”

“Kalo kamu fokus sama urusan pendidikan, terus gimana sama pesantren ini?” tanya Samsul. “Abah sudah bilang ke aku, supaya aku fokus ke pesantren. Tapi rasanya aku Ndak mampu kalo harus mengurus pesantren ini sendirian tanpa kamu, Mad.”

Ahmad mengerti apa yang dimaksud Samsul. Dia tahu persis bagaimana sifat saudara angkatnya itu. Pemuda bernama lengkap Samsul Huda itu sosok orang yang cukup sadar diri atas statusnya dalam keluarga Kiyai Husein. Dirinya sering merasa tak pantas jika harus mengemban amanah besar setara dengan Ahmad yang merupakan anak kandung dari orang tua angkatnya.

Ahmad tersenyum. Ia menepuk mencengkeram lembut bahu kiri Samsul. “Kamu tenang saja, Sul. Aku akan senang hati membantumu. Tapi ... ada syaratnya?”

Samsul membelalak. “Syaratnya opo, Mad?”

“Syaratnya ... tetap kamu yang harus menggantikan kedudukan Abah di pesantren, bukan aku apalagi Ummi.”

Kedua pemuda itu saling bertatapan. Binar mata Ahmad melambangkan sebuah dukungan besar untuk Samsul. “Wes tho, pokoknya kamu harus memantapkan hati. Yakin, Insyaa Allah  kamu mampu mengemban amanah Abah.”

Sebenarnya Samsul masih merasa cukup berat untuk menerima hal itu. Namun, ia tidak ingin mengecewakan orang tua dan saudara angkatnya. Sepertinya mereka berharap penuh atas dirinya. Bisa jadi Allah memercayakan ini kepadanya, sebagai bentuk balas budi atas kebaikan keluarga Kiyai Husein.

“Terima kasih, ya, Mad, kamu sudah memberikan dukungan penuh buat aku.”

“Kita ini bersaudara, Sul. Sudah jadi kewajiban untuk kita saling membantu. Jangankan kamu, orang lain pun kalo kita mampu, ya wajib kita bantu.”

Samsul tersenyum mendengar celoteh Ahmad. Sementara Ahmad justru mencoba untuk mencuri sedikit ke arah luar jendela. Gadis itu masih di sana. Terlihat sedang berjingkrak-jingkrak guna  menggapai buah sawo yang ada di pohon. Ahmad kembali tersenyum, dan itu menumbuhkan kecurigaan di benak Samsul yang rupanya sudah paham atas apa yang sedang disaksikan saudaranya.

“Oh ... pantesan kamu bilang ada yang indah! Rupanya ada bidadari di pesantren ini ya, Mad?”

“Iya, Sul,” sahut Ahmad di luar kesadarannya seraya terus memperhatikan Ameera. Namun, tak berselang waktu lama, Ahmad segera menyadari kondisinya. “Eh, Sul, lupain aja omonganku barusan. Anggap aku Ndak pernah ngomong opo-opo, yo!’ pintanya.

“Eyalah, Mad, Mad, kamu ini kayak sama siapa saja. Aku ini saudaramu, Ndak usah malu-malu.”

Ahmad tertunduk seraya menggeleng. Pipinya menghangat seiring jengah yang melanda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status