Share

Sial

Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.

Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.

“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.

“Nggak nafsu!” sahut Ameera lalu pergi meninggalkan dapur umum tanpa membawa jatah sarapannya.

Dari kejauhan Ayu rupanya memperhatikan tingkah Ameera. Gadis berpenampilan sederhana itu hanya menggeleng. Lagi-lagi dia merasa perihatin atas sikap Ameera.

***

“Sebenernya gue laper, tapi masak iya sih, gue mau makan makanan kayak begitu?” gerutu Ameera sendirian di dalam kamarnya. Ameera memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Dia terlihat kesal mengingat perbuatan Om Roni yang menaruhnya di pesantren. “Semua gara-gara Om Roni!”

Terdengar suara derit pintu. Ameera menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis berkerudung datang seraya memegang sepiring makanan damn segelas air minum. “Sarapan dulu, Ra!” titahnya seraya meletakkan piring dan gelas di meja belajar yang terletak di pojok ruangan, tepat di ujung ranjang.

“Kan, gue udah bilang ke Rumi kalo gue nggak nafsu makan!” ucap Ameera dengan nada tinggi.

“Ndak nafsu makan karena Ndak cocok sama lauknya, berbeda dengan Ndak nafsu makan karena sakit, Ra!”

Ameera diam. Sepertinya sang teman dapat mengerti  perasaannya. Gadis kota itu melirik ke arah piring. Dilihatnya sesuatu yang berbeda berada di sana. Ameera mendekat ke meja, lalu meraih piringnya. Tak ada sayur terung di sana. Hanya ada nasi yang disiram kuah santan, sementara di atas nasinya ada sebutir telur goreng mata sapi. Ameera sudah tak mampu lagi menahan rasa laparnya. Ia segera menyantap makanannya.

“Tadi, aku minta ijin ke Gus Ahmad!”

“Ijin apaan, Ay?”

“Bukan aku, sih! Tapi Bude Darmi. Minta ijin untuk goreng telur buat kamu.”

Ameera tercekat. Telur yang baru saja digigitnya belum sempat ditelan. “Mau goreng telor satu doang harus ijin dulu?”

Ayu mengangguk. “Kita ini hidup di pesantren. Ya kita harus patuhi aturan pesantren.”

“Termasuk makan juga ada aturannya?”

“Iya.  Kita Cuma bisa makan telur, ikan, dan minum susu di hari Minggu saja. Selain hari itu, kita makan ala kadarnya.”

“Ini pesantren apa penjara, sih? Makan aja pakek diatur-atur segala.”

“Ini aturan yang baik buat kita, Ra.”

“Buat lo! Bukan buat gue!” sahut Ameera penuh kesal. Kemudian ia kembali meletakkan piringnya di meja. “Sumpe ya, Ay, ini baru jam sepuluh pagi. Tapi kesialan udah tiga kali gue dapetin di hari ini!”

“Kesialan?” Ayu tampak bingung.

“Iya, kesialan! Pertama, muka gue jadi item gara-gara angus dari tungku. Kedua, lo minta gue jadi pembantu di rumah Bu Nyai, dan sekarang gue mesti makan dari belas kasihan orang!” Kemarahan Ameera semakin menjadi.

“Belas kasihan? Maksudmu?” Ayu semakin tak mengerti arah pembicaraan yang dimaksud oleh Ameera.

“Gue hari ini bisa makan pake telor karena Gus Ahmad itu  yang ngijinin. Apa namanya kalo bukan belas kasihan?”

“Itu bukan belas kasihan!” seru seorang pemuda dari ambang pintu.

Ameera dan Ayu menoleh ke arah sang pemuda. Rupanya tanpa disengaja Ahmad mendengar percakapan kedua santriwatinya dari teras kamar meraka. Ahmad yang sedang berkeliling mengontrol kegiatan para santri, seketika terhenti di depan kamar Ameera dan kawan-kawan.

“Kamu santri baru di sini, dan saya bisa memaklumi itu!”

Ayu merasa tidak enak hati kepada anak kiyainya itu. “Nyuwun pangapunten, Gus. Ameera Ndak bermaksud buruk!”

“Sudah, Ndak apa-apa. Saya juga minta maaf karena sudah lancang ikut campur dalam obrolan kalian.”

“Rupanya sadar diri juga,” gumam Ameera lirih mengenai Ahmad.

“Kamu bilang apa?” Rupanya Ahmad sedikit mendengar ucapan Ameera.

“Oh, nggak, bukan apa-apa,” sahut Ameera seraya menyerigai, memaksakan diri untuk tetap tersenyum kepada Ahmad. “By the way, makasih ya, Gus, udah kasih saya ijin makan pake telor goreng hari ini.”

“Sama-sama. Oya, Yu, kamu kasih tau temen baru kamu ini tentang jadwal kegiatannya di pesantren! Biar dia Ndak kaget dan marah lagi sama kamu,” titah Ahmad sedikit meledek.

“Inggih, Gus. InsyaaAllah nanti saya bicarakan sama Ameera.”

Ahmad segera meminta diri meninggalkan Ameera dan Ayu. Kedua gadis itu merasa lega setelah kepergian Ahmad. Ayu mengembuskan napas dengan cepat.

“Alhamdulillah!”

“Lo kenapa, Ay?” tanya Ameera merasa heran.

“Untung aja Gus Ahmad Ndak marah sama kamu, Ra!”

Ameera merasa mulai tertarik dengan topik pembicaraan yang baru. Gadis yang sejak tadi marah-marah, kini justru mengambil posisi duduk di atas ranjang bersama Ayu. “Emang orang kayak dia bisa marah?”

“Manusia itu Ndak ada yang sempurna, Ra! Biarpun beliau seseorang yang ahli ibadah, dalam ilmu agamanya, tapi beliau tetap manusia biasa yang punya logika dan perasaan.”

“Mungkin karena gue cantik kali, ya? Jadinya dia nggak tega mau marah sama gue?” Kali ini Ameera terkesan percaya diri.

“Aku sama sekali Ndak ngerti sama jalan pikiranmu, Ra! Gus Ahmad itu bukan orang yang gampang tergoda sama perempuan. Dia Ndak marah sama kamu, bukan berarti karena kamu cantik. Tapi karena dia benar-benar memaklumimu,” kata Ayu menegaskan.

Rupanya penjelasan Ayu tak serta-merta membuat Ameera mengerti. Gadis yang memiliki bibir tipis itu justru kini malah menggoda Ayu. “Lo cemburu, ya?” tanyanya dengan nada sedikit menggoda.

“Kuwe ki ngomong opo, to? Ndak ada yang cemburu!” sanggah Ayu.

“Itu buktinya lo nggak suka kan, pas gue bilang Gus Ahmad nggak marah sama gue karena gue cantik.”

Ayu bangkit dari duduknya. “Wes, kalo ngomong Ndak usah ngawur! Mendingan sekarang kamu habiskan makananmu itu. Mumpung Gus Ahmad lagi baik sama kamu. Besok-besok, kamu Ndak bakalan ketemu sama makanan yang begini selain hari Minggu. Dan satu lagi, kamu Ndak bisa nambah, kecuali kalo kamu tadi ambil makan sendiri, kamu bisa ambil sekenyangnya perutmu!” ucapnya lalu pergi meninggalkan Ameera sendirian di kamar.

Ameera mengernyit. Segera diraihnya kembali piring berisi nasi dan telur yang sempat ia tinggalkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status