Share

Dapur

Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.

“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”

“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.

“Eh, lo, Rum?”

“Kamu kenapa, Ra? Kuwe punya masalah?” tanya Rumi lebih dalam.

“Hah! Kue???” Ameera belum mengerti dengan kosakata suku Jawa.

“Maksud kamu!” kata Rumi menjelaskan.

“Oh! Sedikit,” sahut Ameera kemudian.

“Kalo kamu ada masalah, berbagi aja sama aku, Ayu, dan Kendis! Siapa tau kami bisa bantu kamu.”

Ameera meletakkan sapu ijuknya di sisi pintu. “Masalah gue itu terlalu rumit, Rum. Kalian belum tentu bisa ngerti, apalagi bantu mecahin masalahnya.”

Rumi menghela napas anjang. Ucapan Ameera sedikit merendahkan dia dan kedua sahabatnya yang lain. Namun, baginya itu bukanlah masalah dan memicu untuk menjauhi Ameera. Gadis itu hanya belum memercayai jika manusia tidak bisa membantunya, maka ada Allah yang memiliki kuasa di atas segalanya.

“Yo wes, kalo kamu Ndak mau cerita, yo Ndak apa-apa!”

Ameera menyeringai. “By the way, Ayu sama Kendis ke mana? Kok dari pagi gue nggak liat mereka?”

“Mereka lagi bantu Bude Darmi masak di dapur! Kamu mau ikut ke sana?”

“Ke dapur maksud lo?”

Rumi mengangguk.

“Boleh, deh. Lagian gue juga bete di sini sendirian!”

Ameera lekas mengikuti Rumi. Sampai di dapur pesantren, Ameera sedikit tercengang melihat kondisi dapur yang jauh berbeda dari dapurnya di rumah. Hah ... ini dapur? Yang bener aja. Jorok amat, sih? Batin Ameera seraya mengedarkan mata ke seluruh penjuru ruangan yang berbau asap. Beberapa tungku dua lubang tersedia di teras bagian belakang dapur. Terlihat Ayu sedang duduk seraya menyiangi sayuran di dekat pintu belakang. Sementara di luar ada seorang wanita paruh baya sedang mengambil kayu bakar dari sebuah gubuk kecil.

“Wes, Dul, kamu bawa kayunya deket pawon!” ucap wanita bernama Bude Darmi.

“Inggih, Bude,” jawab Abdul.

Ameera masih terus menatap ke arah luar. Dirinya masih heran atas kondisi dapur pesantren yang letaknya tepat di samping agak ke belakang rumah Kiyai Husein.

“Kenapa, Ra?” tanya Ayu yang rupanya memperhatikan Ameera.

Ameera mendekat ke Ayu, lalu berjongkok di depannya. “Ini dapur, Ay?”

“Menurutmu opo?” tanya Ayu balik.

Ameera mendongak memperhatikan langit-langit dapur yang hitam. “Ini sih, udah kayak kandang!”

“Hus! Jangan ngawur kowe, Ra! Bisa-bisa kalo Bude Darmi denger, kamu bisa diomeli!” ujar Kendis yang sedang menggiling bumbu dengan cobek.

“Wes, Ndak popo, Ndis! Wes biasa kalo ada orang baru yang bilang begitu. Bude Ndak kaget!” seru Bude Darmi yang datang dari arah belakang Ameera. Sementara Ameera lekas berjengit, berdiri menatap Bude Darmi. “Nduk, Cah ayu, nama kamu siapa?” tanya Bude Darmi ramah.

“Ameera, Bude!”

“Walah ... namanya bagus, yo. Koyo cah kota!”

“La emang cah kota loh, Bude!” seru Rumi. “Asli anak Jakarta!”

“Eh ladalah, pantesan aja ngebilangin dapur kita ini koyo kandang, lawong dianya wong kota. Yo wajar to, Ay!” Bude Darmi sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Ameera sebelumnya. Wanita itu justru dapat memaklumi pemikiran Ameera. Sehingga hal tersebut justru membuat Ameera merasa malu.

“Dengar tu, Ra. Bude Darmi sama sekali Ndak marah sama kamu. Tapi, nanti-nanti kamu mesti bisa jaga sikap dan ucapanmu, biar Ndak ada yang tersinggung!” saran Ayu. “Ndak semua orang seperti Bude Darmi!!”

“Tapi ... tadi kata Kendis Bude Darmi suka ngomel, ya?” tanya Ameera penasaran.

“Bude memang suka ngomel, tapi Cuma sama Kendis. Lawong Kendis juga kalo Bude ajari suka sekali ngeyel!” ungkap Bude Darmi memicu gelak tawa ketiga gadis di hadapannya. Sementara Kendis hanya mencebik.

***

Kepulan asap cukup memenuhi ruang dapur pesantren. Ayu yang masih berada di dalamnya merasa pengap. Gadis berjilbab cokelat itu lekas keluar menuju tungku. Ternyata benar dugaannya. Api di tungku tidak hidup. Sementara Ameera yang sedang mengurusnya justru terbatuk-batuk.

“Ya ampun, Ra! Kok asepnya gini banget, to?” tanya Ayu yang melangkah keluar sambil mengibas asap tebal di depannya.

“Kesel gue, Ay. Dari tadi apinya nggak mau idup!” sahut Ameera sambil sesekali meniup tungku.

“Minggir, kamu! Wes, biar aku aja yang hidupkan apinya!” Ayu mengambil alih tempat Ameera berjongkok. Sementara gadis itu bangkit seraya mengucek matanya yang pedih karena asap.

Ayu mengambil pipa air yang tidak terlalu panjang berada di samping tungku. “Kamu itu salah set, Ra! Harusnya pake alat ini!” ucapnya, lalu meniup tungku.

Api menyala, Ameera terheran. “Kenapa lo nggak bilang kalo harusnya niup pake pipa itu?” ucapnya sedikit kesal. “Coba kalo lo ajarin gue dari tadi, kan jadinya nggak bakalan ada asep yang bikin mata gue pedih kayak gini!”

Ayu tercengang menatap Ameera. Tak lama kemudian gadis Jawa itu justru tertawa sambil menutup mulutnya. Ameera heran atas perilaku sahabatnya. “Lo kenapa sih, Ay? Gue omelin lo malah ketawa nggak jelas gitu!”

Bude Darmi keluar dari dalam dapur disusul oleh Rumi dan Kendis. Mereka turut heran atas tawa Ayu yang terpingkal-pingkal. “Jane ono opo to, Nduk? Kok kamu tertawanya heboh?”

“Ho’oh, Ay, ada apa?” timpal Rumi.

Ayu masih terus tertawa sambil menunjuk ke arah wajah  Ameera. Bude Darmi, Rumi, dan Kendis turut memperhatikan wajah Ameera. Pada akhirnya, mereka juga ikut tertawa. Terlebih Kendis, suara tawanya sangat keras melebihi yang lainnya. Ameera semakin heran. “Kalian kenapa, sih? Emang ada yang lucu, ya?”

“Aduh, Ra! Mending kamu ngaca! Itu loh wajahmu, wes koyo badut seng ono neng tipi-tipi kae!” ungkap Kendis yang masih terus terpingkal.

Ameera lekas masuk ke dalam dapur. Di sudut ruang dapur terdapat sebuah lemari untuk menyimpan alat-alat masak, yang di bagian pintunya juga sengaja dilapisi cermin. Betapa terkejutnya Ameera setelah mendapati wajahnya penuh dengan angus tungku di bagian pipi dan keningnya. Gadis itu lekas berlari menuju ke kamar mandi umum. Di sana ia segera membasuh wajahnya dengan air dan sabun. Setelah yakin benar-benar sudah bersih, ia kembali bercermin. Perasaan dongkol seketika menghampiri jiwanya.

“Ya ampun, ini semua gara-gara Om Roni. Kalo dia nggak masukin gue ke tempat ini, gue nggak bakalan sesial ini. Pokoknya gue mau minta Om Roni ngeluarin gue dari sini. Gue nggak mau berlama-lama di sini. Bisa strees gue!” Ameera setengah menangis. Hatinya benar-benar marah.

“Ra! Ra!” Ayu mengetuk pintu kamar mandi. Ameera bergegas keluar.

“Kamu nggak apa-apa, Ra?” tanya Ayu sedikit mengkhawatirkan kondisi psikis Ameera.

Ameera menggeleng. Wajahnya terlihat lemas dan sedih.

“Syukurlah.” Ayu merasa sedikit lega. “Maaf ya, kalo tadi aku udah bikin kamu malu!”

“Udah, gue nggak apa-apa, kok!”

“Yo wes, sekarang kamu ikut aku aja, yuk!”

“Ke mana?”

“Bude Darmi nyuruh kita  siapin sarapan buat Abah dan keluarganya.”

Ameera tercekat. “Hah, apa? Nyiapin sarapan? Ogah!”

Ayu memasang wajah iba. Sebenarnya sejak awal dirinya meyakini kalau Ameera pasti tidak akan bersedia, mengingat sifat angkuh Ameera yang mulai ia pahami. “Jangan gitu dong, Ra! Abah itu kan, kiyai besar, pimpinan pondok pesantren ini. Jadi kita harus menghormati beliau.”

“Gue juga tau, kalo kita itu harus menghormati Abah. Tapi lo juga harus inget dong, Ay! Kita di sini tuh buat belajar, bukan jadi pembantu!” sangkal Ameera keras.

Ameera melangkah meninggalkan area kamar mandi. Sementara Ayu mengikutinya. “Justru karena kita belajar, kita mau meminta ilmu dari beliau, apa salahnya kalo kita membalas kebaikan beliau?”

Ameera menghentikan langkahnya, demikian pula dengan Ayu. Sesaat Ameera menoleh kepada Ayu. “Apa bayaran kita belum cukup buat ngebalas kebaikannya?” tanyanya. Ayu terdiam. Ameera kembali melanjutkan langkahnya, berniat pergi ke kamar. Sementara Ayu masih terpaku di tempatnya.

“Apa ini cara berpikir orang kota?” tanya Ayu sedikit berseru. “Mengukur semua kebaikan dengan uang!” imbuhnya.

Ameera terkejut dan segera menghentikan langkahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status