Share

Adaptasi

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya.

“Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi.

“Gue nggak bisa tidur nih, Ay!”

“Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.”

“Emangnya, kita harus bangun jam berapa?”

“Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.”

Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru.

“Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?”

Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu.

“Lah, terus masalahnya apa? Kok kamu sampe kaget gitu.”

“Ya, secara kita tadi aja acara ... apa tuh, lalaran?”

“Iyo lalaran!”

“Nah, iya tuh, acara itu tuh, selesainya aja sampe malem, terus jam segini masih belum tidur, besok sebelum Subuh kita harus udah bangun. Emang nggak ada kebijakan gitu dari pesantren?”

“Ini tuh, urusannya bukan sama pesantren. Tapi urusan kita sama Allah. Kalo kamu mau salat pas matahari sudah muncul, itu namanya bukan salat Subuh. Tapi salat Dhuha!”

“Ya tapi kan, pasti masih ngantuk, Ay!” ucap Ameera sedikit manja.

“Mangkanya biar Ndak ngantuk, kamu cepetan tidur!”

Ayu segera membenamkan kepalanya ke dalam selimut, sedangkan Ameera kembali meluruskan tubuhnya di atas ranjang. Ya ampun, punya dosa apa sih, gue bisa sampe ke tempat ini?

***

Udara masih cukup dingin merasuk ke dalam tulang. Bagi Ameera, ini adalah pengalaman pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Di mana ia harus mengambil air wudhu saat teman-temannya di kota sedang enak tertidur pulas di atas kasur empuk. Setelahnya ia segera membalut tubuhnya dengan mukena.

Meskipun dirinya belum banyak hafal bacaan salat Tahajjud beserta Witir, tetapi dirinya merasa tenang lantaran ada Ayu, sahabat barunya yang dengan senang hati mengajarinya. Gadis itu terlihat menurut saja terhadap instruksi Ayu. Sementara dari shaf paling depan, tepat di dekat mimbar, seorang pemuda tengah memperhatikan kedua gadis yang sedang sibuk belajar praktik salat Tahajjud. Pemuda itu tersenyum. Ayu yang menyadari putera kiyai besarnya sedang memperhatikan ia dan Ameera, maka gadis itupun mengangguk seraya membalas senyum orang yang akrab disapa “Gus Ahmad” oleh para santri.

“Udah, Ay! Apa lagi?” tanya Ayu setelah salat Witirnya selesai.

“Kamu bisa bacaan doanya kan, Ra?”

Ameera menggeleng.

Ayu menyeringai seraya menggaruk dahinya yang tidak gatal. Dirinya benar-benar tak menyangka jika gadis cantik di hadapannya ini benar-benar belum paham tentang agamanya sendiri. “Tapi kamu bisa ngaji kan, Ra?”

“Sedikit-sedikit, sih!”

Ayu beranjak bangun, melangkah mendekati sebuah lemari kecil yang ada di sudut ruangan masjid, tepat dekat dnegan pintu pembatas antara ruang salat dengan serambi. Tak berapa lama kemudian, gadis Jawa itu kembali ke tempatnya semula dengan membawa sebuah buku yang baru saja diambilnya dari lemari.

Ayu membuka buku tuntunan salat sunnah. “Nih, kamu baca sekaligus doa ini!” ucapnya setelah mendapati halaman yang dicarinya dan lekas memberikannya kepada Ameera.

Ameera menatap tajam pada buku yang dipegangnya. “Ya ampun, Ay! Ini kan, panjang banget!”

“Jangan ngeluh, Ameera! Aku yakin kamu pasti bisa.”

“Ih, dulu gue sekolah hafalannya nggak gini-gini amat, deh!” keluh Ameera lagi.

“Ini bukan sekolah, Ra! Ini pesantren!” tegas Ayu mengingatkan.

Ameera berdecak seraya menggigit bibirnya. Rasanya ia enggan untuk melaksanakan titah dari Ayu. Menurutnya ini benar-benar konyol. Ide Om Roni memasukkannya ke pesantren benar-benar tak disukainya. Namun, sesaat ia menoleh kepada Ayu. Wajah gadis itu terlihat sangat berharap Ameera bersedia melakukan kemauannya. Tumbuh rasa iba di benak Ameera. Secara perlahan, sedikit terbata Ameera mulai membaca sebuah doa, yaitu doa setelah salat Witir. Sementara Ayu dengan senang hati membimbingnya. Sementara dari kejauhan, si pemuda soleh itu masih terus memperhatikan kedua gadis yang duduk di shaft paling ujung belakang.

“Kenapa, Mad? Ada yang aneh sama Ayu dan temannya?” tanya Samsul seketika yang mendapati Ahmad sedang terdiam memperhatikan Ayu dan Ameera.

“Ah, Ndak, Sam!” sahut Ahmad. “Itu yang sama Ayu siapa sih, Sam? Kok, kayaknya aku belum pernah liat?” tanyanya kemudian.

“Oh itu, santriwati baru. Orang Jakarta.”

“O ... pantesan.”

“Cantik yo, Mad?” Entah pertanyaan itu benar-benar ditujukan untuk memuji, atau hanya sedang menggoda Ahmad.

“Kamu ini, Sam, mbok yo kalo bertanya itu Ndak usah yang aneh-aneh!”

“Loh, seng aneh-aneh ki yo sopo? Lawong aku tanyanya beneran.”

“Namanya perempuan itu ya cantik tho, Sam. Kalo ganteng itu kamu!” ujar Ahmad.

“Lah terserah kuwe lah, Mad!” Samsul lebih baik menyerah ketimbang harus berdebat dengan Ahmad yang jelas-jelas tingkat kecerdasan berbicaranya belum ada yang mampu menandingi.

“Sudah, daripada kita ngomongin orang, mending sekarang kita ngaji, sambil nunggu Subuh. Tapi jangan lupa Qabliyah-nya!”

“Inggih. Pak Kiyai Ahmad!” sahut Samsul dengan gurauannya.

 Ahmad menggeleng seraya tersenyum. Baginya Samsul bukan hanya rekanan kerja di pesantren. Namun sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Masa kecil keduanya dilalui bersama-sama.

 Kiyai Husein sengaja mengajak Samsul untuk tinggal bersamanya. Selain rasa kasihan karena laki-laki yang usianya lebih tua beberapa bulan saja dari Ahmad itu merupakan anak yatim piatu, beliau juga mengharapkan Samsul dapat menjadi saudara bagi Ahmad yang merupakan anak semata wayang. Bahkan, semua yang dimiliki Ahmad, turut juga diberikan kepada Samsul. Hanya saja, pemuda itu memiliki kesadaran diri mngenai statusnya.

Meskipun Kiyai Husein dan Bu Nyai bersedia menyekolahkan Samsul, tetapi pemuda itu menolak keras untuk dikuliahkan. Samsul lebih memilih fokus pada pesantren. Begitupun dengan urusan pesantren, walau dirinya sudah lebih banyak membantu kemajuan pesantren daripada Ahmad, tapi dia juga enggan jika dijadikan pengganti Kiyai Husein sebagai pimpinan pondok. Baginya, Ahmad lebih berhak menyandang status itu. Padahal, Ahmad sendiri tidak berharap ayahnya akan memberikan amanah besar itu kepadanya.

***

Kamar sudah rapi. Ameera juga sudah menyapu lantai. Sejenak ia merebahkan tubuhnya di atas salah satu ranjang yang ada di bagian bawah. Matanya mengerjap beberapa kali seraya mengupa “ Ya ampun, sumpe gue ngantuk banget!”

“Assalamu’alaikum.” Dua orang gadis masuk ke dalam kamar.

Ameera segera beringsut bangun. “W*’alakumussalam.”

Kedua gadis di hadaan Ameera tercengang memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu kembali ke kepalanya lagi.

“Ada yang aneh, ya?” tanya Ameera heran.

“Kamu siapa?” tanya salah satu gadis yang mengenakan jilbab warna hitam bertali belakang.

“Dia Ameera!” Ayu sudah berada di ambang pintu, lalu mendekat kepada ketiga temannya. “Dia santri baru di sini. Baru saja dateng kemarin sore,” jelasnya.

“Hai, Ameera! Aku Rumi, dan ini Kendis.” Keduanya tampak tersenyum ramah kepada Ameera. Sementara si gadis kota itu hanya mengangguk, sama persis ketika dirinya baru berkenalan dengan Ayu kemarin sore.

Rumi dan Kendis merasa aneh atas sikap teman baru mereka. Sejenak keduanya saling bersitatap. Sedangkan Ayu paham betul apa yang di dalam benak kedua sahabat lamanya. Karen sebelumnya ia pun merasakan hal yang sama seperti mereka. “Udah, Ndak usah banyak mikir!” sarannya kepada Rumi dan Kendis. “Ameera ini bukan manusia aneh yang perlu kalian takutkan,” imbuhnya.

“Sorry ya, Rumi, Kendis. Bener kok apa yang Ayu bilang. Gue bukan orang aneh. Tapi emang gue bukan orang yang gampang nerima orang baru,” ucap Ameera menjelaskan. "Maksud gue ... bukan orang baru juga, sih. Tapi gue yang nggak mudah beradaptasi di lingkungan baru. Iya ... gitu maksud gue,” ubah Ameera sedikit kikuk.

“O ... kalo soal itu kami ngerti, kok. Iya kan, Ndis?” ucap Rumi beralih ke Kendis.

“Iya, bener kata Rumi. Dulu juga kami begitu. Kalo kata orang kota, namanya nerpes?”

“Nervous kali, bukan nerpes!” gumam Ameera lirih.

“Mbok ya, kalo ngomong ki seng bener tho, Ndis! Bukan nerpes! Tapi nervous!” tegas Rumi.

“Yo iku maksudku loh, Rum! Jan ... lambeku ki angel nek kon ngomong bahasa Inggris!”

“Halah, biasa makan tiwul aja, kok sok-sokan ngomong bahasa Inggris!” celoteh Rumi.

Perbincangan mereka sungguh sangat mengundang gelak tawa. Seketika ruangan berukuran 3x4 meter itu riuh, pecah dengan kekocakan dan ketengilan Rumi dan Kendis. Ameera kini mulai dapat membaur dengan ketiga teman barunya, meskipun perkenalan mereka terbilang sangat baru. Namun, untuk sesaat Ameera dapat melupakan kekesalannya terhadap Om Romi. Entah sudah sampai di rumah atau belum, Ameera sama sekali tak memikirkan lelaki yang sudah mengasuhnya sejak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu.

Bagi Ameera, saat ini dirinya ingin berusaha menerima keputusan sepihak sang paman. Setidaknya ini awal yang mengesankan, walau sebenarnya pasti di hari-hari selanjutnya ia masih akan menemui hal baru yang sebelumnya tak pernah ia jalani. Hafalan doa akan menjadi makanan sehari-harinya. Dirinya hanya berharap, Ayu dan kedua temannya yang lain akan bersedia membantunya andaikata menemukan sebuah kesulitan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status