“Sayang, kamu di sini baik-baik, ya. Om mau waktu kamu pulang ke Jakarta nanti, kamu udah bawa bekal ilmu agama yang banyak!” ujar Om Roni.
Padahal sebelumnya Ameera sudah berpesan kepada Bu Nyai, kalau pamannya hendak pulang, beliau tidak perlu menemui Ameera terebih dahulu. Hal itupun telah disampaikan. Namun, sepertinya Om Roni merasa belum puas jika tidak melihat Ameera sekali lagi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan keponakannya di pesantren.
“Om juga baik-baik, ya. Jaga kesehatannya.”
“Tentu. O ya, tadi Om juga udah bilang ke Pak Kiyai Husein dan Bu Nyai, kalo Om Cuma akan nengokin kamu tiga bulan sekali. Terus ... soal keuangan Om titipkan ke rekening pesantren. Jadi, kalo kamu butuh apa pun yang harus dibeli, kamu tinggal bilang aja sama Bu Nyai.”
Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan Ameera. Dirinya pikir, Om Roni akan memberinya kartu ATM atau kredit card yang sama seperti sebelumnya. Ameera mencebik kesal. “Ih, Om mah nggak asik!”
“Nduk Ameera tenang saja. Semua yang menjadi kebutuhan Nduk Ameera akan kami berikan, selagi itu Ndak akan mengganggu proses belajar Nduk Ameera selama berada di pesantren. Inggih to, Bah?” ucap Bu Nyai seraya beralih kepada suaminya.
“Oh yo jelas,” sahut Kiyai Husein menegaskan. “Pokoknya, tinggal bilang saja!”
***
Malam pertama di pesantren sungguh sesuatu yang berbeda. Lantunan indah yang terdengar dari toa masjid seolah menciptakan suasana yang sakralk bagi Ameera yang terbiasa hidup di kota. Ya, kehidupan Ameera sebelumnya bukanlah sosok yang religius. Dia seorang gadis kota modern yang memiliki pergaulan cukup luas. Itulah salah satu sebabnya mengapa Om Roni menginginkan Ameera masuk di pesantren.
“Am, kita kumpul di masjid yuk!” ajak Ayu yang sudah bersiap dengan beberapa buku di pelukannya.
“Am?” Lagi-lagi Ameera bingung dengan sapaan Ayu untuknya.
Ayu tersenyum. “Tadi aku panggil Mira, kamu Ndak mau. Giliran sekarang aku sebut Am, kamu juga bingung. Namamu Ameera tho? Yo wis, aku panggil Am, maksudnya lebih singkat dari Ameera.”
“Aneh, deh, nama gue bagus-bagus Ameera kenapa lo sebutnya Mira, terus sekarang Am!” gerutu Ameera.
“Lah terus kamu mau disebut opo? Kalo Ameera menurutku kalo hanya sekedar buat menyapa itu kurang singkat”
Ameera menautkan alisnya. “Ya udah, panggil Meera, bukan Mira!” tegas Ameera.
“Yo wis, iya, iya, aku panggilnya Meera.”
Tatapan Ameera trerfokus pada beberapa buku yang berada dalam dekapan Ayu. “Itu buku apa?”
“Oh ini? Ini kitab.”
“Buat apa?”
Ayu menghela napas. “Kita mau Nadzhoman!” sahutnya.
“Nadzhoman apaan?” tanya Ameera lagi.
“Nadzhoman itu lalaran.”
“Apa? Lalaran? Apa itu lalaran?” Ameera semakin merasa aneh dengan bahasa-bahasa yang disebutkan oleh Ayu.
Ayu lekas meraih tangan Ameera dan menariknya. “Sudah ... nanti kamu juga tau apa itu lalaran!” ucapnya seraya melangkah keluar beriringan dengan Ameera menuju masjid.
***
Suasana masjid cukup ramai. Di bagian depan dekat dengan mihrab khusus para santriwan, sementara kelompok santriwati duduk di serambi. Suara alunan bait-bait syair indah dinyanyikan dengan merdu oleh para jama’ah lalaran. Ameera bingung akan situasi dan kondisi di sana. Dirinya benar-benar tidak paham apa yang harus dilakukannya.
“Ay, ini apaan sih, nyanyi-nyanyi nggak jelas,” bisiknya pada Ayu setelah beberapa menit duduk di serambi.
Ayu yang sejak datang segera bergabung turut bersenandung, sejenak menghentikan senandungnya. “Kamu bisa ngaji, kan?” tanyanya.
“Bisa sih, dikit-dikit.”
Ayu memberikan buku kitabnya kepada Ameera. “Nih, kamu ikuti saja bacaan di halaman ini! Kita lagi baca syair ini.”
“Hah ...!” Ameera justru melongo.
“Udah, ikuti saja. Nanti juga lama-lama kamu ngerti!” saran Ayu seraya menyunggingkan senyum. Sementara Ameera hanya pasrah saja.
***
Di tengah pembacaan Nadzhom, seseorang datang dari arah pintu utama masjid. Ameera yang duduk tepat di dalam serambi sebelah kanan, dapat melihat dengan jelas sosok pemuda berbaju koko putih, dilengkapi sarung serta songkok berwarna hitam. Tanpa sengaja keduanya bersemuka. Pemuda yang akrab disapa Gus Ahmad itu sejenak mengangguk seraya tersenyum. Ameera sendiri justru kembali menunduk seolah-olah tak melihatnya.
Ahmad yang baru tiba memanglah sedikit terlambat. Seharusnya dialah yang mendampingi santri melaksanakan lalaran. Namun, lantaran dirinya harus mengurus sebuah berkas di luar pesantren, maka Kiyai Husein yang menggantikan tugasnya.
Bait-bait syair kitab nadzhom disenandungkan dengan indah. Suara mereka terdengar jelas dari toa masjid hingga menyebar ke seluruh penjuru daerah dekat pesantren.
***
“Mad, Ummi mau bicara sama kamu!” sapa Bu Nyai yang sedang menanti kedatangan puteranya di beranda.
Ahmad yang baru tiba dari masjid lekas mendekat dan duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ibunya. “Iya, Mi. Ummi mau bicara soal apa?”
“Tadi sore kamu ngurus berkas apa?”
“Oh itu ... biasalah, Mi, berkas lamaran kerja.”
Bu Nyai menghela napas cukup panjang. Harapannya belum sesuai dengan kenyataan. Dirinya pikir setelah kepulangan Ahmad dari Cairo, putera semata wayangnya itu akan meneruskan perjuangan sang suami mengurus pesantren. Ternyata Ahmad justru sibuk mencari pekerjaan lain. Raut wajah Bu Nyai mulai mendung. Ahmad mengerti sekali, jika ibunya itu kurang setuju dengan keinginannya.
“Nyuwun pangapunten, Ummi. Ahmad tau Ummi kurang setuju sama cita-cita Ahmad. Tapi, Ahmad janji ... Ahmad pasti akan tetap bantu-bantu Abah di pesantren.”
“Apa berbagi ilmu di pesantren saja itu Ndak cukup, Mad?” tanya Bu Nyai lagi.
Ahmad terdiam. Pikirannya berkecamuk atas keinginan ibunya.
“Kamu tau kan, Mad, selama ini Abahmu sendirian membimbing anak-anak. Untung saja, sekarang ada Samsul yang membantu. Kalo Ndak ada Samsul, Abahmu pasti keteteran ngurusi santri segitu banyaknya.”
Benar apa kata Bu Nyai, sejak pesantren didirikan lima belas tahun lalu oleh Kiyai Husein, pria paruh baya itu benar-benar merintis sendirian. Kala itu usia Ahmad baru delapan tahun, dan masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Awalnya, Kiyai Husein yang waktu itu baru mengajak pindah keluarga kecilnya dari Gontor ke Jogja, merasa sangat perihatin melihat kondisi anak-anak di lingkungannya. Terutama anak-anak yatim, salah satunya adalah Samsul. Banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan hanya bermain-main saja tanpa menjalani pendidikan, baik pendidikan umum maupun spiritual.
Dari situlah, Kiyai Husein mengajak anak-anak untuk belajar agama. Semuanya dimulai dari Ahmad. Setiap ba’da Ashar, sepasang ayah dan anak itu muroja’ah di masjid dekat rumah, yang sekarang menjadi masjid pesantren. Kemudian secara perlahan muridnya bertambah dan semakin banyak lantaran Ahmad yang mudah bergaul dengan lingkungan baru, mengajak teman-teman barunya untuk mengaji kepada ayahnya.
“Sekarang Abahmu sudah Ndak muda lagi, Mad. Sudah waktunya beliau untuk istirahat, dan sekarang giliranmu untuk menggantikannya. Itupun kalo kamu mau!” ucap Bu Nyai lagi.
Kali ini Ahmad semakin bingung tidak tahu harus berkata apa. Kuliah di Al Azhar, Mesir adalah dambaannya. Namun, bukankah tujuan dari kuliah itu salah satunya adalah untuk mendapatkan ijazah dan sebuah gelar yang kemudian akan digunakan utuk kemaslahatan umat juga.
‘Jangan memaksa, Mi!” ucap Kiyai Husein yang sudah berada di bibir teras. Ahmad sedikit terkejut dan menoleh ke belakang. Rupanya sang ayah tanpa sengaja telah mendengar percakapan keduanya. Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu segera duduk membaur bersam dengan istri dan puteranya. “Kalo Ahmad punya cita-cita mulia, kita ... sebagai orang tuanya harus mendukung!” imbuhnya.
“Ummi bukannya Ndak mendukung Ahmad, Bah. Ummi Cuma pengin Ahmad berpikir mateng-mateng, apa keputusannya itu sudah benar?”
“Ahmad sudah benar-benar mempertimbangkannya kok, Mi!” tegas Ahmad. “Lagi pula ini juga baru tahap kirim berkas, belum ada kejelasan diterima atau Ndak.”
Bu Nyai terdiam. Jawaban dari Ahmad sedikit meluruhkan perasaannya yang semula khawatir menjadi lega. Sementara Kiyai Husein justru bingung memikirkan kedua pendapat orang terdekatnya. “Mad, Abah punya saran. Tapi ini baru saran saja, semuanya terserah sama kamu, karena kamu yang mau menjalani.”
“Saran nopo niku, Bah?” tanya Ahmad penasaran.
“Pesantren kita ini kan, sudah terdaftar di kementerian agama dan pendidikan. Banyak lulusan dari Madrasah Aliyah kita yang memilih untuk keluar dari sini, demi mencari perguruan tinggi yang berkualitas. Sekarang kalo dipikir-pikir, daripada kamu mencari pekerjaan di luar, kenapa Ndak kamu dirikan saja perguruan tinggi di pesantren kita?”
Bu Nyai terkejut mendengar ucapan suaminya. Hingga ia menarik tubuhnya ke depan. “Nah, kalo ini Ummi setuju!” serunya bersemangat.
“Tapi itu kan, biayanya Ndak sedikit, Bah!” ujar Ahmad.
“Memangnya kamu Ndak yakin sama pertolongan Allah?”
Pertanyaan singkat, tapi cukup mengena di hati. Ahmad menatap diam wajah sang ayah. Dirinya dapat melihat betapa lelaki itu sangat mendukung cita-citanya. Namun, Kiyai Husein bukanlah orang yang berpikiran dangkal seerti kebanyakan manusia sebayanya. Meskipun usianya semakin senja, tetapi cara berpikirnya cukup maju. Terlebih jika itu untuk kemaslahan umat Islam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya. “Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi. “Gue nggak bisa tidur nih, Ay!” “Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.” “Emangnya, kita harus bangun jam berapa?” “Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.” Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru. “Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?” Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu. “Lah, te
Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.“Eh, lo, Rum?”“Ka
Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n
Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh
“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba
“Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda
“Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m