"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan.
"Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel.
"Kau serius mengikuti kompetisi itu?"
"Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?"
"Eer ... menyerahkan desain saja."
"Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah.
"Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan terakhir para gladiator.
Nicky menaikkan alisnya. "Bagaimana denganmu, Aaron?"
"Hari ini aku hanya patroli setengah hari. Selebihnya di kantor. Kenneth, cepatlah! Jangan buat aku terlambat!" perintah Aaron yang sudah bosan menunggu dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Ya, sedikit lagi."
"Kau tidak pernah bosan terus berpatroli?" satire Nicky kali ini ditujukan pada Aaron.
"Mau bagaimana lagi? Sudah tugasku."
Terdengar suara klakson dari luar halaman.
"Pacarmu sudah datang." goda Aaron.
"Tutup mulutmu!" Nicky memicing mata pada Aaron.
"Dasar, gadis kasar."
"Aku berangkat." pamit Nicky
"Oke, aku juga sudah selesai. Aaron?"
"Oke."
Nicky keluar dari pintu rumahnya, disusul oleh kedua saudaranya. Di depan pintu, Nicky mencium kecil pipi saudaranya yang berambut abu-abu. Lalu saling merangkul dan menepuk pundak dengan Aaron—selayaknya simbol persahabatan antar lelaki.
"Bye!"
Seperti biasa, setiap kali menjemput Nicky untuk berangkat ke sekolah, Shoujin menunggu di tepi jalan di depan rumah Nicky, di atas sepeda motor, tanpa melepaskan helm full face-nya, hanya membuka visor-nya. Helm itu menyembunyikan muka datarnya yang sesungguhnya memendam rasa tak suka saat menyaksikan pemandangan yang selalu membuatnya iri.
"Hai, Shou. Aku siap." suara Nicky mengusik Shoujin.
Si pirang itu sudah berdiri di samping sepeda motor Shoujin dengan senyum lebar dan wajah secerah matahari awal musim panas ini. Di sebelah tangannya tertenteng helm pemberian Shoujin. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak ia dan Shoujin tertawa lepas. Setelah memakai helm, Nicky pun naik ke sepeda motor.
Shoujin menggeber sepeda motornya lalu membawa Nicky meninggalkan rumahnya.
Di balik kemudi pandangan Kenneth mengikuti arah menghilangnya Nicky dengan wajah masam. Entah kenapa, suara geberan sepeda motor Shoujin itu terdengar seperti sedang mencemoohnya.
"Santai saja, Sob." Aaron menepuk pundak Kenneth. "Cepat jalan!"
_______
Baru saja Shoujin mendapat telepon dari Kenneth, ia pun langsung berlari keluar dari dapurnya."Hei, kau mau ke mana?" tanya Karina dari meja kasir, saat melihat tingkah tak biasa temannya.
"Nicky pingsan!" jawab Shoujin sambil berlari keluar dari toko.
Pandangan Karina mengikuti arah perginya Shoujin. Ia merasakan adanya perubahan dalam diri Shoujin. Perlahan Nicky mengubahnya. Meskipun hanya pada Nicky saja, setidaknya ada seseuatu yang dipedulikannya dan membuatnya mau membuka diri. Ia yakin, Nicky akan meruntuhkan dinding penghalang yang tak kasat mata yang selama ini memenjarakan Shoujin.
.
.
Shoujin meninggalkan tokonya menuju sekolah Nicky. Sesampainya di sana ia langsung menuju ke ruang kesehatan dengan ditemani oleh Shawn.
Di dalam ruang kesehatan Shoujin mendapati Nicky sedang tak sadarkan diri ventilator terpasang pada hidungnya.
"Apa yang terjadi padanya?"
"Tiba-tiba saja dia pingsan saat pelajaran."
Shoujin meletakkan punggung tangannya di dahi Nicky. Panas.
"Tadi suhu badannya mencapai 40°C dan nafasnya tersengal. Untung saja tidak kejang. Aku sudah memberinya penurun panas. Sekarang sudah sedikit turun." seorang petugas medis menjelaskan.
"Apa dia memiliki penyakit berbahaya?"
"Ini pertama kali dia seperti ini. Sebelumnya tidak pernah." jawab Shawn.
"Bolehkah aku membawanya pulang sekarang?" Shoujin meminta izin pada petugas medis.
"Sebentar, kuperiksa dulu." kata petugas medis yang menangani Nicky. Ia memeriksa suhu tubuh Nicky dengan termometer infra merah, memeriksa tekanan darah dan denyut nadi, serta memastikan nafas Nicky teratur. "Baiklah, kau bisa membawanya pulang. Apakah kau keluarganya?" setelah memastikan semuanya aman, ia pun mengizinkan Shoujin membawa Nicky pulang.
"Aku sepupunya, aku yang mengantar-jemputnya setiap hari."
"Oh, kau yang biasa mengantarnya dengan sepeda motor? Apa kau akan membawanya dengan sepeda motor yang biasa kau bawa itu?"
"Tidak, aku akan memanggil taksi."
"Baiklah. Tolong jaga kondisinya agar tetap stabil. Dan ini ...,” petugas medis menyerahkan beberapa macam obat pada Shoujin. “Tadi kami sudah memanggil dokter dan dia memberikan obat-obat ini."
"Biar kuambilkan tas Nick." Shawn menawarkan bantuan.
"Ya."
Tak lama kemudian Shawn kembali dengan membawa tas ransel Nicky. Saat itu Shoujin baru saja menelepon taksi untuk datang ke St. Angelo High School. Shoujin menggeledah tas Nicky, mencari sesuatu. Ia menemukan sebuah kunci yang diyakininya sebagai kunci pintu rumah Nicky.
"Shawn?"
"Eh, aku?"
"Benar, namamu Shawn 'kan? Bisa kau bawakan tas Nicky?" kata Shoujin sambil mengangkat tubuh Nicky dari atas ranjang, lalu membopong tubuh Nicky yang masih belum sadarkan diri.
"Baik." jawab Shawn singkat sambil memikirkan bagaimana Shoujin bisa mengetahui namanya. Ia menduga Nick yang memberitahukannya.
Dengan diikuti Shawn, Shoujin berjalan sambil membopong tubuh Nicky melewati koridor yang menghubungkan ruang kesehatan dengan halaman depan sekolah, mengabaikan siapa pun yang melihat mereka dengan berbagai macam pikiran. Penasaran, kagum, memuja, iri dan entah apa lagi. Shawn merasa jengah menyadari situasi saat itu.
Kebetulan saat itu sedang jam istirahat, jadi suasana sekolah sedang ramai di bagian manapun, kecuali lab.
.
.
Sesampainya di rumah Nicky, Shoujin membaringkan tubuh si pirang di sebuah sofa.
Shoujin menaiki tangga ke lantai atas, mencari sebuah kamar yang mungkin saja adalah kamar Nicky. Ada tiga pintu yang terlihat seperti pintu kamar, dan ketiganya terkunci. Ia bergegas kembali ke lantai bawah, menuju ke pintu depan. Seingatnya ada satu kunci yang terkait dengan kunci pintu itu. Dilepasnya kunci itu dari kenop pintu, lalu ia naik lagi ke lantai atas. Mencoba memasukkan kunci ke setiap lubang kunci pintu kamar yang ada di sana. Akhirnya, Shoujin berhasil membuka pintu ketiga yang berada di ujung koridor.
Segera setelahnya Shoujin memindahkan Nicky ke kamar itu. Diselimutinya tubuh Nicky yang masih tak sadarkan diri, lalu ia duduk di sisi tubuh itu. Pada saat itu, penglihatan Shoujin tertuju pada selembar foto di atas nakas di samping ranjang Nicky. Diambilnya foto itu, tatapannya dingin selama beberapa detik pada foto itu. "Michelle?" Lalu memasukkan benda memorable itu ke dalam saku kemejanya.
Diusapnya lembut anak rambut si pirang yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali mereka bertemu. Usapan lembut itu perlahan turun dari dahi, mengikuti sisi kanan garis wajah Nicky. Sampai di pelipis, jari Shoujin berhenti bergerak. Diusapnya perlahan bekas jahitan yamg masih tampak di sana. Lalu jari itu bergerak lagi turun hingga sampai ke pipi. Lalu dengan sedikit ragu Shoujin menyentuh bibir Nicky.
Sesaat ia tertegun oleh perasaan yang sama seperti yang dulu pernah ia simpan untuk seseorang.
Hati-hati sekali, Shoujin menempelkan bibirnya ke pipi yang masih basah oleh keringat.
Jantung Shoujin mulai berdegup sedikit lebih kuat. Namun bukan Shoujin jika tak mampu mengendalikan diri.
Dilepaskannya bibirnya dari pipi itu. Ditatapnya lekat bagian wajah Nicky yang selalu menggodanya sejak lama. Bibir sewarna cherry yang selalu tersenyum lebar, senyum bodoh yang selalu Shoujin sukai.
Tetapi tidak, Shoujin bukan pengecut. Ia akan menunggu sampai pemilik bibir itu sendiri yang memberiku izin.
Shoujin meninggalkan kamar Nicky dengan pintu tetap dibiarkan terbuka. Ia tak ingin berlama-lama berada di sana, membuat otaknya berpikir ‘macam-macam’, paling sedikit ia ingin membaringkan tubuhnya di samping Nicky dan memeluknya.Namun tidak, ia tak ingin mengambil kesempatan dengan cara seperti itu.
Ia turun ke ruang keluarga. Ia menunggu Kenneth pulang, hingga tertidur di sofa di ruangan itu.
.
.
Suara deru knalpot mobil Kenneth membangunkan Shoujin dari tidur siangnya yang damai.
“Akhirnya kau pulang.” Shoujin menegakkan badannya yang masih duduk di sofa.
Kenneth menghentikan langkah ketika mendengar suara seseorang di ruang keluarga. “Tentu saja. Aku tidak bisa membiarkan Nicky berada bersamamu terlalu lama.”
“Apa maksudmu?’
“Jangan pura-pura! Aku tahu yang kau pikirkan. Kalau kaupikir bisa mendapatkan Nicky dengan mudah, kau salah.”
Shoujin bangkit dari duduknya “Jadi ini balasan yang kudapat setelah membantumu, huh? Tapi tidak masalah. Aku akan mendapatkan Nicky, tidak peduli sesulit apa pun. Meski kaucoba menghalangiku.” kata Shoujin dengan suara rendahnya ketika melewati Kenneth. “Aku pergi. Dan jika kau butuh bantuanku lagi, aku selalu bersedia membantu, selagi itu berhubungan dengan Nicky.”
.
.
"Daad ... Moom ... !! Tidaak ...!! Jangaan ...!!"
Saat itu Kenneth baru selesai mandi, ia mendengar pekikan histeris Nicky. "Sial!" Tanpa menyelesaikan acara berpakaiannya, Kenneth langsung berlari ke kamar Nicky.
"Astaga, Nicky! Kau kenapa?"
Segera Kenneth menghampiri dan mendekap erat tubuh Nicky yang kondisinya tidak terlihat baik. Nicky terduduk dengan keringat dingin memenuhi wajah dan tubuhnya. Bahkan pakaiannya ikut menjadi basah. Tubuh itu bergetar dalam dekapan Kenneth.
"Dia ... dia ... datang lagi." Nicky melingkarkan lengannya di pinggang Kenneth.
_______
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter