Share

07. Freak Guys

Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya.

Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye.

Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target.

Target Kenneth tersungkur.

Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutut Kenneth menindih dada si target dan sebelah tangan mencengkeram pundaknya, sementara tangan yang lain menodongkan pistol. Moncong dingin pistol Kenneth menempel ke hidung laki-laki yang wajah lebamnya terlihat seusia Shawn dan teman-temannya itu. 

"Jangan paksa aku membuat lubang yang lebih besar di hidungmu!" gertak Kenneth. "Ikut aku!" Kenneth menarik targetnya hingga berdiri, lalu menyeret laki-laki itu memasuki Evo.

Kenneth lalu membawa mobilnya meninggalkan parkiran di depan club.

Mobil Kenneth melaju kencang. Sambil mengemudi, dengan sebelah tangan melintang di depan wajah, Kenneth terus menodongkan pistol ke kepala target yang sudah menjadi sandera. Sebelah tangan sudah cukup bagi Kenneth untuk mengemudi.

.

.

Tak perlu waktu lama untuk Kenneth menjangkau sebuah area sepi yang hanya ditumbuhi semak-semak di sisi kiri dan kanan jalannya. Kenneth menepikan mobil.

"Keluar!"

"Apa ... kau ..." Sandera Kenneth terbata.

"Dan jangan coba lari! Kau tak akan bisa lolos, kecuali aku melepasmu." Kenneth kembali memberikan gertakan.

Sandera Kenneth berusaha bergegas keluar, tetapi ia sempat kesulitan ketika membuka pintu mobil yang sebenarnya sudah tak terkunci. Gerakannya tak kerkontrol, gusar. Setelah keluar, ia tanpa sadar membanting pintu mobil.

Kenneth menyusul keluar dan kembali menodongkan pistol seraya berjalan menghampiri sanderanya.

Sandera Kenneth mengangkat kedua tangan, isyarat tak ada perlawanan. "Jangan ... kumohon ..., jangan bunuh aku, kumohon."

Jarak antara Kenneth dan sanderanya kini hanya sepanjang lengan Kenneth, ditambah laras pistol yang mengarah ke dada target, dan sekepal tangan.

"Kau masih ingat dengan siapa kau berkelahi di Palmline Beach? Di gang itu." Kenneth menekan dengan suara rendah. Mengintimidasi dengan tatapan mata yang menyipit. Wajahnya dingin, datar, tanpa eksprasi. Ia menelisik pada setiap memar di wajah sanderanya, lalu tersenyum miring. Senyum itu sebuah hinaan.

"Uh ...." Sandera Kenneth berusaha mengingat. "Y ... ya ...," jawabnya kemudian. 

"Dan kau pasti ingin tahu siapa aku."

"Ap ..." Wajar jika sandera Keneth merasa terancam saat ini. Meskipun tak tahu siapa orang yang menyanderanya, melihat ketenangan dan caranya mengemudi, ia bisa menerka bahwa pria yang menyanderanya ini bukanlah orang sembarangan, seperti sudah biasa berurusan dengan kriminal. Orang itu memegang sepucuk pistol, sedangkan ia sendiri tak bersenjata.

"Jadi kau ingin ini ..." Kenneth mengarahkan pistol ke mulut sandera. "... atau ini?" Lalu ia menggeser todongan pistolnya ke arah selangkangan si sandera.

"Tidak, kumohon." Bibir sandera Kenneth bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. "Aku berjanji tidak akan mendekatinya."

Kalau saja tak memiliki kemampuan untuk menahan ekspresinya, Kenneth sudah pasti terbahak-bahak saat ini. Wajah sanderanya itu sungguh menggelikan. "Bagus."

Lalu terdengar sebuah tembakan.

"Arrgh ...!" pekik sandera Kenneth. Ia tersungkur dan memegangi lututnya yang terbungkus celana denim yang kini berlumuran darah.

"Kali ini kau kuampuni. Ingat itu setiap kali kau mencoba mendekati pacarku!"

Kenneth masuk ke mobil dan melamparkan pistol ke dalam dasbor. Ia lalu membawa mobilnya meninggalkan berandal pelaku percobaan pelecehan seksual di Palmlline Beach itu.

_______

"Halo, guys."

"Hai, Nicky," sambut Kenneth dan Aaron di ruang santai, mereka sedang menonton televisi.

"Kau tidak lupa roti pesananku 'kan?" tanya Kenneth. Tenang, ia bersikap seolah tak terjadi apa pun anatara dirinya dengan seseorang di luar sana.

"Tenang saja! Aku bahkan membawakanmu pastry juga. Banyak." Nicky menunujukkan dua kantong plastik berlogo Rhein’s lalu meletakkannya di meja di depan mereka. "Aku mampir di Rhein's setelah nonton."

Nicky melepas jaket lalu mendudukkan dirinya di antara Kenneth dan Aaron. Kenneth menyandarkan lengannya di sandaran kursi di belakang kepala Nicky. Lalu tangannya mulai beraksi mengelus rambut Nicky. Sudah kebiasaan, kapan pun bocah pirang itu ada dalam jangkauannya, ia akan memainkan entah rambut, pipi atau jari-jari si pirang itu. Aaron memelototi Kenneth.

"Dapat uang dari mana?"

"Untuk apa membayar, kalau kau bisa dapat gratis? Aku berteman baik dengan pemilik tokonya ..."

"Wow ... benarkah? Sejak kapan?" Tiba-tiba saja Aaron menjadi antusias dengan ucapan Nicky. "Apa dia cantik? Masih lajang? Berapa usianya? Bisa kenalkan aku dengannya?" berondong Aaron.

"Aaron ...." Nicky menatap malas pada si rambut cepak. "Dia tidak cantik, dia tampan, tapi seringnya menyebalkan. Usianya dua puluhan, menurut perkiraanku, dia ..."

"Sudah, tidak perlu diteruskan, aku tidak minat," potong Aaron.

Nicky mendengus. "Dia Shoujin!"

"Benarkah? Shoujin tukang antar-jemput itu? Kalau begitu bersikap baiklah padanya, barangkali nanti dia akan memberi kita lebih banyak pastry yang lezat," ujar Kenneth.

"Ya ampun ...."

Untuk sesaat ketiganya terdiam. Nicky mengeluarkan sebuah kotak dari salah satu kantong plastik Rhein’s lalu mengambil sebongkah coffee bun. Digigitnya roti dengan filling krim kopi itu, lalu menyuapkan bongkahan di tangannya itu pada Kenneth. Sementara mata keduanya tak lepas dari televisi. Kenneth menggigit bongkahan itu dan kembali memainkan rambut Nicky.

Aaron  memutar matanya malas saat melihat interaksi keduanya. Dan ia sedikit terkejut saat mendapati bongkahan roti sudah menempel di bibirnya.

"Mau, tidak?"

"Tidak, aku ambil yang lain saja," tolak Aaron sambil menyingkirkan roti dari mukanya.

“Ya sudah.” Nicky menggigit lagi rotinya, mengunyah nikmat, lalu menelannya. "Dan jangan menyebutnya tukang antar-jemput! Kalian sudah mengenalnya, 'kan?"

"Dia pelit bicara."

Nicky menoleh pada Kenneth.

"Bagaimana kau bisa berteman dengan orang aneh seperti itu?"

Nicky kemudian menoleh pada Aaron. "Bagaimana kau bisa berteman dengan orang aneh seperti Kenny?" Serangan balik Nicky tepat sasaran.

"Aku tidak aneh." Kenneth membela diri.

"Tentu saja aneh. Di usia kalian yang setua ini ..."

"Kami masih dua puluh tujuh, belum tua," tukas Aaron.

Nicky memutar malas bola matanya. "Ya ... ya ..., terserah. Kalian tidak terlihat punya hubungan serius dengan wanita mana pun. Kau, Kenny, seringkali kau pulang membawa wanita yang berbeda. Tapi hubunganmu dengan wanita tidak pernah bertahan lebih dari dua bulan. Dan itu sudah lama.

Lalu sekarang ..., sudah setahun kau tidak terlihat pulang membawa wanita. Dari yang awalnya playboy yang tidak bisa hidup tanpa wanita di sisinya, lalu tiba-tiba berubah hingga setahun. Perubahanmu mencurigakan. Lalu pekerjaanmu itu tidak jelas! Kaubilang desainer grafis, tapi bekerja untuk perusahaan mana, tidak ada yang tahu. Dan kau tidak pernah terlihat pergi bekerja. Kerjamu cuma keluyuran malam, balapan ..." cerocos Nicky tanpa henti.

"Aku freelancer, Sayang."

"Jangan memanggilku seperti itu!" Panggilan 'Sayang' terlalu sensitif di telinga Nicky.

"Pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja. Dan aku memang tidak punya hubungan apa pun dengan wanita-wanitu itu. Kecuali, ya ... hanya ... teman.”

“Teman macam apa yang selalu menempel, huh?! Teman kencan? Teman tidur? Membuat mataku iritasi setiap kali melihat kau dan mereka saling menempel. Sudah berapa banyak, Kenny?!"

"Aku tidak pernah meniduri siapa pun." Kenneth membela diri.

"Benarkah? Aku ragu."

"Apa kau pernah melihatku membiarkan mereka tidur di kamarku? Bersamaku?" Kenneth masih membela diri. Ia meladeni Nicky dengan serius kali ini.

"Bisa saja 'kan, sewaktu balapan, kau tidak langsung pulang, kau mampir ke rumah temanmu entah yang mana, lalu kau tidur dengan gadis-gadis itu di sana ..."

"Diam, kau, adik nakal!" geram Kenneth sambil memiting leher Nicky dan mengusak-usak kesal rambut pirang adiknya. "Hukuman lima puluh pull up!"

"Kenny, lepaskan!" Nicky memberontak hingga lepas dari pitingan kakaknya. "Fine, lima puluh pull up. Kau marah, itu artinya benar!"

"Tidak boleh dicicil! Terserah kalau kau tidak percaya! Kau menyebalkan!" Kenneth menoyor kepala adiknya. "Dan kau tahu? Hanya ada satu perempuan yang pernah tidur di kamarku, denganku ..." pungkas Kenny. Percuma berdebat dengan Nicky, hanya akan menyulut emosinya. Ia tak ingin image cool-nya rusak. Bibirnya menyeringai. 

"Hei ...! Jelas itu tidak sama!" Nicky memelototi Kenneth, lalu merapikan poninya, "Kalau kau, Aaron, setidaknya punya pekerjaan yang jelas. Tapi kenapa juga belum punya pacar? Meskipun kau tidak setampan Kenny, tapi kau 'kan tidak jelek dan kau itu orang yang baik." Nicky menjeda sejenak untuk menggigit roti, mengunyah, lalu menelannya. "Ah ... ya, benar. Hanya orang aneh yang mau berteman dengan orang aneh." Nicky menatap pada kakak rambut cepak. Namun tatapannya itu diabaikan.

"Kau pikir kau normal? Usia tujuh belas, tapi terlihat seperti anak middle school. Perempuan tapi suka berkelahi, penampilannya seperti laki-laki. Mulutnya seperti septic tank. Pantas saja tidak ada laki-laki yang mau! Kau pikir kau tidak aneh, huh?! Dan hidupmu dikelilingi orang-orang aneh," cerca Aaron tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

"Kau juga tidak laku!" bantah Nicky.

Diam lagi. Sepertinya ketiganya pundung menyadari keanehan pada diri masing-masing. Menatap kosong pada televisi menyala yang sempat terabaikan.

Mungkin sewaktu hamil Nicky, ibunya mengidam cabe, jadilah sekarang Nicky bermulut pedas dan selalu berbuntut adu mulut dan saling ejek dengan siapa saja.

"Hei ..., Kenny, apa kau pengedar narkoba? Dan kau, Aaron, kau melindungi Kenny dengan profesimu sebagai polisi?"

"Tutup mulutmu, Nicky!" dengan kesal Aaron menyambar roti di tangan Nicky dan menyumpalkannya ke mulut cerewet itu. Membuat mulut Nicky belepotan oleh krim kopi.

"Bwuehh ...! Apa-apaan kau, Aaron? ini sakit, tahu? Masih belum sembuh!"

Secepat kilat, Kenneth mengecup sekilas bibir adik bawelnya. Ia lalu menjilat krim yang berpindah dari bibir Nicky ke bibirnya. "Masih sakit?" ia tersenyum.

“KENNY ...!!” histeris Nicky sambil menginjak kaki Kenneth sekuatnya, lalu berlari ke dapur.

"Aaawh ...." Kenneth mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya.

"Menjijikkan," sinis Aaron. “Dia itu 'kan adikmu, kau mau meracuninya, huh?”

“Bukan adik biologis. Apa masalahnya?”

“Tapi dia tidak tahu soal itu. Dia hanya tahu kau kakaknya." Aaron melirihkan suaranya, melongok ke arah dapur. “Kau suka padanya, huh? Setidaknya batalkan dulu surat adopsinya.”

"Bagaimana kencanmu?" tanya Kenneth kemudian sekembalinya Nicky dari dapur dengan mulut sudah bersih.

"Kencan apa? Hanya nonton. Itu saja, tidak lebih.” Nicky masih cemberut. "Beruntung sekali mempunyai wajah tampan. Mom..., kau jahat ...!!" Teriak Nicky frustrasi, "Kenapa kau tidak mewariskan wajah cantikmu padaku? Aku sebal dianggap anak kecil dan dibilang imut. Itu kutukan! Eesshh ..." Nicky mendesis karena luka di bibirnya kembali terbuka.

"Kau kenapa? Sulit mendapatkan pacar?” goda Kenneth.

Nicky mendesah.

"Perempuan seperti dia mana ada yang mau?" ledek Aaron.

"Kau sendiri, sudah tua tidak laku!" Nicky tak mau kalah.

“Sudahlah, Nicky. Harusnya kau senang memiliki wajah manis," hibur Kenneth, lalu menarik kepala Nicky untuk disandarkan pada pundaknya. Lalu mengusap lembut sambil sesekali mencium dan menghirup aroma rambut Nicky, aroma shampo yang sama dengan yang dipakainya.

Aaron melempar bantal sofa pada teman seprofesinya yang berada di divisi berbeda, sekaligus pemilik rumah yang ia tinggali. "Astaga ...." Lalu meninggalkan mereka dan menuju ke kamarnya di lantai dua.

"Aaron kenapa?" tanya Nicky sedikit penasaran.

"Entahlah. Tidak usah dipikirkan! Oh ya, Nicky, boleh aku menyimpan nomor ponsel Shoujin?"

"Untuk apa?"

"Mungkin suatu saat aku membutuhkanya."

.

.

Jujur saja, kakak freak Nicky itu memang tampan, membuatnya iri. Jika disandingkan dengan Shoujin, gadis mana pun akan rela membuka matanya lebar-lebar hingga kelilipan. Keduanya memiliki postur tubuh yang sama-sama jangkung dan pesona yang tak terbantahkan.

Sedangkan Nicky? Tak ada makhluk bernama laki-laki atau pejantan yang mau meliriknya. Jangankan terlihat cantik, ia bahkan tak dianggap selayaknya perempuan. Salahkan sikapnya yang tomboi dan kasar itu. Kecuali dua gelintir manusia aneh yang suka menempelinya—Kenneth dan Shoujin.

Namun, Nicky menyadari sesuatu. Kenneth cukup ramah menanggapi gadis-gadis yang mencoba mendekatinya. Ia tak pernah menolak terang-terangan, apalagi secara kasar. Paling-paling ia hanya akan memberikan harapan palsu yang berujung mengecewakan di kemudian hari. Sebaliknya, Shoujin tak sedikitpun menanggapi perempuan-perempuan itu. Jangankan sebuah tanggapan, yang ada hanya tatapan dingin menusuk ciri khasnya. Dan jangan coba berinteraksi dengan Shoujin! Kalau kau tak ingin mengalami kejadian seperti insiden brunette.

Nicky jadi teringat pada perkataan Karina. Dan mungkinkah selain anti sosial, dia juga memiliki semacam bipolar disorder? Payah, kenapa malah berpikir ke sana? Bukan tanpa alasan Nicky mengira Shoujin memiliki kelainan itu, meskipun sejujurnya itu prematur dan sedikit mengada-ada.

Nicky mencoba membuktikannya. Sejak saat itu, selama beberapa minggu, setiap kali sedang bersama Shoujin, ia memperhatikan setiap gerak-gerik dan ekspresi Shoujin. Ia membandingkan ketika Shoujin bersamanya, para karyawannya dan orang lain. Memang benar yang dikatakan Karina.

Hanya saja, semakin Nicky memperhatikan Shoujin, kadang ia merasa pernah mengenal pemuda itu. Tapi di mana? Kapan? Dan setiap kali Nicky memaksakan ingatannya, kepalanya selau terasa sakit. Akhirnya ia pun menyerah.

_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status