Share

06. Ansos

Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya.

"Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu."

"Oke, tidak masalah."

Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya.

"Silahkan tehnya, Nick."

"Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya.

"Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja.

Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh pada kursi yang ditunjuk wanita itu, lalu mengangguk.

"Ya ampun, Nick. Bibirmu kenapa?" Karina terkejut melihat bibir Nicky yang lukanya belum benar-benar sembuh. Diangkatnya dagu si pirang untuk melihat lebih jelas luka itu. "Dan ini pelipismu kenapa dijahit?"

"Tidak apa-apa, habis berkelahi." Nicky merapikan kembali poninya.

"Kau suka berkelahi, ya?"

"Tidak. Waktu itu terpaksa."

"Ini perbuatan Shoujin?"

Nicky mengernyitkan dahi. "Bukan. Malah dia yang menolongku."

"Benarkah?" tampak raut kekhawatiran di wajah Karina.

"Hum."

"Apa ini sakit?"

"Sedikit. Jadi, ada apa?"

Karina duduk di kursi yang tadi ditunjuknya, sambil memeluk nampan yang ia gunakan untuk menyuguhkan teh. "Aku ingin bertanya sesuatu." Kini wajah Karina terlihat serius.

"Ya."

"Bagaimana bisa kau berteman dengan Shoujin? Dia itu 'kan semacam umm ..." Kepalanya menoleh ke arah pintu menuju dapur, lalu kembali melihat Nicky, “... anti sosial.”

"Benarkah dia seperti itu?"

“Uhum. Enam tahun aku mengenal Shoujin, aku tidak pernah melihat dia punya teman, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan Shoujin denganku, Satoru, dan Jamal hanyalah sebatas bos dan karyawan. Meskipun sebenarnya, aku ingin kami semua bisa berteman. Dan dia selalu bersikap seenaknya sendiri, tak peduli pada apa pun selain dirinya sendiri. Dia juga tak peduli jika perbuatannya bisa saja melukai orang lain."

"Benarkah?"

"Dia benar" Satoru menimpali, menghentikan pekerjaannya menata roti-roti yang masih hangat di atas rak kaca, lalu bergabung dalam obrolan Karina dengan Nicky. "Kami sudah lama mengenalnya. Tampang datarnya itu kadang membuatku mual. Belum lagi sikapnya yang cenderung mengintimidasi. Entahlah, kadang baru melihatnya saja, tanpa dia mengucapkan sepatah kata pun, rasanya seperti umm ... bertemu Medusa. Ya ... begitulah.”

"Satoru, jangan bicara tidak-tidak!" Karina memperingatkan.

"Memang itu benar. Kau selalu membelanya. Kau suka padanya, ya?"

"Bicara apa kau, Satoru ...?!" wajah Karina memerah, kesal. "Lebih baik kau selesaikan pekerjaanmu!"

"Baiklah," gerutu Satoru sambil berjalan ke arah belakang toko.

Karina kemudian kembali berbicara pada Nicky, "Tapi sejak dia mengenalmu, dia jadi bisa sedikit tersenyum."

"Sedikit?" Sebelah mata Nicky menyipit.

"Ya, hanya sedikit. Dan sikapnya sedikit melunak."

"Aneh. Setahuku dia bisa tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Dan dia tidak pernah bersikap kasar padaku."

"Umh ... benarkah? Kauapakan dia?" Karina membetulkan letak kaca matanya.

"Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya berteman seperti aku berteman dengan teman-temanku yang lain."

"Dan apa kau tahu? Sebelumnya Shoujin hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Dia lebih suka tidur di sini saat malam. Tapi sekarang dia rela pulang-pergi setiap hari. Demi kau."

"Benarkah?" Nicky melihat serius pada Karina, mencari sedikit kebohongan dari ucapan Karina, tetapi ia tak menemukannya.

"Uhum. Tapi bagaimana pun aku senang. Kami jadi merasa lebih nyaman bekerja kalau dia seperti itu. Nicky, teruslah berteman dengannya. Mungkin nanti dia benar-benar bisa tertawa seperti yang kau katakan."

"Tentu saja." Nicky mempertemukan ujung ibu jari dengan telunjukkan, menyimbolkan 'OK'.

“Tapi, kau tetap harus berhati-hati. Aku khawatir dia akan menyakitimu.”

“Tenang saja!"

Terdengar suara lonceng berdenting, menarik atensi Karina.

"Selamat datang," sambut Karina seraya bangkit dari duduknya, pada seorang pelanggan yang baru saja memasuki toko. Si rambut merah berjalan ke arah Nicky. "Kucing manis ... kesayangan Shoujin." Karina gemas dan mencubit pipi Nicky.

"Awh ... sakit." Nicky mengelus pipinya. "Sakit, Karina." keluhnya sambil dongkol dalam hati, "Kucing manis, huh ... kesayangan Shoujin? Mabok soda kue, sepertinya." Nicky menggerutu.

Sudah lama Karina ingin mencubit pipi si rambut pirang. Dan sore itu keinginannya terkabul.

"Nick, sedang apa di sini?" pelanggan itu ternyata adalah Sharon. Matanya tertuju pada segelas es teh di meja di samping Nicky.

"Kenapa? Aku 'kan juga pelanggan di sini."

Sharon mengambil nampan lalu mulai memilih pastry. "Bukan itu maksudku. Kau terlihat seperti tamu saja."

"Ya …," Nicky tersenyum miring, "... aku pelanggan istimewa, asal kau tahu itu."

"Benarkah? Setahuku kau ke sini hanya untuk membeli baguette."

"Aku tidak harus melaporkan belanjaanku padamu."

Bibir Sharon mencebik dengan lirikan meremehkan pada orang yang baru saja diputuskannya sebagai teman.

"Nick, aku sudah selesai. Kita berangkat sekarang."

Mendengar suara itu, Sharon menoleh ke arah pemiliknya. Bukannya apa, ia hanya baru tahu jika ternyata Nicky berteman dengan seseorang yang bekerja di toko roti itu.

Gawat! Keberadaan Shoujin sudah diketahui oleh Sharon. Haruskah Nicky menyatakan perang dengan Sharon? Apa Nicky mulai menyimpan perasaan tertentu pada Shoujin, seperti ... suka? Tidak, tentu saja tidak. Lalu sikapnya itu apa hanya karena persaingan dalam hal popularitas? Mungkin saja.

Sharon menyeringai pada Nicky. Seringai penuh kemenangan. Shoujin yang mendapati Sharon dengan seringaian anehnya, melemparkan tatapan dingin menusuk pada gadis itu. Namun, bukannya mengkeret, gadis itu malah tersenyum pada Shoujin. Jelek, itulah yang terlihat di mata Shoujin.

_______

Nicky terus berjalan mengekori Shoujin sejak dari lower ground hingga ke lantai 5 mall di mana mereka akan menonton film. Berkali-kali ia mendengus kesal melihat Shoujin terus menjadi objek rasa penasaran para kaum hawa. Ini baru menjadi temannya, bagaimana nanti jika menjadi pacarnya? Tidak! Tidak! Mana mau Nicky berpacaran dengan Shoujin yang ..., apa ya ...? Apa kekurangan orang itu selain angkuh? Ansos seperti yang Karina katakan?

Ah, sudahlah!

"Jangan hanya berjalan di belakangku, Nicky!" tiba-tiba Shoujin menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Nicky.

"Ap ... eesh ..." Nicky mengerang kesakitan ketika merasakan sakit di pelipisnya. Ia menabrak dada Shoujin. "Kenapa tiba-tiba berhenti?"

"Ayo." Tanpa menunggu jawaban Nicky, Shoujin menarik pergelangan tangan Nicky.

"Lepas!" berontak Nicky, tetapi Shoujin malah semakin mengeratkan genggamannya. "Aku tidak suka seperti ini. Mereka terus melihatmu."

"Siapa?"

"Kau tahu yang kumaksud."

"Harusnya aku yang merasa terganggu, tapi kenapa malah kau yang keberatan?"

Nicky berdecak kesal.

"Abaikan saja!"

"Lepaskan tanganku! Aku bukan pacarmu!"

"Memang, tapi kau sepupuku."

"Sepupu palsu."

Shoujin tertawa hambar.

Sejak dari situ Shoujin terus menggenggam erat tangan Nicky hingga mereka sampai di pintu masuk lobi teater. Dan shoujin melepas tangan itu tak lain untuk bisa merangkul pundak kucing manis kesayangannya. Nicky pun tak menolak, ia hanya tak ingin ribut saja.

Sesampainya di dalam lobi teater, Shoujin dan Nicky segera membeli tiket. Dua tiket sudah di tangan. Lalu mereka berjalan ke arah sebuah poster film yang terpajang di dinding lobi, di antara poster-poster yang lain.

"Sepertinya filmnya bagus." Perhatian Nicy tertuju pada sebuah poster yang didominasi warna biru denga figur seorang pria memegang sebuah senjata futuristik.

"Aku sudah melihat trailernya, sepertinya bagus."

"Shou, aku mau ke toilet dulu. Kau tunggu saja di sini!" Nicky berjalan menjauh.

"Aku ikut." Shoujin melangkah cepat mengejar kucingnya.

"Apa-apaan kau ini?"

"Waktu itu kau kutinggalkan sebentar dan saat aku kembali kau sedang berkelahi."

"Sudahlah!" Nicky mengabaikan Shoujin.

Namun, Shoujin tetap mengikuti.

"Apa kau akan mengikuti sampai ke bilik toilet wanita?"

"Bodoh."

Nicky mendengus kesal.

Nicky telah masuk ke dalam toilet wanita, sedangkan Shoujin menunggu di luar. Berdiri, menyandarkan punggungnya pada dinding koridor di depan toilet.

Saat sedang menikmati keterdiamannya, tiba-tiba Shoujin merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang. Brunette yang entah siapa namanya. Nicky saja tak sudi mengingat namanya, apalagi Shoujin.

"Hai, sepupunya Nick. Oh, maaf, kau punya nama, kalau tidak salah ... Shoujin? Apa aku benar?" sapa si brunette sok seksi.

"Hmm ... apa maumu?"

"Mauku? Ah, tidak. Aku hanya ingin menyapa sepupu dari temanku, itu saja. Apa kau sedang menunggu seseorang?" Dengan lancang perempuan itu menggenggam lengan Shoujin.

"Aku menunggu Nicky," jawab Shoujin datar dan abai pada gadis yang berusaha menggodanya.

"Ayolah, Shoujin, kau kaku sekali. Apa kau tidak ingin mengobrol sebentar selagi menunggu sepupumu?"

"Sebaiknya kau menjauh dariku. Aku tidak mau dekat-dekat dengan orang yang tidak kuinginkan."

"Apa kau baru saja mengatakan bahwa kau tidak menginginkanku? Belum, Shoujin, belum. Aku tahu suatu saat kau akan berubah pikiran."

Kesal dengan wanita yang mengganggu, Shoujin dengan keras mendorong lengannya yang dipegangi oleh si brunette, hingga gadis itu terpelanting dan nyaris membentur dinding kalau saja seseorang tak menangkapnya.

Beberapa orang yang lewat di koridor yang tak seberapa ramai itu cukup terkejut dengan kejadian di depan mata mereka.

"Apa yang kau lakukan?!" Seorang gadis pink yang menolong brunette membentak Shoujin.

"Jadi kau temannya?" Shoujin ingat dengan pinky yang ia lihat di tokonya tadi sore. "Bukan urusanmu."

"Aku tidak menyangka, ternyata kau ..."

"Shou, hentikan!" Nicky berlari tergopoh menghampiri Shoujin, lalu menatap tajam pada Sharon dan brunette.

"Sekarang kalian sudah tahu. Jadi lebih baik kalian menjauh!" ancam Shoujin.

"Shou, sudah! Ayo pergi!" Nicky menarik lengan Shoujin dan berjalan menjauh dari koridor.

Orang-orang masih menatap pada Shoujin yang menjauh dan si brunette yang tampak sangat terkejut. Pun mereka tak berbuat apa-apa kecuali berbisik.

.

.

"Ada apa denganmu, Shou?!" Nicky menginterogasi Shoujin di koridor, di depan salah satu pintu masuk teater.

Keduanya berdiri berhadapan, menyandarkan sebelah pundak masing-masing pada dinding koridor.

"Aku tidak suka dengan temanmu itu."

"Kenapa?"

"Mengganggu."

"Memangnya apa yang dia lakukan? Memperkosamu, huh?!" lagi-lagi mulut Nicky pedasnya kelewat batas.

Shoujin hanya diam, mengarahkan pandangannya entah ke mana. Di balik keangkuhannya, ia tak sanggup menatap mata Nicky untuk sekedar mengatakan satu kebenaran tersembunyi tentang dirinya.

"Shou, jawab!"

"Bodoh."

Nicky mendengus kesal. "Shou, mereka perempuan. Lemah. Tak seharusnya kau bersikap kasar pada mereka. Jangan jadi pengecut dengan menyakiti perempuan!"

PENGECUT? Shoujin tertohok oleh kata yang terlontar dari mulut Nicky. Seburuk itukah dirinya?

"Kau perempuan, tapi kau tidak lemah. Kau ..."

"Berbeda? Ya, kau benar."

"Dan karena itulah aku ..."

Tak kunjung mendengar kelanjutan kalimat Shoujin, Nicky pun mendesak, "Apa? Lanjutkan!"

"Menyukaimu."

"Ch ... omong kosong," cibir Nicky. "Baru kutinggalkan sebentar dan kau sudah hampir melukai seorang perempuan."

"Sekarang kita punya alasan untuk terus dekat satu sama lain. Benar 'kan?"

Nicky memutar bola matanya malas.

Tak ingin melanjutkan perdebatan, keduanya pun terdiam. Menyandarkan punggung mereka pada dinding koridor. Membisu dengan pemikiran masing-masing. Nicky kembali teringat pada perkataan Karina, ia ingin menyangkal bahwa Shoujin adalah seorang anti sosial. Namun apa yang baru saja ia lihat, seolah membenarkan perkataan Karina. Sedangkan Shoujin merutuki nasibnya yang dikatakan 'pengecut' oleh gadis yang telah mencuri hatinya. Dan ia menyesali dirinya yang mengungkapkan perasaannya dengan cara yang sangat buruk dan dianggap omong kosong. Seharusnya tak seperti itu.

Getar ponsel membuyarkan lamuanan Nicky. Nicky mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya.

"Ya, Kenny. Ada apa?"

"..."

"Ya baiklah, kalau belum tutup."

"..."

"Baiklah."

"..."

"S**t the f*** up!" pungkas Nicky lalu memasukkan ponsel ke saku hoodienya.

"Perempuan satu ini, mulutnya seperti tempat sampah. Kakak sendiri disumpah serapahi." Shoujin menoleh ke arah Nicky, memandangi wajah Nicky, tetapi tak mendapat respon dari sang objek.

"Kau sudah tahu aku berbeda, seharusnya kau tak terkejut. Dan kau suka 'kan?"

"Kau sendiri yang bilang itu omong kosong. Tapi memang benar, aku suka sesuatu yang berbeda."

"Menyebalkan!"

"Ada apa Kenneth menelepon? Menyuruhmu pulang?"

"Mana berani?! Yang ada malah aku akan kabur. Dia minta dibelikan baguette. Rhein's tutup jam berapa?"

"Jam sepuluh. Tapi jangan khawatir! Aku pegang kuncinya."

"Baguslah."

"Kenapa kau mengabaikanku?"

"Huh?"

"Selama kau tidak masuk sekolah kau tidak mengangkat teleponku, tidak juga membalas pesanku."

Shoujin tak tahu bahwa bukan hanya dirinya saja yang diabaikan oleh Nicky waktu itu, tetapi juga Kevin, Shawn, dan Charlie

"Aku hanya ingin benar-benar menikmati liburanku. Itu saja." Nicky mengalihkan pandangannya pada Shoujin.

"Kau membuatku khawatir."

"Kau berlebihan. Hei, jangan melihatku seperti itu! Itu sangat mengganggu."

Shoujin hanya tersenyum kecil. Ia senang ternyata Nicky menyadarinya. Namun, ia tetap saja menatap intens pada Nicky, nyaris tanpa berkedip. Sepertinya ia takut, sekali kedip saja si tomboi kucing manis akan lenyap entah ke mana.

"Apa kakakmu memarahimu karena kejadian itu?"

"Tidak. Aku berbohong mendapat kecelakaan."

"Mereka percaya?

"Entahlah." Nicky mengedikkan kepala. "Yang penting Aaron tidak mengomeliku."

_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status