Share

BAB 3 - Hari Pernikahan

Dua Minggu usai pertemuan di restoran, hari pernikahan Abi dan Arin tiba. Sesuai kesepakatan, pernikahan akan di lakukan diam-diam tanpa ada yang tahu. 

Nampak Ratih tengah sibuk menyiapkan segala kebutuhan Abi, memakaikan jas dan merapihkan dasinya. Walau tidak di pungkiri kedua netra indahnya membasah, hatinya teriris menyiapkan suami yang hendak menikahi wanita lain.

"Dek, jika kamu bersedih kita batalkan saja pernikahannya." Ujar Abi sambil memegang janggut manis istrinya.

"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk memenuhi keinginan kita untuk segera memiliki anak?" Arin nampak terkejut.

"Kalau begitu , jangan pernah menangis di hadapanku ataupun bersedih. Mas hanya ingin melihat Ratih yang ceria dan tersenyum." 

"Oh.. ini bukan nangis Mas, aku hanya kelilipan maskara." Ratih mencoba berbohong.

Abimanyu tahu jika istrinya berbohong, hati istrinya pasti sakit dengan hari ini.

"Berjanjilah untuk tidak menangis dan menyesali pernikahan ini." 

Cup, Abi mengecup mesra bibir ranum istrinya itu lembut dan memeluk Ratih erat. Gairah diantara mereka seakan bangkit jika sudah bermesraan.

Namun Abi seketika melepas kecupannya dan dan menatap nanar istrinya.

"Karena Aku akan memperlakukan istri keduaku juga sama seperti ini, apa kamu tidak akan menyesalinya, Dek?" Ucap Abi dengan suara bergetar dan kedua mata yang membasah.

Ratih langsung tergugu menangisi nasibnya yang akan berbagi suami dengan wanita lain. Tapi Ratih tidak bisa berbuat apapun kecuali tetap maju dengan rencananya demi memiliki buah hati. 

Terlebih Minggu depan Ratih akan di operasi pengangkatan rahim, pupus sudah harapannya untuk memiliki anak sendiri. Ratih sempat berpikir kenapa tuhan begitu tidak adil kepadanya.

"Aku.. aku sudah siap, Mas. Sudah jangan ada lagi pertanyaan yang akan membuat ragu. Kita harus tetap fokus demi anak yang akan kita miliki." 

Abi mengusap matanya untuk menghilangkan air mata yang hendak menyeruak keluar itu. 

"Baiklah, jika ini keinginanmu dan sudah bulat, Mas akan lakukan apapun."

Abimanyu segera berbalik badan hendak keluar sendiri dan meninggalkan Ratih, tapi Ratih langsung memeluk suaminya dari belakang.

"Aku mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu. Tapi aku tidak sempurna. Oleh karena itu, Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."

"Tetaplah mencintaiku, Mas. Walau nanti ada Arin di antara kita." Lanjut Ratih dengan airmata yang mulai berurai.

Abimanyu juga mulai menangis, hati kecilnya tidak ingin melukai wanita yang paling dicintainya. Tapi semua seolah sudah takdir dan tidak bisa di hindari.

"Mas juga mencintaimu, Dek. Hal itu tidak akan berubah sampai kapanpun."

"Aku percaya padamu, Mas. Hiks." 

"Oke. Lebih baik kamu di kamar saja, Mas tidak ingin kamu terluka karena menyaksikan pernikahan Mas." Ucap Abi sembari melepaskan pelukan istrinya.

"Tidak. Aku bisa menghadiri pernikahanmu. Jangan khawatirkan Aku, Mas." 

Ratih dan Abi berjalan beriringan dengan bergandengan tangan. Hati Ratih berdegup kencang karena akan melihat suaminya menikahi wanita lain di hadapannya secara langsung. 

Di ruang tamu sudah siap penghulu serta wali hakim yang akan menjadi saksi pernikahan dari Arin. Ratih memejamkan matanya agar hatinya bisa kuat menjalani ini semua 

Arin nampak cantik dengan balutan kebaya putih dan riasan yang tipis membuat Arin nampak begitu sempurna. Ada sedikit rasa takut di hati Ratih saat melihat kecantikan Arin, takut jika nanti Abimanyu akan berpaling darinya dan lebih memilih Arin.

Segera Ratih tepis pikiran-pikiran negatif itu dan mengingatkan diri, jika pernikahan mereka hanya akan berakhir selama 2 tahun, akan lebih cepat jika Arin segera hamil dan melahirkan anak Abi dan Ratih.

"Bisa kita segera memulai pernikahan ini, Pak Abi?" Tanya pak penghulu.

"Iya pak." Jawab Abimanyu dengan menghela nafas, Arin hanya terdiam.

Pak penghulu mulai membacakan doa dan segera mengulurkan tangannya untuk memulai ijab qobul, setelah pak penghulu mengucapkan kalimat ijab qobul kini giliran Abi untuk mengucapkannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Arin Rismawasih binti Bapak Surya dengan emas kawin 100 gram di bayar tunai." 

"Sahhh." Ucap para saksi yang hanya beberapa orang itu.

Ratih mematung menyaksikan suaminya menikahi wanita lain, Abimanyu menatap ke arah Ratih dengan tatapan sedih namun Ratih malah membalas tatapan Ratih dengan senyuman, menyembunyikan luka hatinya.

Tak di pungkiri hati Abi dan Ratih tetap merasakan sakit walau sudah menyiapkan perasaan dan mental jauh-jauh hari.

"Yaa Tuhan, haruskah sesulit ini agar kami bisa memiliki seorang anak?" Ucap dalam hati Ratih.

Tak tahan duduk menyaksikan Abi dan Arin bersanding, Ratih memilih untuk meninggalkan ruangan dan ke kamarnya. Di dalam kamar Ratih menangis sejadi-jadinya dengan menutup mulutnya agar suara tangisan itu tidak terdengar.

"Dek...dek..." Seru Abi sembari mengetuk pintu kamar Ratih. 

"I..iya Mas." 

Ratih mulai panik, dirinya sudah berjanji untuk tidak menangis di hadapan Abimanyu. Segera di hapus air matanya dan mengatur nafasnya agar tidak terlihat seperti orang menangis. Setelah di rasa cukup tidak terlihat sedang menangis Ratih gegas membuka pintunya.

Suaminya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bersedih.

"Iya Mas? Ada apa?" Tanya Ratih dengan senyuman mengembang.

Bukannya menjawab tetapi Abi malah membawa Ratih ke dalam dadanya dan memeluknya erat.

"Maafkan Mas, Dek. Maafkan Mas." 

"Kenapa malah meminta maaf kepadaku, Mas?" Ratih bingung dengan sikap suaminya yang tiba-tiba meminta maaf.

"Mas sudah melukaimu dengan sangat dalam."

Kini Ratih mengerti maksud suaminya betingkah aneh, 

"Aku tidak bersedih Mas, percayalah." 

"Tapi kamu pergi ke kamar dengan berlari dan mengunci kamarnya, kamu tidak ingin Mas tahukan jika kamu baru saja menangis?" 

"Ohh.. tidak, Aku tadi mules Mas, jadi buru-buru ke kamar." Jawab Ratih dengan cengengesan menutupi kesedihannya.

"Oya, kenapa Mas malah meninggalkan Arin sendirian?" 

Abi segera mendaratkan jari telunjuknya ke bibir ranum Ratih, agar tidak menyebut Arin lagi.

"Jika kita sedang bersama, jangan sebut nama wanita lain. Mengerti!" 

"Baiklah."

"Sekarang Mas mau ganti dan istirahat bersamamu, Dek." Ucap Abi dengan langsung masuk ke kamar Ratih.

"Tapi.. tapi Mas, bajumu sudah ku pindahkan ke kamar Arin."

"Kenapa kamu pindahkan?" Abi menjawab sembari menghentikan langkahnya.

"Karena Aku pikir Mas akan tidur di kamar Arin mulai saat ini." 

"Tolong ambilkan beberapa potong baju untukku," 

Ratih hanya bisa terdiam dan mencoba mematuhi suaminya, Abi mulai melepaskan jas dan kemeja nya kini terlihat jelas tubuh kekar Abimanyu dengan bentuk perut roti sobek itu. 

"Cepat Dek ambilkan Mas baju atau kamu emang ingin melihat Mas seperti ini?" Ledek Abi yang melihat Ratih memandanginya tanpa berkedip.

"Baiklah, tunggu sebentar Mas." 

Ratih segera pergi dari kamar menuju kamar Arin. Hatinya berdegup kencang melihat suaminya bertelanjang dada padahal hal itu sudah sering Ratih lihat bahkan lebih dari itu tapi tetap saja membuat Ratih berdebar dan senyum-senyum sendiri, namun senyuman itu perlahan hilang saat teringat kini suaminya bukan hanya miliknya saja melainkan milik wanita lain juga.

"Aku harus bisa mengendalikan diri, tidak boleh seperti ini." 

Setelah sampai di depan kamar Arin, Ratih mencoba mengetuk pintu kamarnya. Tak berapa lama Arin membukanya.

"Ada apa Bu?" Tanya Arin datar.

"Arin sayang, kini kita memiliki hubungan, kamu boleh memanggilku kakak." Titah Ratih lembut sambil mengelus sayang pipi Arin.

"Kakak?"

"Iya, itu lebih enak di dengar daripada sebutan ibu." 

"Ada perlu apa Kakak kemari?" Arin menjawab dengan suara dingin.

"Eh.. ini, Kakak mau ambil beberapa potong baju Mas Abi, katanya dia mau ganti baju." 

"Masuklah saja, Kakak juga tahu dimana baju Pak Abi. Toh Kaka sendiri yang membereskannya di lemariku." Ujar Arin ketus.

Ratih bingung dengan tingkah Arin, tadi pagi dia bersikap biasa tetapi malah jadi ketus seperti ini.

"Kamu kenapa Arin?" 

"Aku tidak apa-apa! Segera seleseikan keperluan Kakak dan cepat pergi dari kamar ini!" 

Betapa terkejutnya Ratih mendapati sikap ketus Arin kepadanya. 

"Arin? Ada apa denganmu? Kenapa sikapmi seperti ini kepadaku?" 

"Tidak perlu dijawab, Dek. Biarlah dia mau bersikap seperti apapun. Itu bukan bukan urusan kita!" Tiba-tiba Abimanyu sudah berdiri di depan pintu dengan memakai handuk kimononya.

"Mas! Jangan bicara seperti itu!" Pekik Ratih memperingati Abi.

Abi tidak menjawab dan malah masuk saja ke kamar dan membuka lemari lalu mengambil beberapa potong baju dan menghampiri kedua istrinya.

"Biarkan Arin sendiri di kamarnya, Dek. Mungkin dia lelah jangan sampai kita mengganggunya." 

"Mas, kenapa bersikap seperti itu?" 

Arin hanya terdiam membisu dengan tatapan penuh kebencian di matanya, tapi Abimanyu selalu tidak perduli dan meraih tangan Ratih untuk meninggalkan kamar Arin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status