Share

9 | Biarkan aku membalas kebaikanmu

“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”

“Kau ... ”

Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.

“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.

“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”

Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari terkekeh murka.

Ryuse menanggapi komentar itu dengan seringai licik. “Aku memang ditakdirkan untuk membuatmu kesal.”

Ryuse sudah muak dengan perselisihan ini, dia berharap Marvin segera datang. Mengantar Sunny ke tempat aman dan pulang dengan tenang setelahnya. Ryuse tidak sanggup lagi jika harus melihat drama memuakkan Marco, ditambah dia juga memikirkan Camila yang masih tinggal di lantai satu.

Ryuse menerka-nerka mungkin Camila sudah pergi dan itu membuatnya sedikit lega, namun pikirannya yang lain mengatakan Camila masih menunggunya dan itu mengusik Ryuse. Perasaan Ryuse pada Camila tidak lebih dari perhatian kakak kepada adiknya. Dia merasa bertanggung jawab pada Camila karena Luigi, ayah Camila, telah menolongnya ketika dia berusia 13 tahun.

Masa dimana dia kehilangan kedua orang tuanya, diusir oleh bibi jahat dan hidup di jalanan sebagai anak liar dan bebas. Beruntung, Luigi mengambil Ryuse, memeliharanya dan menempatkanya sebagai salah satu kepercayaannya. Namun hubungan baik Ryuse dan Luigi tidak berlangsung lama, Ryuse memilih jalannya sendiri sebab Ryuse risih dengan sikap posesif dan cemburu Camila yang berlebihan padanya.

“Kakak.” Marvin datang membawa koper hitam, berlari menghampiri Ryuse. “Aku membawa pesananmu. Sebenarnya untuk apa uang sebanyak ini?” tanya Marvin penasaran.

“Berikan saja padanya.” Ryuse menunjuk Marco dengan gerakan kepala.

Marvin tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Ryuse. Dia menyerahkan koper itu pada Marco masih dengan segudang rasa penasaran. Ryuse tidak pernah meminta uang tunai dalam jumlah sebanyak ini, kecuali dalam hal mendesak seperti transaksi bisnis dengan kliennya. Itu pun Ryuse yang menerima uangnya, bukan memberikan uang seperti saat ini.

Marco menerima koper itu dengan senyum puas dan membukanya. Dia mengambil beberapa lembar dan mencium aroma uang itu, lalu tertawa bahagia.

“Aku suka aroma uang dan aku cinta uang.” Marco menutup kembali kopernya dan menyerahkan koper itu kepada pengawalnya. “Senang berbisnis dengan anda. Aku jadi penasaran, kau tidak mungkin menyia-nyiakan uang hanya untuk kebebasannya, kan? Ayolah, jujur saja, aku juga pria. Kau pasti sama dengan mereka yang ingin menikmati kepolosan gadis itu, bukan? Ah, dasar brengsek ... ”

“Itu bukan urusanmu,” timpal Ryuse.

Ryuse melirik Sunny dan berujar lembut, “kau sudah bebas.”

Oh, seandainya Sunny tidak berpura-pura tangguh, dia mungkin akan menangis dalam pelukan lelaki itu. Namun, Sunny hanya memberikan tatapan tulus dan ungkapan terima kasih kepada Ryuse.

“Aku berutang padamu, tapi terima kasih telah menolongku.”

Ryuse mengangguk. Dia menarik tangan Sunny dan menggenggamnya erat. Sunny terkesiap dengan tindakan tiba-tiba Ryuse, namun dia memilih membiarkan Ryuse memegang tangannya kala mereka keluar dari tempat itu.

Tangannya terasa hangat di kulit Sunny dan jantungnya mendadak berdebar. Itu hanyalah sentuhan kecil, tetapi segenap jiwa Sunny merasakannya.

Ini hanya sebuah genggaman, bukan apa-apa. Sunny kau tidak boleh berdebar olehnya. Sunny berusaha menenangkan jantungnya yang nyaris meledak.

Ini hal baru baginya. Sunny tidak pernah bertemu dengan pria manapun selama di desa. Kehidupannya yang miskin telah membuatnya sibuk mencari uang ke sana kemari untuk kebutuhan mereka. Apa itu berkencan? Apa itu cinta? Sunny selalu mengesampingkan itu.

Namun, Sunny tidak pernah menduga bahwa bergandengan tangan dengan lawan jenis bisa memberikan rasa nyaman yang aneh dan juga memabukkan. Sunny membuat pandangannya tetap terkunci pada Ryuse. Dia menatap pria itu dengan segala pertanyaan dan juga kekaguman yang mendadak timbul dari debaran jantungnya.

“Jadi, semua uang itu hanya untuk membawa gadis ini?” ujar Marvin pada akhirnya, dia berjalan di belakang Ryuse. Bagi Marvin, Ryuse sekarang terlihat tidak seperti dirinya lagi dan itu mengusik Marvin.

“Kakak kau sekarang sudah besar ya,” goda Marvin. “Akhirnya kau tahu bahwa hidup tanpa wanita itu sulit.”

Marvin terkekeh nakal ketika membayangkan Ryuse akan berkencan dengan Sunny.

“Pikiranmu terlalu jorok,” timpal Ryuse datar.

Ketika mereka melewati kerumunan orang yang berdansa, Ryuse melirik sekilas ke meja bar, mencari sosok Camila. Ryuse mendesah lega, Camila tidak lagi di sana. Dia sudah pulang dengan kemarahan yang telah memuncak setelah menghabiskan banyak sampanye.

Ryuse melepas genggamannya saat mereka sudah di luar dan berujar, “pergilah. Kau sudah bebas sekarang. Jangan pernah berurusan dengan Marco lagi.”

Sunny bergeming.

Ryuse memutar langkah dan berjalan mendekati mobilnya. Ketika dia baru saja membuka pintu, Sunny memanggilnya.

“Tunggu.” Sunny mendekati Ryuse. “Aku tidak mengerti, mengapa kau membuang uang sebanyak itu untukku? Dan sekarang kau pergi tanpa meminta apa pun dariku? Itu terasa aneh dan juga sangat menggangu. Aku tahu ini tidak mungkin, tapi aku ingin membayarmu kembali. Mungkin aku tidak punya uang saat ini, tapi aku bisa mencicilnya.”

Ryuse menoleh, menatap lurus mata coklat Sunny yang kelabu. “Kau tidak perlu membayar kembali dan—aku tidak punya niat lain terhadapmu. Aku benar-benar hanya ingin menolongmu. Pulanglah, di luar dingin.‘’

“Tetap saja itu tidak masuk akal. Kita baru saja bertemu dan kau mengeluarkan uang tanpa berpikir untuk orang yang tidak kau kenal. Biarkan aku membalas kebaikanmu, setidaknya aku bisa melakukan apapun yang setimpal dengan uang itu.”

Ryuse tersenyum tipis. “Sudah kukatakan kau tidak perlu melakukan apa pun. Aku tulus dan tidak meminta imbalan. Ah, aku masih ada urusan. Jadi jaga dirimu.”

Ryuse masuk ke dalam mobil tanpa melihat Sunny. Dia melajukan mobilnya dan Marvin mengikuti dengan mobil lainnya di belakang Ryuse.

Sunny berusaha untuk tidak menghiraukan hal itu, dia mungkin masih bisa pulang dengan menumpang pada orang lain atau dia bisa minta tolong pada Gani.

Namun, Sunny sadar bahwa dirinya terlihat kecil di kota besar. Jika saja ini adalah desanya, Sunny tidak perlu pusing mencari jalan pulang, sebab dia hapal setiap jalan di desanya. Hanya saja ini adalah tempat yang tidak pernah Sunny kunjungi. Sunny tidak tahu jalan pulang.

Sunny terduduk di undakan Fantagio, menyesal dan menatap kosong kakinya yang pegal oleh sepatu heels. Sunny menyingkirkan sepatu itu dan melemparkannya ke jalan.

Orang-orang yang berlalu memperhatikan penampilannya yang menarik, menggodanya dan berusaha menyentuhnya.

Ditengah keputusasaanya, cahaya menyilaukan mengusik penglihatan Sunny. Sunny mendongak ke sumber cahaya, dia menemukan sosok yang dia kenali berjalan mendekatinya.

Sunny terkesiap dan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kau kembali?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status