yuk follow author di : Instagram : author_vieneze
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Hentikan gertakan itu, Sunny. Wajahmu terlihat jelek jika memandangiku dengan tatapan itu,” ujar Bibi Joyce sembari meraih cangkir teh dari meja tua di hadapannya. “Jika kau melakukan ini, aku berjanji akan merawat adik dan ibumu. Kau hanya perlu berpura-pura menjadi Anne. Marco tidak akan tahu itu, sebab aku memang belum mengenalkan Anne padanya.” Sunny mendesah panjang. Kini napasnya terasa berat, seolah semua udara yang dihirup menekan paru-parunya. Permintaan bibi Joyce sulit diterima oleh pikiran Sunny. Lagipula, selama ini bibi Joyce tidak pernah peduli kepada mereka, dia hanya peduli dengan uang dan barang-barang mahal. Bibi Joyce adalah wanita paling licik yang pernah dia kenal. Apapun akan Bibi Joyce lakukan demi keuntungan dirinya sendiri. Setelah tiga tahun tanpa kabar, dia mendadak datang dengan utang yang menumpuk. Sunny mengamati raut wajah bibi Joyce yang tengah menyesap teh. Dadanya bergemuruh oleh amarah. “Aku tidak mau. Biarkan saja Anne yang menikahi pria it
“Ada apa? Mengapa kau kemari?” teriak Sunny, dia memegang erat batang kelapa sebab Sunny hampir terjatuh. Tangisan Rury merusak perhatiannya pada kelapa-kelapa itu. “Dan—mengapa kau menangis?” “Mama tidak sadar, Kak. Aku—aku menemukannya tergeletak di lantai. Aku sudah membangunkannya tapi dia tidak mendengar suaraku. Mama—” Rury tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia takut membuat Sunny panik dan berakhir jatuh. Sunny sadar dia harus segera turun dari atas sana, menenangkan tangisan Rury dan mendekapnya. Sementara hatinya porak-poranda, dia gelisah bercampur cemas dengan kondisi ibunya. Dalam kekhawatiran itu, Sunny turun tergesa-gesa bahkan dia tidak sadar telapak tangannya sudah lecet oleh gesekan kasar dari batang pohon kelapa. Dan ketika Sunny mendapatkan langkah terakhirnya, dia berujar kepada pemilik kelapa, “paman, aku harus segera pulang. Besok saja kerjaan hari ini.” “Tapi—” pria tua belum selesai berbicara, namun Sunny sudah berlari bersama Rury. Sunny tahu
Sunny menyesal telah membuat janji gila tak masuk akal seperti itu pada bibi Joyce. Bila pada akhirnya itu akan memisahkan dia dengan orang terkasihnya. Namun, Sunny juga cukup sadar bahwa perjanjian itu menyelamatkan nyawa ibunya. Sunny tidak bisa berbuat apa pun selain menurut. Dia mengemasi beberapa lembar pakaian terbaik yang dia punya, menyiapkan obat herbal untuk ibunya minum nanti, dan membuat daftar pekerjaan untuk Rury. Sunny menaruh harapan pada adiknya itu, kendati sunny sedikit ragu, namun dia yakin Rury dapat dipercaya. “Mama jangan menangis lagi,” ujar Sunny. “Aku baik-baik saja. Doakan saja aku selalu sehat di sana. Aku akan mengirimi surat pada mama nanti jika aku sudah sampai dan—aku menyayangi kalian berdua.” Sunny mendekap Jane sangat erat seolah itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Sunny melirik Rury dan berkata, “Kakak percayakan semua padamu. Jagalah mama kita. Jangan menangis, kau pria tangguh.” Rury mengangguk patuh. “Aku akan menjaga mama. Aku aka