Share

GELORA HASRAT SANG MAFIA
GELORA HASRAT SANG MAFIA
Author: Vieneze

1 | Menikahlah dengan Marco!

“Hentikan gertakan itu, Sunny. Wajahmu terlihat jelek jika memandangiku dengan tatapan itu,” ujar Bibi Joyce sembari meraih cangkir teh dari meja tua di hadapannya. “Jika kau melakukan ini, aku berjanji akan merawat adik dan ibumu. Kau hanya perlu berpura-pura menjadi Anne. Marco tidak akan tahu itu, sebab aku memang belum mengenalkan Anne padanya.”

Sunny mendesah panjang. Kini napasnya terasa berat, seolah semua udara yang dihirup menekan paru-parunya. Permintaan bibi Joyce sulit diterima oleh pikiran Sunny. Lagipula, selama ini bibi Joyce tidak pernah peduli kepada mereka, dia hanya peduli dengan uang dan barang-barang mahal.

Bibi Joyce adalah wanita paling licik yang pernah dia kenal. Apapun akan Bibi Joyce lakukan demi keuntungan dirinya sendiri. Setelah tiga tahun tanpa kabar, dia mendadak datang dengan utang yang menumpuk.

Sunny mengamati raut wajah bibi Joyce yang tengah menyesap teh. Dadanya bergemuruh oleh amarah.

“Aku tidak mau. Biarkan saja Anne yang menikahi pria itu. Bibi terlalu memanjakannya bahkan untuk hal semacam ini pun bibi memintaku untuk menjadi Anne,” tolak Sunny. Dia meremas jemarinya, berusaha menahan diri untuk tidak berkata kasar dan dia gagal. “Aku belum pernah bertemu orang yang lebih sinting dari Bibi. Menikahi seseorang demi utang bibi, heh? Pergilah, kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Sunny memberikan senyuman sinis kepada bibi Joyce, tetapi bibi Joyce tidak tersinggung. Dia semakin tidak tahu malu.

"Tanah di selatan, aku akan mengembalikan itu pada kalian. Bukankah selama ini kau terus menuntut untuk mengembalikan tanah itu? Sekarang kesempatanmu, asal kau mau menikahi Marco.” Bibi Joyce bersidekap, sesaat kemudian dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dia menekuri lubang yang menganga di sisi kiri bangunan. “Rumah ini bahkan tidak layak untuk ditempati. Jika kau menikah dengan Marco, setidaknya kalian tinggal di rumah yang bagus.”

Sunny melirik ibunya yang terbaring lemah di kasur lapuk, tidak jauh dari tempat mereka duduk. Perasaan bersalah, sedih, marah dan putus asa mengaduk-aduk perasaannya. Jika saja ayahnya masih ada, mungkin kehidupan mereka tidak sepahit ini, mungkin ibunya masih tersenyum bahagia, mungkin adiknya tidak harus menahan malu sering dipanggil karena tidak bayar uang sekolah. Mungkin—semua itu hanyalah harapan sia-sia Sunny.

“Dasar ular. Bibi bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta tolong. Apa bibi belum puas melihat kami menderita? Sejak Papa tiada, bibi mengambil semua harta peninggalan Papa. Aku berjuang sendirian menghidupi keluarga ini, membiayai pengobatan Mama dan sekolah Rury. Sedikit pun Bibi tidak pernah menaruh belas kasih kepada kami.” Suara yang keluar dari mulut Sunny lebih terdengar seperti tangisan yang ditahan.

Bibi Joyce menyeringai, dia semakin mengangkat wajahnya dengan angkuh. “Kau tidak berubah sama sekali. Sifat keras kepalamu itu mengingatkan aku pada ayahmu. Aku merasa sedih atas kepergian saudaraku itu. Dia memang kakak yang baik hati, tapi aku lebih menyayangi uang.” Bibi Joyce mendesah, “tahun-tahun yang indah berlalu dengan cepat sementara kesedihan seolah bergerak lambat.”

Dalam suasana tegang itu, Jane, ibunya Sunny terbatuk-batuk. Jemari Jane yang lemah menyusuri tepian kasur, berusaha untuk bangkit. Melihat Jane yang kesusahan, Sunny berlari membantu Jane untuk duduk.

“Pelan-pelan, Ma. Berbaringlah, tubuh Mama masih lemah,” pinta Sunny lembut.

“Aku bosan harus berbaring sepanjang hari,” sahut Jane. Dia membuat senyuman tulus seolah menunjukan dia baik-baik saja. “Jangan pikirkan Mama. Nak, kau tidak perlu menuruti permintaan bibimu. Mama tidak setuju jika kau menikah dengan pria asing yang bahkan kita tidak tahu sifatnya.”

Sunny mengangguk.

Namun, raut wajah bibi Joyce semakin keras. Sorot matanya berubah menakutkan dan di satu sisi juga terlihat licik. Ada keheningan di antara mereka sejenak. Bibi Joyce melemparkan senyuman dan pandangannya berakhir pada cangkir jelek di atas meja.

“Bayangkan kesempatan itu seperti cangkir ini,” ujar Bibi Joyce. “Orang bilang kesempatan tidak datang dua kali, tapi bagiku, kesempatan itu seperti air yang dituang ke dalam cangkir. Ada banyak kesempatan yang datang, kau malah melewatkannya begitu saja yang berujung cangkirmu tetap kosong. Lantas, akankah kau tetap memilih hidup melarat seperti ini, Sunny?”

“Jangan dengarkan bibimu. Dia hanya memancingmu saja,” tukas Jane, dia terlihat gelisah ketika menatap wajah Sunny.

“Jika kesempatan itu adalah tentang penawaran bibi, aku akan melewatkannya berulang kali. Tidak peduli sebanyak apapun bibi memohon bahkan mengancam. Pulanglah, kehadiran bibi tidak diharapkan di sini.”

Bibi Joyce bangkit dari tempatnya, “ah, sayang sekali. Padahal kau bisa hidup enak dan ibumu tidak akan merintih kesakitan lagi. Tapi sudah begini—apa boleh buat? Baiklah, aku akan pergi. Senang bertemu denganmu kakak ipar, kau membesarkan putri yang pembangkang dan keras kepala. Menarik sekali! Semoga kau cepat pulih.” Bibi Joyce melirik Jane dengan senyum palsu.

Sunny mengatupkan bibirnya dengan segala emosi di ujung gigi, seolah dia tengah menggigit wajah bibi Joyce yang menjengkelkan.

Bibi Joyce terkekeh ketika dia menyadari bahwa perkataannya telah membuat Sunny kesal. “Tenang saja, itu pujian. Tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu.”

Ketika bibi Joyce hampir tiba di ambang pintu, Jane berujar lembut namun penuh penekanan di setiap kata. “Kuharap, dikemudian hari kita tidak perlu bertemu lagi, Joyce. Bukan aku tidak senang atas kehadiranmu, tapi kau selalu menyakiti hati kami. Mengenai tawaran pernikahan yang kau katakan, aku tidak menyukainya. Aku bersungguh-sungguh, Joyce. Minta saja pada putrimu itu.”

Mulut bibi Joyce mengatup rapat dan seluruh wajahnya berubah merah. Kali ini dia benar-benar kehilangan muka, namun dia tidak ingin menunjukkan itu pada mereka. Dia masih mengangkat wajahnya tinggi dengan lagak pongah yang memuakkan sesaat setelah keluar dari rumah itu.

Sunny menarik napas lega karena bibi Joyce pergi tanpa membuat keributan lagi. Dia berharap bibi Joyce tidak kembali ke rumah mereka. Sudah cukup semua hinaan yang bibi Joyce ucapkan bertahun-tahun lalu, Sunny hanya ingin hidup damai dengan Rury dan ibunya.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Sunny masih bekerja di pasar ikan, dia membantu paman Huben, tetangga Sunny yang berjarak dua puluh meter dari rumahnya. Walau gajinya kecil, Sunny selalu menerima upah itu dengan senyum bahagia.

Selesai membantu paman Huben, Sunny biasanya pergi ke pantai untuk memanjat kelapa. Ada orang yang meminta Sunny untuk memanen semua kelapa itu. Sunny terobsesi dengan uang. Dia selalu beranggapan jika mereka punya banyak uang, maka dia tidak perlu bersusah payah mati-matian mencari uang untuk kelangsungan hidup mereka.

Bukan Sunny tidak punya impian. Jauh dalam hatinya, dia ingin seperti teman-teman yang lain; kuliah di kota dan bermain-main di tempat menarik. Betapa dia cemburu, betapa dia ingin menyerah, betapa dia ingin menangis, betapa dia sangat sakit, namun Sunny tidak pernah menunjukkan itu pada orang lain. Sunny pandai menyembunyikan segala kesedihannya. Demi ibunya. Demi adiknya, Rury.

“Jatuhkan dengan hati-hati,” perintah pria tua di bawah pohon kelapa. Dia mendongak sambil berkacak pinggang. “Kau melempar terlalu kuat, lihat—kulitnya jadi sompel. Semua kelapa ini akan dijual ke supermarket. Orang-orang kaya itu tidak suka dengan buah yang lecet.”

Sunny mengangguk. Dia tidak menjawab satu kata pun. Tenggorokannya terlalu kering, ditambah panas menyengat yang membuat pusing. Sunny hampir kehilangan tumpuan ketika Rury mendadak datang dengan wajah yang telah memucat dan matanya penuh oleh air mata.

Rury berteriak, “Kakak! Kakak! Cepat pulang. Mama ... Mama kita ... .” suaranya berubah menjadi tangisan yang mengkhawatirkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status