“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela.
Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak keren. “Tutup pintunya,” timpal Ryuse. Ryuse tidak lagi seperti dirinya sejak bertemu singkat dengan Sunny malam itu. Dia berusaha untuk tidak membiarkan wajah polos itu membayangi benaknya. Namun, tatapan Sunny yang memohon, diam-diam menghantuinya. Dia ingin membantu Sunny, tapi dia tahu batasan mana harus dilewati. Ryuse bukan tipe pria yang sembarangan mengambil milik orang lain, meskipun pekerjaannya juga tidak lebih baik, tapi Ryuse tahu itu tidak benar. Ryuse memijat keningnya, lagi-lagi mendesah berat, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya terjebak rasa bersalah. Ryuse melihat berkas yang berserakan di atas meja, mengambilnya, dan membaca sekali lagi profil target misi selanjutnya. Seseorang kenalan lama menghubunginya baru-baru ini, lelaki yang usianya tidak jauh beda dengannya, meminta bantuannya dalam hal gila. Buat dia menderita, kalau bisa singkirkan sekalian. Kata-kata itu masih terngiang jelas dalam benak Ryuse. Seketika perasaan dilema mendera hatinya, bagaimana tidak, targetnya adalah seorang kakek tua. Entah apa yang merasuki pikiran kliennya itu, sampai-sampai dia tega membuang orang tuanya sendiri. “Aih, dia benar-benar anak yang durhaka,” gumam Ryuse ketus. Bagaimanapun juga itu pekerjaan Ryuse yang tidak perlu berempati pada targetnya. Seharusnya dia tahu, perasaan tidak boleh dibawa ketika sedang bekerja. Ryuse adalah ketua kelompok gengnya, sekaligus CEO dari Your Guard, sebuah perusahaan konsultasi keamanan. Sebenarnya itu hanyalah perusahaan kosong, Your Guard merupakan kedok penyamaran Ryuse dari hukum. Pekerjaannya tidak lebih dari menghilangkan seseorang, memukuli dan menakutinya, bahkan kemampuannya juga kadang-kadang disewa untuk mengawal seseorang. Dia menghasilkan banyak uang dari pekerjaannya, membeli barang branded untuk kesenangan, dan dia juga punya rumah mewah. Ryuse selalu berpenampilan menarik dengan setelan jas ketika bekerja, namun selalu tidak memakai kaus atau pun kemeja di dalamnya. Dia lebih suka memamerkan keindahan tubuhnya yang menggoda pada dunia, seolah menunjukkan betapa dia berkharisma. Tentu saja itu membuat banyak wanita tergila-gila padanya. “Gordon!” Ryuse berteriak. Gordon segera menghampiri Ryuse tergopoh-gopoh setelah dia mendengar namanya dipanggil. Dia memasang ekspresi kesal, seolah dia telah direnggut dari waktu istirahatnya. “Kakak memanggilku? Bisa saja panggil Marvin, aku baru saja mengeluarkan sepotong kotoran dan kakak memanggilku. Perutku masih mulas,” gerutu Gordon. “Kau bisa melanjutkannya nanti,” timpal Ryuse dingin. “Kembalikan ini pada Samu. Katakan padanya, aku tidak menyakiti orang tua.” Ryuse memberikan berkas itu pada Gordon. “Hanya itu?” Ryuse mengangguk. “Hmm ....” “Astaga, kakak bisa meminta Marvin. Ah, sudahlah, aku akan melakukannya setelah menyelesaikan urusan perutku.” Gordon meraih berkas itu, kemudian dia berlari seperti dikejar hantu setelah perutnya melilit lagi. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Marvin yang berteriak. “Kentutmu bau sampah busuk! Aku akan membunuhmu Gordon brengsek!” Ryuse yang mendengar itu hanya bisa menggeleng. Pemandangan seperti itu adalah hal biasa yang dia lihat setiap hari. Gordon dan Marvin sudah seperti kerabatnya. Ryuse masih ingat bagaimana dia menyelamatkan Marvin dari kematian, dan Gordon— dia dulu seorang pecundang yang selalu dirundung teman-temannya. Ryuse menjadi penyelamat mereka. Sejak saat itu, Gordon dan Marvin mengabdikan dirinya pada Ryuse dan menyebutnya dengan panggilan kakak. Mereka menghormati Ryuse, namun kadang bersikap sembarangan padanya tanpa rasa takut. Bukan tanpa alasan, Ryuse yang terlihat dingin itu, sebenarnya pribadi yang menyenangkan. Walaupun dia tidak pandai berkata manis, namun dia orang yang paling hangat. “Betapa sialnya aku tinggal bersama mereka,” gerutu Ryuse. Dia berjalan menuju pintu dan menutupnya dengan keras. “Mereka selalu saja ribut dan aku selalu terjebak di antara mereka. Sungguh menyebalkan.” Seketika ponsel Ryuse berdering. Ryuse mengambil ponselnya dari meja, dia menekuri sesaat nama yang tertera di layar. Camila. Ryuse mendesah panjang. Dia enggan menjawab panggilan itu, namun ponselnya tidak berhenti berdering. “Ya,” sahut Ryuse malas pada akhirnya. “Mari bertemu. Aku ada di Fantagio.” “Aku sibuk.” “Aku akan membuat kekacauan jika kau tidak datang. Aku bersungguh-sungguh, Ryu. Dan ... aku sudah memesan sampanye kesukaanmu.” Camila memutus panggilan sepihak. Ryuse memijat keningnya dengan frustasi. Dia mendesah kesal. Dia tidak ingin bertemu Camila, sungguh—dalam hal apapun dia tidak ingin terlibat dengan gadis itu lagi. Namun, Ryuse sangat mengenali sifat tak sabaran dan manja Camila. Dia bisa melakukan hal gila, ditambah dia selalu mendapatkan dukungan dari ayahnya yang merupakan mafia paling disegani di seantero Rosentown. Lagi pula, Fantagio adalah klub milik Marco. Jika dia pergi ke sana, sama saja itu dengan menyerahkan diri pada Marco. Ryuse mendesah lagi. Berpikir, menimbang lagi permintaan Camila, dan pada akhirnya Ryuse mengambil kunci mobilnya dan bergegas menuju Fantagio. Camila telah menunggu Ryuse hampir satu jam. Kini, dia mulai tidak sabaran, gelisah dan kesal. Sudah tiga gelas sampanye dia tenggak. Dia menekuri gelas kosongnya, menggenggam erat, dan berpikir untuk menambah satu lagi. Jika Ryuse tidak datang, dia bersumpah akan membuat Ryuse menyesal telah mengabaikannya. Namun, sosok menawan berstelan burgundi yang tidak asing tertangkap dalam mata Camila. Seketika jantungnya berdebar, bahagia, dan senyumnya merekah. “Kak Ryu,” Camila melambaikan tangan pada Ryuse yang sedang mencari dirinya. Ryuse menghampiri Camila, tanpa ekspresi, dan duduk begitu saja tanpa menanyakan kabar. Ryuse memilih menatap bartender yang tengah meramu minuman. Camila merona ketika melihat tubuh Ryuse menyempil di balik jasnya. Lalu dia membuka pembicaraan. “Kakak terlambat. Aku hampir—” “Kali ini apa lagi?” tanya Ryuse datar, tidak menoleh, bahkan dia tidak penasaran dengan ekspresi Camila yang mendadak berubah ketus. “Sekali saja, cobalah untuk peka terhadapku. Aku lelah jika harus terus mengejarmu,” ujar Camila. Ryuse menoleh dan tersenyum pahit. “Kalau lelah, berhenti saja. Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan itu. Camila ... kencani saja pemuda yang seusiamu. Kau seperti adik bagiku, tidak lebih dari itu. Aku menghargai perasaanmu, aku menghormatimu karena ayahmu dulu telah membantuku. Hanya itu. Hanya sebatas itu.” “Tapi aku tidak mau. Aku tidak peduli jika kau lebih tua dariku. Kakak hanya 32 tahun, usia kita hanya terpaut sebelas tahun. Apa aku salah menyukaimu?” “Pulanglah. Kau tidak boleh ditempat seperti ini,” tukas Ryu dingin. Camila menatap tajam Ryuse dengan penuh tekad. “Aku tidak mau. Sebelum kak Ryu menerima aku.” Kepala Ryuse mendadak sakit. Dia mendesah panjang. “Kau merepotkan.” Setelah mengatakan itu, Ryuse pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Dia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang lelah. Kemudian dia membilas mukanya, membiarkan air itu menyejukkan sejenak penat yang ada di dalam kepalanya. Dua orang pria mendadak masuk, topik pembicaraan mereka menarik perhatian Ryuse. “Kau lihat gadis tadi? Dia tipeku sekali. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Semua uangku akan kuberikan asal aku bisa mendapatkannya,” ujar pria berkemeja biru. Pria berjanggut menimpali, “wajahnya begitu polos, murni, dan manis. Dia milikku, Ted. Uhm, kira-kira dari mana Marco mendapatkan gadis seperti itu ya?” “Entahlah, tapi aku suka dia,” sahut pria yang disebut Ted. Ryuse mendadak teringat dengan Sunny. Penggambaran mereka sangat cocok dengan gadis itu. Lantas, Ryuse bertanya dengan penasaran, “gadis mana yang kalian sebut? Aku jadi penasaran dengannya.” “Kau tidak tahu? Di lantai atas ada ruang khusus untuk menyewa gadis itu. Tapi, Marco menaruh harga tinggi. Aku menjadi kesal saat memikirkannya.” Ryuse segera berlalu meninggalkan mereka. Dia pergi ke lantai atas, mengabaikan Camila yang memanggilnya lagi. Ryuse melewati lorong gelap bernuansa merah hitam, dia berhenti di pintu paling ujung. Dia membukanya hati-hati dan sekitar dua puluh lelaki mata keranjang berdiri di depan panggung, menatap Sunny dengan wajah penuh nafsu. Sunny berdiri malu di tengah panggung itu, menutupi bagian dadanya yang terlalu terbuka dengan tangan. Matanya tampak bersedih, namun tertutupi dengan ekspresi penuh tekadnya. Pandangan Sunny menangkap sosok Ryuse yang berdiri di ambang pintu. Pada satu titik, pandangan mereka berserobok. Dada Ryuse terasa sesak, jantungnya seolah berhenti. Tatapan itu, tatapan yang sama persis ketika dia mengunjungi Marco. Namun, kali ini sorot matanya berubah seolah menuding Ryuse. Seandainya kau menolongku waktu itu ....“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu. Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensi
“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
“kurasa itu cocok untukmu,” pungkas Ryuse. Ryuse tidak memiliki alasan kuat, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas dalam benaknya ketika melihat mata Sunny bersinar polos. Yang seharusnya hanyalah sebuah ucapan sopan berubah menjadi nama panggilan yang lebih terdengar seperti ajakan tersirat untuk lebih dekat. Sunny tidak berniat untuk terpesona dengan panggilan itu, namun dia tidak bisa menolak untuk jatuh pada suara maskulin Ryuse ketika menyebut namanya. Sunny berhasil menenangkan jantungnya yang berdebar lagi lalu tersenyum kepada Ryuse. “Aku ... akan beristirahat,” ungkap Sunny gugup. Lalu dia buru-buru menutup pintu kamar, bersandar di balik pintu sembari menyentuh jantungnya yang berdentam-dentam. Debaran aneh dari jantungnya semakin tidak terkendali. Sunny berusaha mengingat debaran itu sama ketika dia memikirkan ibunya, namun perasaan yang bergejolak di balik paru-parunya itu terasa jauh lebih dahsyat seolah dia telah mendambakan itu sejak lama. Sunny mengintip dari ce
Ryuse melirik Sunny. “Kau sudah sarapan?”Sunny mengangguk gugup. “Ya. Aku tidak tahu kau ada di sini.”“Aku baru saja datang, jangan sungkan. Selesai ini aku akan mengantarmu pulang.” Ryuse melirik pakaian Sunny. “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Akan kuberikan baju gantinya.”Sunny lupa kalau dia masih memakai gaun emas manik-manik itu, dan dia mendadak malu telah dilihat oleh Ryuse.“Ayo,” ajak Ryuse. Dia menyimpan kembali botol air ke dalam kulkas.“Hah, kemana?”“Ikut saja.”Sunny tidak bertanya lagi. Dia berjalan kikuk di belakang Ryuse, menerka-nerka kemana Ryuse membawanya. Mereka menaiki tangga, melewati kamar Sunny dan mendapati diri mereka berhenti di depan kamar Ryuse.“Tunggu sebentar,” ujar Ryuse lembut.Ryuse masuk ke dalam kamar, dan kembali sesaat kemudian sambil membawa kaus dan celana panjang denim miliknya. Dia memberikan itu pada Sunny. Awalnya Sunny ragu-ragu, tetapi Ryuse meyakinkan Sunny bahwa hanya ini pakaian yang cocok dengan badan Sunny.“Aku tidak punya p
Sunny tidak sadar, tubuhnya syok menerima hantaman yang tiba-tiba itu dan Ryuse—kepalanya terbentur kemudi dan melukai pelipisnya. Untungnya, pohon itu hanya menimpa bagian kap mesin. Asap mengepul dari dalam mesin, kapnya ringsek, dan perjalanan mereka terhenti. Ryuse melirik Sunny dengan cemas. Dia menggeser wajah Sunny dan menepuk-nepuk pipinya. “Sansan ... hei, bangunlah. Sansan ... Sunny!” Sunny terbangun dan dia terperanjat. “Apa aku masih hidup?” tanyanya frustasi. “Syukurlah,” Ryuse mendesah lega. “Apa ada yang terluka? Atau tubuhmu terasa sakit?” Ryuse memeriksa tangan dan kaki Sunny. “Aku baik-baik saja. Hanya saja benturan itu membuatku lemas.” “Kau yakin?” sekali lagi Ryuse mamastikan kondisi Sunny. Sunny hanya memberikan anggukan. Ryuse mendesah lagi, menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan mata. “Kau berdarah,” ujar Sunny cemas. Ryuse menyentuh pelipisnya dan berkomentar, “ini bukan apa-apa.” Sunny buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka darah
Ryuse mendekati Sunny dengan tatapan memburu. Sunny merasa terintimidasi dan mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak dinding. Melihat wajah Sunny yang memerah, Ryuse menjadi terhibur. Dia terbahak-bahak dan beringsut ke sofa, lantas membuka sepatu hitam kesayangannya yang sudah basah. “Wajahmu semerah tomat,” celoteh Ryuse tanpa rasa bersalah telah membuat Sunny berdebar. Sunny mengambil bantal dan melemparkannya kepada Ryuse. “Kau menyebalkan!” “Hei, ada apa? Kau marah dengan perkataanku?” Ryuse setengah berteriak. “Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?” Sunny duduk di ranjang sambil bersidekap tangan. Ryuse menyeringai. “Jangan bilang kau merona karena aku.” “Anda terlalu percaya diri, tuan Ryu,” sangkal Sunny, memalingkan muka dari Ryuse. “Tssk ... kau mendadak berbicara formal. Kelihatan sekali sedang melakukan penyangkalan.” Sunny tidak berniat membiarkan Ryuse mengetahui hatinya. Dia perlu berpikir cepat mencari alasan lain agar Ryuse tidak menggoda diri
Sunny membeku. Pikirannya seolah tidak berkordinasi baik dengan tubuhnya. Dia ingin menghindar, tapi bagian dirinya yang lain seolah tidak ingin menjauh. Dalam jarak sedekat ini, Sunny bisa melihat fitur menawan wajah Ryuse dalam kegelapan. Mata Ryuse berkelebat dengan cahaya yang aneh ketika menatap Sunny. Entah itu pengaruh alkohol, entah itu karena cuaca yang dingin, atau mungkin sentuhan terlarang Sunny padanya berhasil membuat Ryuse mendambakan sensasi terbakar itu lagi. Sebagaimana pria normal, pasti akan terangsang oleh gairah yang ditimbulkan dari sentuhan itu. “Tetaplah seperti ini sebentar,” ujar Ryuse lembut di telinga Sunny. Napas Ryuse terasa hangat saat menerpa telinganya dan itu membuat tubuh Sunny bergetar dalam sensasi sensual yang belum pernah dia rasakan. Sunny menginginkan lagi suara itu bergaung di telinganya. Sunny tanpa malu-malu menyentuh wajah Ryuse, menelusuri setiap lekuk wajahnya yang tegas. Sunny sadar, ini tidak benar. Dia melepaskan tangannya dan mem